Ada yang mengherankan dari keyakinan Ken Loach perihal sinema dan menjadi sutradara kawakan. Ia meyakini dirinya bukan sebagai penganut auteur. Mungkin sedikit meragukan efektivitas praktik itu pada sinema. Ia mengungkap bahwa sinema merupakan kerja kolaboratif, hasil turun tangan kolektif—yang mana di dalamnya ada tukang rekam, tukang jepret, tukang properti, tukang kostum, tukang tulis, tukang edit, sampai tukang jual, dan tak ada elemen gerak paling menonjol di sana. Selaku tukang instruksi, ia berkeras dengan nihilnya konsep pasak negeri dalam sinema—tak ada yang memegang kendali utama pada seni ketujuh. Semuanya adalah gerak fungsional dari porosnya masing-masing. Apa yang ada pada layar, pada seluloid, pada kisah, benar-benar datang dari sekumpulan orang yang punya visi sama.
Ini unik, tapi sedikit paradoks. Karena Ken Loach tak bisa melepas teori itu secara lapangan, bahkan hasil. Ia boleh menjalin erat lagi egaliter rekan-rekannya dalam dunia kerja, sebagaimana tak semua sutradara lakukan. Namun akan selalu ada patronisme dalam produksi sinema. Ia akan selalu menjadi sumber utama yang diincar para manusia, dicari-cari karyanya, dan disebut-sebut namanya pada pergelaran festival-festival besar. Bukan tukang rekamnya, bukan tukang tulisnya, bukan pula tukang gulung kabelnya. Pada akhirnya film hanya memiliki satu dalang, yaitu sutradara. Dan Ken Loach adalah auteur pada situasi yang demikian; praktik, mungkin (juga) ideologis. Ia cuma tak ingin mengakuinya saja.
Auteur datang sebagai teori paling mutakhir dalam dunia sinema sebagai proyek seni. Bahwa sebuah karya dimiliki oleh satu tangan—yang terikat oleh ambisi artistik si empunya. Atau sedikitnya serangkaian tangan pada antologi, dan tak keseluruhan tangan yang menyandang hasilnya. Klaim sutradara sebagai yang seratus sembilan puluh sembilan persen paling berhak mengakui satu film sebagai karyanya bukanlah kejahatan. Itu masuk akal. Sederhana. Sebab kacamata auteur selain mengacu pada lahirnya sebuah karya yang berbentuk buku, lukisan, dan patung (yang juga termasuk bentuk kerja kolaboratif), ia juga memandang sebuah karya sebagai hasil dari kekuatan kreatif sineasnya—yang konsisten eksis, tak berubah wajah, sehingga besar kemungkinan mudah teridentifikasi.
Sebagai permisalan; orang-orang tak rungu dan tak mau menahu akan siapa editor/penerbit buku, siapa kolekter di meseum seni, dan siapa yang menjual alat pahat khusus patung. Titik tengahnya ialah siapa yang menciptakan dunia di dalam medium seni itu sendiri. Siapa yang menciptakan karakter individualnya, dan kontrol penuh. Maka dunia pada film, adalah dunia pada isi kepala sutradaranya. Dan oleh sebab itu auteur adalah kemutlakan, dan semua sutradara (pada kasus ini bentukan yang dapat dicirikan) adalah auteur atas filmnya—sekalipun Loach—yang mengkhianati itu.
Filmis Loach yang tak kunjung berubah—yang statis pada konseptual esensi realistik Bazinian; yang yakin bahwa esensi realitas dalam film terletak pada gugusan gambar yang tak terintrupsi, menegaskan betapa auteur-nya ia di konstelasi sinema. Ini didukung pula olehnya sendiri lewat substansi dan kutub-kutub pemikiran Marxian pada narasinya yang tak pernah beranjak dari ranjang; kelas pekerja, sistem yang gagal, birokrasi yang riweh dan mencekik, penderitaan individu, sampai pada dialek sebagai katarsis atas derita. Bukankah itu tematis? Indikator absolut dari apa yang disebut sebagai auteur? Itu yang lagi-lagi mengukuhkan betapa auteur-nya Loach. Oleh sebab itu bukanlah sebuah kesalahan kalau saya sedikit sangsi atas pengkhianatan Loach dari teori auteur, yang padahal sesungguhnya sangat mempengaruhi sinematiknya. Oke saja bila auteur dicirikan sebagai sutradara yang sekaligus menulis ceritanya juga. Loach tak pernah menulis ceritanya, ia cuma membangun. Tapi ia tetap auteur karena pendekatan, gaya, substansi, dan ciri yang repetitif itu.
Mungkin (ini kemungkinan yang saya buat-buat) auteur tidaklah selaras dengan apa yang Loach galakkan. Ini yang dimaksudkannya. Auteur tak menjunjung tinggi konsep kolaboratif (ini memang tonggak kontroversial dari teori tersebut), sebagaimana yang tergambarkan dalam kerja-kerja Loach baik luar-dalam maupun kanan-kiri. Ia mengarah pada tendensi individual, di mana artistik hanya punya satu kepemilikan. Padahal menurut Loach, banyak manusia yang menyuplai ide dan mengimprovisasi ide pada tahap produksi. Maka di sini saya punya satu kesimpulan; bahwa Loach sebenarnya tak sepenuh hati menolak auteur, ia hanya menolak konsep yang melibas kongsi-kongsi pada kerja film dalam auteur, terlepas dari kenyataan bahwa ia juga penganut keras artistik repetitif yang menjadi penanda corak warna seorang sutradara auteur. Dalam hal ini saya kira Loach masihlah auteur secara tematis estetis. Kendati tidak pada yang lainnya.
Ken Loach berasal dari Britania Raya. Lahir di ‘kota pasar’ Nuneaton, Warwickshire, dekat Coventry, pada tanggal 17 Juni 1936. Ayahnya adalah tukang listrik di industri perkakas, seorang kelas pekerja, dan ini yang nantinya setia dijadiakan objek tunggalnya di banyak film. Loach belajar tata bahasa di Nuneaton. Kemudian tertarik kuat pada seni peran ketika duduk di bangku perkuliahan. Ia sudah tak tertarik dengan hukum ketika bergiat di salah satu komunitas teater internal kampus. Di St. Peters College, Loach cepat-cepat menamatkan sarjana hukumnya. Tapi entah kenapa ia malah tersesat di Royal Air Force selama 2 tahun. Mungkin sebab wajib militer. Entahlah, tak ada catatan lengkap tentang itu. Selepas keluar, bukannya jadi hakim atau jaksa, ia malah jadi artis panggung pada teater dan bekerja untuk pertama kali di perusahaan teater regional; tentunya sebagai aktor. Tepat pada tahun 1960-an, Loach menggarap dokudrama panjang (serial antologi) untuk televisi yang berjudul The Wednesday Play (1964-1970). Ketika itu ia telah menjadi direktur televisi di British Broadcasting Corporation (BBC).
Cathy Come Home (1966), salah satu produksi Loach yang menggambarkan disintegrasi keluarga kelas pekerja dan memeriksa masalah tunawisma dan pengangguran yang parah, sampai layanan sosial yang sakit merupakan loncatan awal narasi masalah sosial yang digulatnya—sekaligus turut membawa suara di dalamnya untuk dapat didengar oleh dunia yang lebih luas. “Film tak hanya soal bintang, ia juga datang dari orang-orang yang ada di bawah sana,” katanya. Film-film Loach selanjutnya mengekplorasi suara-suara yang semula teredam di ambang langit. Ia melintasi sekian dekade dengan problematika sosial-politik. Menjadikan itu sebagai tanda perjuangan sinema kontemporer yang eksis di wilayah-wilayah kecil. Selalu berangkat dari pertarungan individu dengan hari-hari yang suram—yang terikat dalam sistem yang kalut—yang kerap luput jadi perhatian kesadaran kolektif suatu bangsa.
Kes (1969) misalnya, adalah cermin dari disfungsional berbagai lini kehidupan, termasuk parenting—dan salah satunya juga menggambarkan pendidikan yang gagal di Inggris. Karakter utama dalam Kes diasingkan dari sekolah dan terpaksa bekerja di tambang batu bara—seakan hidupnya telah ditentukan sedari awal untuk menjadi seorang kelas pekerja yang miskin. Loach memang sosialis yang ketat. Film-filmnya acap kali memicu perdebatan politik yang intens mengenai kemakmuran masyarakat. Bahkan belum lama ini, salah satu karyanya, I Daniel Blake (2016), diambil sebagai permisalan oleh salah satu ketua Partai Buruh, Jeremy Corbyn, dalam rapat parlemen Britania Raya.
Itu bukan tidak mungkin, sebab karya Loach sangatlah tajam dalam mewartakan kehidupan kelam kelas bawah, kelas pekerja. Hampir setengah dari 60 karya filmnya berbicara tentang kehidupan manusia yang berupaya memenuhi kehidupan dasarnya. Sebut saja Riff Raff (1991), film yang menceritakan cinta di tengah perut yang keroncongan. Kemudian Raining Stones (1993), menguntit seorang ayah yang bekerja mati-matian agar bisa membelikan gaun komuni yang cantik untuk putrinya. Sorry We Missed You (2019), keluarga yang berjuang melawan utang di tengah krisis keuangan. Dan ada Bread and Roses (2000) yang mungkin salah satu yang eksplisit berbicara mengenai kebutuhan dasar hidup. Di sana, Loach menunjukkan bahwa peluang ekonomi yang mengecil tidak hanya berdampak pada keuangan yang sulit, tapi juga efek psikologis dalam diri.
Jeniusnya, Loach mengarsir potret sulit dari kehidupan dengan humor pada setiap film-filmnya. Humor di sana memliki tujuan ganda; di samping berkontibusi bagi kenaturalan sinematik—ia membantu meredakan gagasan genting yang dijejal pada film. Ini lebih jelas terlihat pada I, Daniel Blake (2016). Loach juga sedikit anti oleh aktor papan atas. Tercatat pada semua filmnya, ia memanfaatkan aktor non-profesional. Ini sebelum terkenalnya Adrien Brody dan Cillian Murphy yang sempat bermain di film Loach pada tahun 2000-an.
Penggunaan aktor non-profesional adalah hasil dari keterpangaruhan Neorealisme Italia dan French New Wave pada sinema Loach. Itu yang kemudian hari disulingnya menjadi pendekatan visual dokudrama; menolak studio untuk pengambilan gambar dan memanfaatkan realita jalanan sebagai latar dari kehidupan dalam media fiksionalnya. Ia menjadikan setiap adegan sealami mungkin—gambar tak mencolok bersih, menghilangkan handheld camera, memilih gaya yang lebih statis serta dialog-dialog yang ramai, tapi tetap berseni yang menusuk lambung sosial-politik.
Film-film Loach mungkin tak berbicara banyak lewat bahasa gambar. Ia lebih suka dengan komunikasi yang lengkap melalui ragam dialek orang-orang kecil. Namun bukan berarti ia tak diakui. Ia tetap saja sutradara yang berperan penting bagi penggalian kemungkinan-kemungkinan dalam medium sinema. Bahwa film bukan soal bagus tidaknya. Bahwa film bukan soal popularitas. Bahwa film tak hanya soal seni dan gagasan ilmu pengetahuan. Di luar sana, ada orang-orang yang ingin didengarkan, dan sinema dapat menjelma corong mereka. Sampai sini, saya ingin menganggap Loach sebagai, meminjam istilah Mike Robins; politique des auteur. Ia tetap auteur, dengan film-filmnya yang politis namun tak didaktis—dengan film-filmnya yang mengairi belantara sinema sebagai perwujudan kehidupan yang bobrok dan tak adil.
: Ken Loach adalah satu-satunya orang Britania Raya yang memenangkan penghargaan paling prestisius di jagat perfilman dunia; Palme d’Or, sebanyak dua kali—melalui film yang saya singgung sebelumnya, I, Daniel Blake (2016), dan The Wind That Shakes the Barley (2006), sebuah film yang mengisahkan perjuangan masyarakat Irlandia di ruang yang lebih kecil dalam mewujudkan kemerdekaan dari genggaman Inggris dan menghindari perang bersaudara.