Pemajuan Kebudayaan
Ilustrasi kirab budaya Kampung Cempluk | Foto: Robbi Gandamana

Kampung punya segudang cerita. Kampung ialah rumah sekaligus tempat pulang paling syahdu dan membahagiakan. Ruang srawung yang tak tergantikan dengan mewahnya kehidupan kota. Umumnya, kita akan menggambarkan kesederhanaan kala berbicara soal kampung. Namun, apakah kampung hanya soal-soal romantisir saja? Sekali-kali tidak. Kampung menyimpan beragam potensi dan kekayaan budaya yang perlu kita sadari dan lestarikan bersama.

Kampung merupakan muasal dari peradaban suatu bangsa. Dari kampung lahir aneka pengetahuan lokal yang kita kenal sebagai kebudayaan. Kendati begitu, seiring masifnya globalisasi, posisi kampung semakin terabaikan. Kampung ditempatkan sebagai masyarakat kelas dua yang tertinggal karena arus budaya global dengan standar “beracun”. Hal itu menimbulkan krisis identitas bangsa karena budaya kampung dipandang sebelah mata.

Kampung yang selama ini menjadi lumbung budaya hanya dijadikan objek pembangunan, bukan sebagai subjek. Akibatnya, potensi kampung tidak berkembang. Malahan seakan dijadikan “sapi perah” untuk menopang kehidupan kota.

Lebih-lebih, kehidupan dan kebudayaan di kampung juga dipaksakan mengikuti standar global yang “beracun”. Sebagai contoh, kebudayaan dalam hal gastronomi atau pangan, sebagian daerah Indonesia memakan jagung, sagu, ubi, dan makanan khas lainnya sebagai makanana pokok, namun kemudian standar dari badan pangan internasional dan kebijakan pemerintah Indonesia menyeragamkan bahwa standar pangan adalah beras. Akhirnya, negara rentan krisis pangan karena hanya bergantung pada satu jenis sumber pangan saja. Tiada alternatif pangan lain. Itu contoh buruk dari standar global yang tidak sesuai dengan kebutuhan kontekstual.

Kampung Melumbung

Kondisi ini mendesak disadari dan direspons secara arif dan konkret. Sudah terlalu lama kita sebagai bangsa memunggungi kampung-desa dengan segala kearifan lokal di dalamnya. Karena itu, agenda ke depan, kampung perlu dimaknai dan diposisikan sebagai lumbung kebudayaan.

Lumbung dalam konteks ini sebagai metode aksi. Layaknya lumbung merupakan tempat penyimpanan, kampung menyimpan segudang kearifan budaya. Seterusnya, lumbung tidak akan berfungsi bila tidak diisi. Begitu halnya dengan kampung tidak akan tumbuh dan berkembang potensi budaya yang ada bila tidak diaktivasi. Oleh karena itu, kampung sebagai lumbung budaya mesti dihidupkan oleh subjek warga kampung.

Untuk itu, pemerintah perlu hadir untuk mengaktivasi kampung sebagai lumbung kebudayaan. Irini Dewi Wanti, S.S., M.SP., Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemendikbudristek), merespons tantangan tersebut. Melalui program Temu Kenali Potensi Desa dari Kemendikbudristek bekerja sama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) dengan program Desa Tangguh Budaya berupaya menjawab masalah kebudayaan yang terabaikan di desa. “Kata kuncinya pemajuan kebudayaan dari kampung-desa,” terang Irini.

Kolaborasi Kampung dan Kampus

Buah pikir tentang pemajuan kebudayaan tersebut disampaikan Irini Dewi Wanti saat bertemu dengan Redy Eko Prastyo (Pelaku Budaya, Pembakti Kampung Cempluk, dan mahasiswa doktoral Sosiologi Fisip UB penerima awardee BPI), dan Janwan Tarigan (editor buku Intelektual Kampung) di Kota Malang (22/10/22).

Namun demikian, lanjut Irini, pemajuan kebudayaan dari desa tidak dapat dikerjakan oleh pemerintah saja. Dibutuhkan sinergitas para penggerak kebudayaan, baik perguruan tinggi maupun aktor aktor lokal yang ada di daerah. Dengan demikian, upaya pemajuan kebudayaan dari kampung, yang juga telah diatur dalam UU Pemajuan Kebudayaan, dapat menjadi milik bersama dan berlangsung masif.

Foto selepas diskusi, dari kanan Redy Eko Prastyo (Pelaku Budaya, Pembakti Kampung Cempluk), Irini Dewi Wanti (Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudyaan Kemedikbud, dan Janwan Tarigan (editor Intrans Publishig) | semilir.co

Sebagai langkah awal, tanggung jawab sosial (Personal Social Responsibility/PSR) para sarjana perlu ditumbuhkan. Itulah yang menjadi pondasi dari gerakan ini. Oleh sebab itu, Redy Eko Prasetyo, melalui buku Intelektual Kampung (Malang: Intrans Publishing, 2023), berusaha menyajikan praktik baik gerakan kebudayaan Kampung Cempluk. Buku ini diharap menjadi medium menyebarluaskan gagasan tentang makna kampung, peran intelektual, dan pemajuan kebudayaan dari kampung.

Redy turut menyorot peran perguruan tinggi dalam pemajuan kebudayaan dari kampung. “Perguruan tinggi harus hadir di tengah kampung sebagai pemantik dan penggerak pemajuan kebudayaan selaras dengan potensi masing-masing kampung,” urai Redy.

Jangan sampai “menara gading” perguruan tinggi terus berlangsung; ilmu tinggi tapi tidak dipraksiskan di tengah masyarakat, menjawab masalah sosial. Seorang intelektual harus menjalankan fungsi sosialnya di tengah masyarakat. Itulah yang dikonsepsi sebagai intelektual kampung. Kala akademisi mampu menerabas tebalnya tembok kampus lalu hadir di lingkungannya (kampung) membawa perubahan sosial.

Harapannya, kesadaran diikuti kolaborasi dalam Pemajuan kampung dapat membawa angin segar bagi kampung.  Kala kebudayaan menjadi primer dan kampung berada di muka maka kampung benar-benar menjadi lumbung kebudayaan. Dengan begitulah kita menjadi bangsa yang berkepribadian dalam berkebudayaan.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here