Kamu beranjak dari sofa setelah pintu rumahmu diketuk dua kali. Melihat siapa yang mengganggumu membaca komik. Ternyata itu adalah Orbinson –teman kuliahmu yang baru pulang ke kampung halaman.
“Ada apa malam-malam begini datang, Bin?” tanyamu keheranan.
Wajah Orbinson datar dan dia mengenakan setelan tidur. Kamu berpikir temanmu itu akan menginap di rumahmu.
“Hanya ingin mengobrol,” jawabnya melenggang masuk tanpa kaupersilakan.
Kamu hanya menggeleng kepala dan menutup pintu. Duduk di sebelah Orbinson dan menatap komik yang seharusnya kaubaca.
“Kamu masih suka baca komik ternyata. Duh, menyedihkan sekali, kehidupanmu bisa lebih cemerlang dibanding sekarang,” ujar Orbinson sambil mengeluarkan bungkus rokok. Membakar, lalu menghisapnya tepat di depanmu.
Walaupun kamu bukan perokok, kamu tidak memarahinya karena dia merokok di dalam rumahmu. “Siapa bilang? Aku sama sekali tidak merasa sedih dengan semua ini. Aku bahagia dengan kehidupanku sekarang.”
Mata Orbinson lekat menatapmu. “Kamu boleh pintar dariku. Kamu juga berada di urutan satu saat tiga tahun silam sewaktu kita diwisuda, tapi ternyata pemikiranmu tidak sama sepertiku, tak pandai soal mencari peluang untuk kehidupan lebih cemerlang. Lihat dirimu, sudah berapa penawaran yang kamu tolak dari luar. Hidup di Indonesia dengan segala kepintaranmu adalah suatu upaya menyia-nyiakan kesempatan. Mungkin kepintaranmu akan mengaku sangat dirugikan jikalau dia bisa bicara padamu.”
Kamu merasa tersindir. Kamu membenarkan semua perkataan Orbinson, tapi dari lubuk hati kecilmu, kamu masih mengingat pesan almarhum orangtuamu.
“Apa aku bisa hidup setenang sekarang jika pergi ke luar Negeri? Apa aku akan mendapatkan kebahagiaan yang kudambakan? Apa semuanya begitu mudah didapat seperti aku tinggal di sini?”
Orbinson mengeluarkan asap rokok tepat di depan wajahmu. Membuatmu sedikit batuk-batuk karena tak terbiasa dengan asap rokok.
“Kamu bisa mendapatkan segalanya. Perguruan Tinggi di luar sana lebih menghargai kepintaranmu dibanding di sini. Kehidupanmu akan jauh lebih layak dibanding sekarang. Aku telah membuktikannya. Tiga tahun aku benar-benar menikmati hasil dari kepintaranku yang berada di bawahmu. Aku sudah membeli segalanya. Sementara kamu? Masih menempati rumah peninggalan orangtuamu.”
Sebenarnya kamu punya alasan kenapa masih tinggal di rumah peninggalan orangtuamu. Mereka yang memintamu untuk menetap hingga akhirnya menemukan pasangan hidup. Tetapi kamu tidak membalas ucapannya yang satu itu.
“Lupakan pembahasan itu. Kita selalu membahas setiap kali kamu pulang dari luar Negeri. Kenapa kamu tidak membawakanku oleh-oleh tiap kali pulang? Sungguh teman yang kejam.”
Orbinson tertawa. “Apa kalau aku membawakan oleh-oleh untukmu dari Negeri kincir angin itu kamu akan berubah pikiran untuk ikut denganku ke sana? Kupikir tidak. Padahal, aku, sebagai temanmu yang paling menyayangimu, paling perhatian denganmu, selalu menawarkan kesempatan yang bagus. Ajak istrimu itu hidup di luar Negeri. Dia pasti akan senang.”
“Ratna masih memiliki orangtua yang sudah ringkih, Bin. Aku tidak tega mengajaknya pergi ke luar sementara dia masih harus merawat orangtuanya. Sudahlah, kami masih senang tinggal di sini. Mengajar di Perguruan Tinggi di kota ini juga tidaklah seburuk yang ada di pikiranmu. Aku mengabdi untuk Negeri.”
Orbinson beranjak dari sofa, keluar untuk membuang puntung rokok. Lantas kembali masuk dan mengarahkan matanya pada meja –seperti mencari sesuatu.
“Kamu tidak menyuguhkanku minuman? Sungguh teman yang kejam!”
“Astaga! Aku lupa, maaf. Istriku sedang menginap di rumah orangtuanya. Mertuaku habis masuk rumah sakit, jadi perlu perawatan ekstra,” katamu yang langsung bergegas ke dapur.
Kamu kembali ke ruang tengah dan Orbinson berkata lagi, “Kalau kamu bekerja di sana, mungkin mertuamu juga akan mendapatkan pengobatan yang jauh lebih handal dan profesional. Kamu bisa membawanya ke rumah sakit yang ada di Singapura dengan gajimu yang mungkin berkali-kali lipat dari sekarang.”
Kepalamu sudah mendidih mendengar setiap ocehan Orbinson yang merujuk pada penolakanmu. Seperti orang itu sudah dibayar ratusan milyar agar kamu menerima tawarannya. Tapi nyatanya tidak begitu. Yang kamu tahu, Orbinson melakukan itu karena dia memang perhatian dan menyayangkan keputusanmu untuk menolaknya.
“Omong-omong, bagaimana kabar keluargamu? Apa istrimu senang kau ajak tinggal di Belanda?”
Tidak ada pilihan selain mengganti topik, kamu mengalihkan perhatian Orbinson pada pembahasan berulang. Tetapi, kamu melihat Orbinson yang tetiba senyap. Dia mengeluarkan rokok lagi, membakarnya, lalu menghisapnya tanpa menjawab pertanyaanmu.
“Bin? Kenapa diam saja?”
Setelah mengeluarkan pertanyaan, ponselmu berdering dan kamu mengangkatnya. Itu dari istrimu, memberi kabar soal orangtuanya yang sudah membaik. Istrimu juga memberitahu jika dia akan pulang esok paginya. Kamu mengobrol begitu manis dengannya sebelum akhirnya memutuskan sambungan.
“Kamu terlihat masih seperti pengantin baru,” komentar Orbinson.
“Yah, begitulah. Kami masih sama seperti awal-awal pernikahan. Ratna bilang, dia akan pulang besok,” jawabmu. “Jadi, apa kamu menginap di rumahku malam ini?”
“Tidak, aku pulang saja. Salam untuk Ratna. Mungkin besok aku akan kembali ke Belanda.” Orbinson bangkit dan berjalan menuju pintu.
“Cepat sekali. Kupikir kamu akan mengajak kami untuk sekadar reuni bersama Ratih, istrimu.”
Langkah Orbinson terhenti. Membalikkan punggungnya dan menghadapmu. “Kami sudah bercerai,” akunya.
“Sejak kapan?”
“Tiga bulan lalu. Kupikir dia cerita dengan Ratna tentang perceraian kami.”
“Tidak, bahkan kami tidak bertemu Ratih. Kenapa kalian bisa bercerai? Bukankah kalian hidup bahagia di Belanda?”
“Sebenarnya kami hidup bahagia. Segalanya kami punya. Tapi, aku tidak mengerti dengannya. Perempuan memang sangat membingungkan.”
“Lalu, kenapa pisah?”
“Ratih salah paham, katanya melihatku bermesraan dengan perempuan lain.”
“Kalau kamu tidak melakukannya, kenapa kamu tidak membujuknya? Kamu ‘kan seorang suami. Seharusnya kamu tidak langsung menceraikannya begitu saja.”
“Untuk apa? Masih banyak perempuan lain yang lebih pintar dan tidak mudah salah paham darinya. Aku juga sebenarnya kesal, dia mudah marah dan banyak bicara tiap kali aku pulang kerja.”
Kamu tidak bicara apa-apa lagi. Sejak Orbinson pergi ke Belanda tiga tahun silam, kamu merasa Orbinson memang berubah. Mulai dari pemikiran dan sudut pandangnya tentang berbagai hal. Menurutmu, lingkungan sekitar adalah pengaruh besar bagi manusia.
[…] Kawan Dari Belanda Puisi-Puisi Dian Chandra Hari Pertama Menjadi Kucing Kemiskinan yang […]