Sebelum masuk kepada ulasan serta catatan Sejarah Film Indonesia, ada baiknya menelusuri jejak ide-ide yang pernah hadir untuk menerjemahkan Indonesia. Baik secara teori maupun material historis yang pernah ada. Dengan cara itu, setidaknya kita mampu menghargai sejarah film dengan baik dan merayakannya seolah yang pernah lalu pernah menjadi bagian dari cerita yang membentuk hari ini. Dalam bahasa Ariel Heryanto, dengan kata lain, dengan cara ini kita mampu menghindari bias dan lebih mampu melihat kenikmatan Identitas yang pernah melekat dalam diri kita meskipun tanpa pernah kita minta. Mengapa demikian, karena jika mengacu pada teori sirkuit (perjalanan) sebuah Budaya Stuart Hall dalam studi kebudayaan miliknya, Identitas pada dasarnya adalah sebuah proses yang sirkular, terus berputar dan makna akan berubah sesuai dengan konteks individu yang menerjemahkan dirinya pada situasi dan konteks yang berbeda-beda.
Mengapa pula Individu yang menjadi acuan, apakah memang karena jikalau sebuah cerita dibentuk lebih menarik jika identitas yang melekat pada diri individu dibuat lebih “terbuka” sehingga melahirkan identitas yang beragam. Ketimbang misalnya pelekatan simbol terhadap masyarakat yang telah diterjemahkan memiliki identitas karena akan melahirkan kisah yang seragam. Misalnya dalam hal Madura, lazimnya dalam masyarakat awam dikenal sebagai manusia perang klewang (Carok). Apakah juga tepat, misalkan menerjemahkan identitas individu ketika relasi primordial yang kerap sulit diterka seperti keluarga masih mampu dilihat sebagai acuan. Kendati pengelompokan relasi primordial keluarga pada hari ini lebih mudah dilihat dari aspek perbedaan, keluarga yang memiliki hak istimewa (privilege) dan tidak dikarenakan pengaruh tekanan sistemik struktur sosial masyarakat tersebut.
Dalam pengertian ini, apa yang terjadi pada Invidu mengacu pada pengamat Psikoanalisis, Jacques Lacan sejatinya memang yang disebut Individu pada dasarnya adalah seorang yang terus mencari simbol riil. Simbol yang dimaksud adalah, keutuhan dari segala kekurangan yang menyebabkan dirinya memandang “ada yang lain” selain dirinya. Ada yang lain dan tidak sama dengan dirinya, sehingga dengan itu memungkinkan adanya pertukaran simbol. Sama halnya dengan teori sirkuit Budaya Stuart Hill, kekurangan dalam identitas pada dasarnya akan terus berputar dan melakukan interaksi satu sama lain. Apa yang dituju jika berniat mencapai keutuhan akan mustahil, karena identitas Individu dalam hal personal akan terus menghancurkan dirinya sendiri dan membentuk dirinya yang lain.
Berdasarkan amatan ini, penulis berusaha melihat kaca mata sejarah nasional yang mulanya berasal dari lalu-lalang ide tentang Nasionalisme. Telah diterangkan pada paragraf sebelumnya, kehendak mencari dan menjabarkan paham Nasionalisme semata untuk melihat perjalanan Sejarah Film Indonesia sebagai lalu-lalang pertukaran ide, gagasan, cerita dan wacana yang membentuk Indonesia pada hari ini. Begitupun dalam kasus yang pernah disinggung dalam cerita-cerita yang berkaitan dengan Usmar Ismail. Dengan cara ini, tulisan akan dibentuk sebagai “ruang terbuka” , seolah ia seperti pameran museum yang mampu siapa saja melihat ragam karya dalam dinding ruangan. Karya-karya yang sepintas lalu mampu membawa kita setidaknya mempelejari guna kepentingan “keterbukaan” pertukaran identitas ini.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang baru bersifat argumen yang terang. Ragam akar istilah ini bisa dilacak dari macam-macam peristiwa. Akan tetapi, banyak catatan menyepakati akar istilah ini hasil dari istilah yang dipopulerkan oleh Etnografer Jerman, Adolf Philip Wilhelm Bastian (1850) yang mengutip peneliti sebelumnya, George Windson Earl pakar Geografi asal Inggris. Indonesia sebagai sematan makna terhadap suatu bangsa, sejatinya ialah berdasarkan pada penggalan dua kata “Indus” dan “Nesia” yang bermakna kumpulan kepulauan yang mirip seperti India. Dalam bahasa lain, dapat dikatakan sebagai India dalam bentuk Gugus Pulau (Archipelago)
Pada akhirnya, kata yang sudah masuk ke dalam dunia akademik ini diserap oleh Mahasiswa yang tengah mengambil studi di Belanda. Berdasarkan catatan, adalah Perhimpunan Indonesia (Indische Vereninging) organisasi asal Indonesia yang pertama kali menggunakan kata Indonesia. Berkat adanya interaksi dengan dialektika masyarakat yang ada di Belanda, para Mahasiswa yang berhimpun ini mencari titik temu konsolidasi upaya menangkap arus sejarah dengan apa yang mereka yakini sebagai “Kemerdekaan Bangsa”, yang mengacu pada paham Nation-State yang mulai berlaku pada masa itu.
Berbeda dengan Nusantara yang beberapa kali disebutkan dalam kitab-kitab Jawa sebagai bentuk penamaan gugus arsipelago ini. Indonesia justru diterima oleh mereka yang mengenyam Pendidikan di Eropa. Perumpamaan ini sekedar berfungsi sebagai penjelas lalu-lalang ide “Nasionalisme” yang pada dasarnya, beradasarkan amatan Ben Anderson hanyalah “suatu dalam bayangan” yang ingin menjelaskan kedaulatan teritori wilayah dan politik pada suatu wilayah. Dalam lawatan Geoge Windson Earl, kesatuan gugus arsipelago dalam apa yang disebutnya “Indian Archipelago” memiliki penghubung bahasa pergaulan untuk berinteraksi dalam kepentingan-kepentingan tertentu. Bahasa Melayu adalah Bahasa Populasi Orang Maritim sebagai “Lingua-Franca” perdagangan. Dengan demikian, Ben mengatakan bangsa yang telah lama memiliki Bahasa Pergaulan ini terbantu pada akhirnya seiring dengan adanya perkembagan mesin cetak sebagai medium pertukaran Ide tentang Indonesia.
Adalah hal menarik lain ketika Ben mengatakan jika sejak dulu Bangsa Indonseia merupakan simpang dalam pergaulan Internasional karena kekayaan Sumber Daya yang dimilikinya. Pergaulan Internasional bangsa-bangsa yang bertempat tinggal di Nusantara yang kelak menamakan dirinya sebagai Indonesia melalui “khayalan” akhirnya berdiri sebagai Negara-Bangsa pada hari ini yang dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonseia (NKRI). Yang akarnya, sebagaimana amatan Windson memiliki corak keterpengaruhan yang besar dari budaya India, di sepanjang aliran Sungai Indus. Meskipun kanon gambaran Indonesia sejak abad ke 10 itu sudah ada, ketika Bangsa Imajiner ini membangun dirinya sebagai Negara Bangsa pada akhirnya tetap ingin merumuskan kembali apa itu Indonesia.
Polemik Kebudayaan menjadi penanda yang cukup besar bagaimana elit nasional yang berpendidikan pada masa-masa awal revolusi turut menyumbang debat gagasan mengenai Indonesia yang ini. Sutan Takdir yang terpesona pada kemajuan Iptek Barat menginginkan Indonesia yang sama sekali lain dari masa lalu. Memutus masa lalu untuk melihat masa depan dan belajar bagaimana orang-orang Barat bertumubuh pengetahuannya. Sementara Ki Hadjar dalam kubu lain misalnya, menyangkal bilamana segala hal harus mengacu pada Barat. Baginya masih ada yang mampu dipelajari dari masa lalu sebagai konstruksi Indonesia ke depan. Meskipun patut digarisbawahi, tetap pada muaranya ini berujung pada pembentukan identitas. Identitas yang dibentuk bukan dari satu wicara seorang pelajar, melainkan secara dialektis aka nterjadi begitu saja di tengah kehidupan sosial-politik dan menerjemahkan apa itu identitas Indoesia. Bahkan Mochtar Lobis, salah seorang Wartawan pada masa Orde Baru menyatakan jika Identitas “Manusia Indonesia” dibentuk di atas kebiasaan hipokrit.
Dengan adanya lalu-lalang pertukaran ide, gagasan dan dialektika dalam tubuh masyarakat, proses pemaknaan akan identitas Indonesia terus menerus. Mendudukkan Nasionalisme sebagai perkara Ide, yang sebenarnya memiliki ragam wacana, dalam film kita mampu menerka apa yang diterjemahkan oleh seni layar ini. Nasionalisme, atau yang biasa disebut oleh Hitler kecintaan terhadap ikatan primordial berdasarkan Ras Arya juga pernah dikategorikan sebagai Nasionalisme jika semata mengacu pada paham nasionalisme. Meskipun Hitler sendiri duduk perkaranya sering dikategorikan sebagai Ultra-Nasionalis yang melahirkan Fasisme. Dalam film, Seno mencatat beberapa kategori Wacana Nasionalisme dalam film untuk menggambarkan keutuhan ketika ingin membaca film Nasional.
Nasonalisme adalah imajinasi suatu komunitas yang sedang menempati wilayah dan berusaha menerjemahkan kedaulatannya. Karena itu, identitas mendasar dalam kedaulatan adalah sebuah teritori. Ketika seseorang misalnya, menonton film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (2013) atas sutradara Sunni Soraya mengambil latar Surabaya, apakah dengan demikian ia merupakan film Indonesia. Ya, jika berdasarkan teritori, imaji kedaulatan Bangsa Indonesia salah satunya adalah Surabaya. Dengan demikian, film itu termasuk film Nasional, meskipun pada akhirnya teritori sebagai acuan sangat sulit untuk menjadi kategori dasar yang utuh.
Film Bulan Terbelah Di Langit Amerika (2015) misalnya mengambil latar New York sebagai dasar cerita kelam yang memunculkan narasi anti-teror Muslim, dan khususnya Timur Tengah yang berakhir pada narasi Anti-Semit di Amerika. Secara naratif, film ini lebih banyak memuat upaya untuk merekonstruksi kejadian di Amerika sebagai upaya mengadvokasi secara kultur bahwa tidak semua orang yang beragama Islam adalah teroris. Upaya ini ditunjukkan oleh tokoh Rangga Almahendra, seorang pelajar berprestasi dan pengajar di Amerika yang kesehariannya dihantui stigma teroris karena ia seorang muslim. Rangga tidak menjawab dengan apapun, selain dengan tindak aktivitas hariannya yang ingin membuktikan bahwa pada dasarnya siapapun orang Islam yang menganut ajarannya secara baik, hari-harinya dipenuhi denga energi welas asih.
Bila mengacu pada Nasionalisme berdasarkan teritori, jelas film ini tidak menampilkan Indonesia sama sekali selain melalui dialog. Adapun jika yang ingin disorot adalah Keindonesiaan, dalam film ini identitas yang cenderung menonjiol sebetulnya adalah seorang Muslim Indonesia. Tapi film ini masih bisa masuk kategori Film Nasional, sejauh ia memliki pertimbangan Fungsional model teknik bertutur ala “Indonesia”. Bulan Terbelah Di Langit Amerika, memang pada dasarnya dalam lanskap yang lebih luas beririsan dengan naiknya tradisi kesusastraan yang menganggap dirinya sebagai Sastra Islam sejak tahun 1970 identitas Sosial-Politik Islam menguat. Tradisi ini memiliki dramaturgi, tema, dan fungsi yang sebenarnya unik terpisah dari arus umum seni bercerita pada masa itu. Pertimbangan Fungsionl ini, bagi Seno bisa dilihat jeli melalui cara ia bertutur dan dilihat dalam perspektif yang lebih umum (globalisasi) ia tidak terkungkung pada metode Drama yang disediakan Hollywood yang mendominasi dunia film selama bertahun-tahun.
Bulan Terbelah Di Langit Amerika (2015) sebagai film yang memiliki cara bertutur khas, keluar dari kanon Dramaturgi Hollywood jelas sangat berbeda. Di satu sisi, secara fungsional ia ingin menegaskan film ini sebagai partisipasi ruang “Islam-Indonesia” dalam lanskap pergaulan kosmpolitan. Namun di sisi lain, ia ingin menegaskan sekaligus narasi Islam tidak melulu bicara surga. Wacana yang ini dibangun di atas kepentingan fungsional ke dalam, yakni memberikan kacamata yang lebih luas bagi khalayak Muslim Indonesia di dalam, sekaligus ingin menegaskan di luar teritori Indonesia, yaitu Amerika. Meskipun bahasa yang digunakan dalam film, tetaplah Bahasa Indonesia.
Apa yang hadir selain kepentingan Fungsional dalam film Bulan Terbelah Di Langit Amerika (2015) , adalah menegaskan dirinya dalam lanskap Film Nasional melalui apa yang disebut oleh Seno sebagai Pertimbanga Relasional. Identitas Islam di Indonesia, dalam film ini melalui tokoh Rangga digambarkan kuat sebagai relasi antara orang-orang Islam Indonesia dengan isu Islam transnasional. Lagi, sekaligus ia ingin menegaskan dirinya sebagai Orang Islam dengan kultur khas Indonesia, yang secara lain membedakan dirinya misal, dengan kultur orang-orang Islam di Amerika