Kembang galengan, hidup berserakan tanpa semerbak. Jangankan manusia, serangga pun tak ingin mendekat. Berguna juga tidak! Bunga penghias pun, tidak! Dia hanya kembang pelengkap, yang tiba-tiba tumbuh lalu menghilang. Dipetik untuk apa? Dibuang. Kasihan pula kembang galengan itu. Akan tetapi, dia tetap tumbuh di tanah hamparan milik penguasa alam semesta ini.
Kembangan galangan—kembang pematang yang tumbuh berserakan, berupa—semak-semak. Tujuan hidupanya tak ada hanya sebatas hidup. Sering kali dikatakan gulma dan hama. Bahkan, keberadaannya sangat tidak diinginkan di area pertanaman. Kata para petani mereka disebut “tanaman penganggu”.
Kembang gelengan memang tak berguna. Namun, dia melakoni tugas sebagai makhluk Tuhan untuk tidak menghakimi takdir yang hadir dalam dirinya. Tubuhnya amat kecil, tapi tak seperti benalu yang gemar mengambil hak orang lain. Dia hanya sekadar hidup untuk mencari kawan sesama tumbuhan, rumputan, ilalang, atau sejenisnya yang hadirnya juga tak dianggap.
Kembang galengan hidup dengan usia pendek, seperti bunga yang hanya mekar untuk sore lalu layu dan mati. Seperti hendak mengabarkan pada manusia, bahwa hidup tak akan pernah abadi. Kembang yang penuh kesederhaan ini, tak punya mahkota untuk dipamerkan keelokannya. Kembang yang mendidik manusia untuk tak mementingkan simbol pada dirinya, menggunakan segala sesuatu yang dimiliki, tak peduli ketenaran diri hingga pencitraan yang tak punya nilai dalam kehidupan manusia. Tatkala seseorang hendak memamerkan dirinya, seyogyanya dia sedang kehilangan integritas, serta disorientasi dalam kehidupan dirinya.
Kembang galengan, kembang kecil, kembang dengan perhiasan bunga tak lengkap tetaplah tumbuh di semesta ini. Agar manusia dapat mengambil hikmah di setiap tumbuh kembangmu sebagai makhluk Tuhan, hingga sadar akan batas hidup, serta paham mandat hidupnya sekaligus berendah hati akan kemampuan dirinya. Manusia yang tak dibebani ambisi atau hanya sekadar untuk menikmatinya.
Kembang galengan, hidupmu memang sekejap. Tapi, biarkan kami mengeja bungamu, daunmu, batangmu, serta akar yang meguatkanmu untuk tetap bertahan dan hidup di semesta alam ini. Biarkan alam yang mengajarkan kami secara langsung untuk mengejamu agar setiap butiran embun yang berjejatuhan dari dedaunmu itu, dapat kami eja bahkan kami terapkan dalam tindakan kami. Seorang guru pernah berujar bahwa mambaca yang paling sukar adalah membaca fenomena sosial yang hadir dalam kehidupan tiap manusia. Sebab, alam dan seisinya adalah guru terbaik yang tak akan pernah berbohong.
Kami ini terlalu congkak, jarang sekali belajar ke alam semesta. Padahal buku, jurnal, dan semua literatur tak cukup merekam pengetahun yang dimiliki Tuhan. Ditambah lagi, teknologi semakin gencar-gencarnya menjadi sumber utama rujukan yang sering kami sebut sebagai “Mbah Google”. Sekali pencet sudah kami dapatkan semua informasi itu.
Tapi, empati, adab, atau segala hiruk piruk kemanusiaan sukar sekali didapatkan di mbah google itu. Bahkan, mbah google dapat menyihir manusia untuk melakoni hasrat untuk kepentingannya sendiri. Mungkin, paling banter ditemui hanya perdebatan yang tak pernah bertuah dan menganggap diri paling benar. Seakan kebohongan hari ini, menjadi rujukan untuk mengasah diri seseorang.
Kita sering menganggap diri kita ini, sudah berkembang dalam ilmu pengetahuan, tetapi sebenarnya tidak. Sebab, kami sedang mengalami involusi peradaban yang semua kehidupan manusia tak berdasarkan pengetahuan. Semua berlomba-lomaba mencari ketenaran yang nir kebermanfaatan, tak sepertimu yang hidup lalu mekar, tetapi mati sesudah itu. Sebab, kau tak menginkan serupa seperti kami.
Kembang galengan, bolehkah kami bertanya? Bagaimana kita bisa hidup sesederhana dirimu? Sedangkan, dunia ini selalu menawarkan kemegahan yang tak pernah usai. Menginginkan banyak hal tanpa mengerti tujuan yang sebenarnya. Kadangkala, mata ini tertutupi dengan keinginan yang hanya sekejap. Kita sering anggap kenginan itu kekal dan abadi, tapi kebermanfaatannya sungguh tidak ada.