Sepuluh kilometer ke arah selatan kilang minyak yang berdiri puluhan tahun lalu, ada satu-satunya rumah kayu dengan satu-satunya pula pohon akasia di pekarangannya. Dan, tak ada sebilah pagar pun tampak membatasi rumah itu dengan jalan laterit merah yang selalu sibuk sepanjang tahun.
Markus Ibanik, pemilik rumah, menganggap bahwa pagar pembawa sial dan hanya orang-orang kolot yang menganggap pagar akan melindungi kita dari bahaya. Justru, katanya, semakin kau buat pagar sedemikian rupa dan canggih, bahaya hanya satu sentimeter darimu!
“Para sopir CPO, sangat tak menyukainya. Jika mereka tak datang ke sini, siapa yang akan membayar minuman-minuman itu kepada pimpinan polisi setempat? Dan, Oh! Pelacur-pelacurku yang malang!” kata Markus Ibanik kepada siapa saja yang menyoal kenapa tak ada sebilah pagar pun di rumah kayunya.
“Tanpa para sopir,” dia melanjutkan, “mereka takkan bisa bertahan hingga sekarang! Jadi, jangan berdebat denganku tentang cara-cara kolot!”
Memang hanya Markus Ibanik yang mampu bertahan setelah para pembesar dari kota membayar preman, polisi, dan militer untuk mengusir para penduduk demi mendirikan kilang minyak dan perkebunan. Markus Ibanik memiliki minuman dan pelacur yang mampu meredam kekuatan para pembesar untuk tak mengusirnya.
Pada 24 Desember 2006, seorang pembesar datang ke rumah Markus Ibanik. Tentu saja, Markus Ibanik telah menyiapkan minuman dan pelacur terbaiknya untuk menyambut kedatangan si pembesar.
“Markus Ibanik. Ah, kau tampak segar malam ini. Apakah karena musim hujan?” kata si pembesar kepada Markus Ibanik.
“Demikian, Tuan. Jas yang kau kenakan malam ini tampak mewah,” kata Markus Ibanik.
“Ya. Ya. Seorang kolega dari Jerman mengirim ini untukku pekan lalu.”
Markus Ibanik kemudian mengajak si pembesar duduk ke tempat yang telah dipersiapkan. Kamudian dia berjalan ke pintu dan menengok ke luar. Beberapa orang polisi dan militer bersenjata lengkap tampak berjaga-jaga.
“Tenang, Markus Ibanik, Sahabatku. Mereka orang-orang yang terlatih dan kubayar mahal untuk melindungiku. Bahkan, maut pun akan berpikir dua kali untuk datang. Ha-ha!” kata si pembesar sembari mengenakan dasi pitanya.
Setelah mendengar perkataan si pembesar, Markus Ibanik merasa lega. Kemudian dia duduk saling berhadapan dengan si pembesar.
“Tak mengapa, Tuan. Kabar bahwa telah terjadi pemberontakan agaknya bukan kabar burung belaka. Tuan tentu kenal Tuan A. Rasyyid? Seminggu yang lalu, dia dirampok oleh para pemberontak. Beruntung, nyawanya tak ikut serta dirampok,” kata Markus Ibanik kepada si pembesar.
Si pembesar tersenyum kecil dan menatap Markus Ibanik.
“Ya, Markus Ibanik, Sahabatku. Pemberontakan bukanlah kabar baik bagi kehidupan kita, bukan? Oleh karena itu, kedatanganku ke sini untuk memastikan bahwa kilang minyakku aman dan berjalan sebagaimana yang kuingin. Dan, juga tak kalah penting, pelayanan para pelacurmu yang hebar!” kata si pembesar.
“Ya, Tuan. Aku akan memberikan yang terbaik. Jadi, apa yang bisa kubantu untuk Tuan?”
“Aku akan menghadiahkan New Camry untukmu, Markus Ibanik, Sahabatku. Asalkan, kau membantuku melakukan sesuatu,” kata si pembesar.
“New Camry, Tuan? Oh! Itu kabar yang menyenangkan!” kata Markus Ibanik, terkagum.
“Ya, Markus Ibanik. New Camry yang kerap digunakan para jendral. Kau bayangkan jika kau memiliki satu, maka kau layaknya seorang jendral!”
Si pembesar kemudian menyuruh Markus Ibanik mendekatkan telinganya, kemudian dia berbisik. Dan, tanpa disadari Markus Ibanik, salah seorang pengawal si pembesar berjalan ke belakangnya kemudian mengarahkan revolvernya persis ke kepala Markus Ibanik.
Dan, “Dor! Dor! Dor!” simbahan darah tak terhindar oleh wajah si pembesar. Markus Ibanik tergelepar di kursi, mati.
“Kau telah mengkhianatiku, Sahabatku. Kau tak semestinya melakukan itu. Bahkan, Tuhan pun membenci pengkhianatan. Jadi dia menciptakan neraka untuk para pengkhianat!” kata si pembesar persis di telinga Markus Ibanik.
Puluhan pasang mata yang menyaksikan kejadian itu, tampak ketakutan. Bibir mereka bergetar disusul gemeretak gigi. Tak ada kata-kata yang berani keluar. Bahkan, kata-kata untuk mewakili perasaan mereka. Semua bisu dan hening.
“Mainkan Swan Lake, Tchaikovsky!” kata si pembesar.
Sebulan sebelumnya, tiga orang pemuda datang ke rumah Markus Ibanik. Mereka semua adalah keponakan mendiang istrinya. Sebagai paman, Markus Ibanik menyambut kedatangan tiga pemuda itu.
Akan tetapi, kemudian dia menjadi khawatir dan was-was ketika salah seorang dari pemuda mengatakan bahwa mereka akan melakukan pemberontakan dan pembantaian para pembesar.
Bagaimana pun, Markus Ibanik adalah bagian dari para penduduk yang diusir dari tanah-airnya oleh para pembesar. Darah yang mengalir di tubuhnya adalah darah para leluhur yang gagah dan pemilik sah tanah-air mereka.
Jadi, sekali pun dia hidup begitu dekat dengan kekayaan dan kekuasaan para pembesar, darahnya mengalir begitu cepat dan matanya menyala, marah yang diredam.
“Target utama kami adalah Sam, pembesar dari selatan, Paman. Beritahu kami di mana kilang minyak miliknya. Dua hari lagi, kami akan membakarnya. Dia pasti akan datang. Dan, ketika itu terjadi, kawanan kami telah siap mati untuk membunuhnya,” kata salah seorang pemuda.
“Benar, Paman,” timpal seorang pemuda lainnya. “Kami akan menjaga baik-baik rahasia ini. Bahkan, kepada desir angin sekalipun! Pemberontakan ini akan dibersamai para leluhur kita!”
Sepuluh menit kemudian, Markus Ibanik berkata, “Aku takkan mengatakannya di sini. Besok, sore hari, aku akan mengirim seorang pelacur kepada kalian. Bersamanya, akan kutulis titik kordinat dan siapa saja yang berjaga.”
“Baik, Paman. Kami takkan berlama-lama di sini. Di pekarangan nanti, akan kuberitahu di mana persembunyian kami!”
Keesokan hari, hujan turun seakan-akan tak turun lagi ke Bumi. Tak seorang pun tampak. Akan tetapi, dari samping rumah Markus Ibanik, kuda besi keluar menerabas hujan. Itu salah seorang pelacur yang telah ditunjuk Markus Ibanik untuk mengirim surat kepada para keponakannya.
Tiga hari kemudian, pembakaran kilang minyak milik Sam itu benar-benar terjadi. Tak tanggung-tanggung! Sepuluh sampai limabelas orang petugas dan pekerja mati! Tubuh mereka bergelimpangan di tanah, di pos, dan ada yang hancur dalam kawah pengolahan minyak.
Sontak, kejadian ini membuat Sam marah besar. Sebagai yang paling berpengaruh, dia mengundang seluruh pembesar untuk berkumpul di rumahnya. Dia meyakini, ada salah seorang pembesar yang telah mengkhianati perjanjian mereka.
“Dor! Dor! Dor!” suara revolver memaksa salah seorang pembesar yang memenuhi undangan Sam. Mati di tangan Sam.
“Sudah kukatakan kepada saudara sekalian, jangan menyemai pengkhianatan dalam lingkaran ini! Kau salah seorang pengkhianat itu!” kata Sam dengan nyaring sembari mencengkeram jas salah seorang kolega yang telah berkhianat.
Para pembesar yang menyaksikan, membisu. Tak seorang pun berani menyela. Akan tetapi, sepuluh menit kemudian, salah seorang pembesar berkata, “Sam, Sahabatku. Tidakkah yang dekat dengan kilang minyakmu adalah pelesirannya Markus Ibanik. Bajingan itu, kita semua tahu wataknya! Aku yakin dialah yang berkhianat!”
Sam mengambil sapu tangan dari saku jasnya kemudian mengelap tangan dan moncong senjatanya, kemudian berkata, “Markus Ibanik, Sahabatku. Ya. Ya. Aku akan datang kepadamu sebagai maut. Aku akan datang kepadamu sebagai maut!”
“Mainkan Swan Lake, Tchaikovsky!” kata Sam.
Surabaya, Desember 2021.