Diskusi bertajuk Masa Depan Puisi Indonesia, Eksperimen Penulisan Puisi dengan Artificial Inttiligence digelar dalam helatan BWCF di Universitas Negeri Malang (UM) (24/11). Dua pengisi acara itu, adalah Martin Suryajaya, Penulis buku Penyair Sebagai Mesin, dan Royyan Julian, penyair yang beberapakali melakukan eksperimen dengan Tools AI. Perangkat Kecerdasan Artifisial.
Martin telah menerbitkan buku itu Maret tahun lalu (2023). Dalam buku tersebut, data set penyair-penyair Indonesia ia masukkan dalam empat Tools kecerdasan buatan. Hasilnya, kompilasi puisi baru yang saling acak menjadi padu dalam satu naskah. Bagi Martin, dalam diskusi yang berlangsung, kecerdasan buatan dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia bersifat niscaya. Kerja kreatif, yang biasa dilakukan oleh penyair, atau pengarang pada umumnya, akan bersinggungan dengan kerja kreatif mereka di masa mendatang. Adapun dalam perkembangan ini, penyair perlu menyiasati kreatif, atau timbul-tenggelam dalam ketakutan dan kreatifitas massa yang banal.
Dalam diskusi itu, ragam tanggapan muncul yang menentang narasi Martin. Salah satunya, adalah tanggapan mengenai puisi yang berasal dari “rasa” manusia yang menjalani kehidupan. Sementara kecerdasan artifisial, hanyalah kompilasi data yang berisi input dan output. Berbeda dengan Royyan Julian, Royyan mengatakan bahwa kerja kepengarangan adalah tetap pada proses kreatif seorang pengarang melakukan interaksi dengan teks, amatan terhadap dunia, dan bagaimana dia menyerap proses kreatif itu dalam karya yang baru.
Tentang hubungan manusia dan mesin, Royyan menyinggung, sebetulnya. “Apakah mampu, entitas nir-sadar mendapat status kepenyairan”. Ini yang menjadi polemik juga, barangkali, setelah itu ia menganalogikan kesamaan relasi antara Manusia dengan Banobo yang memiliki DNA genetik 98,7% mirip dengan manusia mampu menulis puisi. Apabila benar boleh dikatakan, iya, memang Banobo bisa diakui eksis sebagai penyair, dengan cara membangun komunikasi antara manusia dengan Banobo, barangkali mereka kelak mampu menyandang status kepenyairan. Hal ini terasa logis, bila status kepengarangan, atau kepenyairan itu mampu disandang oleh entitas di luar manusia itu sendiri.
Polemik ini, memang cenderung menyinggung pada aras pemikiran penyair sebagai subjek. Maksudnya, manusia yang mampu melahirkan daya kreatif dan melahirkan karya seni. Dengan kata lain, teks bukan dipandang sebagai sesuatu yang utama, tetapi lebih dulu mempertimbangkan siapa yang melahirkan teks. Seperti misalnya, pertanyaan bukankah teks lahir ada si penulis, dengan kata lain, sekalipun yang melahirkan puisi adalah Kecerdasan Aritifisial, tetap teks lahir dari Penulis. Siapa yang mengoperasikan mesin tersebut, atau siapa yang memasukkan set data ke dalam mesin itu.
Sementara itu, di sisi lain, Martin pernah menulis lebih dulu, bahwa apa yang absen dari perkembangan masa depan, sekaligus barangkali terancam adalah peran kurator. Dalam kesusastraan Indonesia, barangkali peran kritikus yang akan semakin kompleks. Martin juga pernah menulis, bagaimana memosisikan kritikus sastra, sementara sisi lain, Netizen hari ini mampu mengomentari sebuah karya. Vis A Vis dengan selera mereka.