aa navis
AA Navis

Ali Akbar Navis, atau lebih dikenal dengan AA Navis, adalah salah satu sastrawan dan budayawan terkemuka Indonesia yang telah memberikan sumbangsih besar bagi dunia sastra tanah air. Salah satu fakta menarik tentang Navis adalah julukan “pencemooh nomor wahid” dan “sastrawan satiris ulung” yang disematkan padanya. Julukan ini tidak hanya sekadar gelar, tetapi mencerminkan gaya penulisan Navis yang seringkali penuh dengan kritik tajam terhadap berbagai aspek kehidupan, terutama dalam konteks sosial dan budaya.

Awal Kehidupan dan Kecintaan Terhadap Sastra

Lahir di Padang pada 17 November 1924, Navis menghabiskan sebagian besar hidupnya di tanah kelahirannya, berbeda dengan kebanyakan putra Minangkabau yang lebih memilih merantau. Bagi Navis, kreativitas adalah kunci keberhasilan, bukan sekadar pindah tempat atau lingkungan. Kecintaannya terhadap sastra dimulai dari rumah, di mana orang tuanya berlangganan majalah Panji Islam dan Pedoman Masyarakat, yang kerap memuat cerita pendek dan cerita bersambung. Ayahnya, St. Marajo Sawiyah, sangat mendukung kegemaran Navis terhadap membaca dan menulis, memberikan uang agar Navis bisa membeli buku-buku favoritnya. Inilah yang menjadi modal awal Navis untuk menekuni dunia sastra.

Karya dan Gaya Penulisan yang Khas

Cerpen pertama Navis yang berjudul “Robohnya Surau Kami” diterbitkan dalam majalah Kisah pada tahun 1955, dan langsung mengejutkan pembaca sastra Indonesia. Cerpen ini menyajikan sindiran yang tajam terhadap pelaksanaan kehidupan beragama dan menjadi salah satu karya Navis yang paling dikenal. Tidak hanya itu, karya ini juga telah diterjemahkan ke dalam empat bahasa, yakni Inggris, Jerman, Prancis, dan Jepang. Karya-karya Navis lainnya yang juga terkenal termasuk novel Kemarau (1967) yang menggambarkan betapa konyolnya manusia dalam menghadapi cobaan dari Tuhan, serta cerpen “Jodoh” yang juga penuh dengan sindiran sosial.

Navis sering kali mengangkat tema-tema yang berkaitan dengan masalah manusia dan kemanusiaan seperti penderitaan, kegetiran, kebahagiaan, dan harapan. Warna lokal Minangkabau menjadi sisi menarik lain dalam karya-karyanya, di mana ia berhasil menempatkan idiom-idiom lokal dalam konteks yang lebih luas, yakni persoalan bangsa dengan konsep yang universal. Misalnya, dalam “Robohnya Surau Kami“, Navis menampilkan warna Minangkabau yang kental, tetapi isu yang diangkat adalah persoalan agama dan peran ulama dalam masyarakat modern.

Pengaruh dan Penghargaan

Setelah menamatkan pendidikan di Perguruan Indonesche Nederlandsche School (INS) Kayutanam pada tahun 1946, Navis memiliki berbagai pengalaman kerja yang memperkaya wawasan hidupnya. Mulai dari menjadi pegawai pabrik porselen di Padang Panjang, Kepala Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan Sumatra Barat, hingga menjadi anggota DPRD Sumatra Barat periode 1971-1982. Meskipun sempat vakum menulis selama era Orde Baru, Navis tetap aktif berkontribusi dalam dunia sastra dan budaya, termasuk sebagai dosen luar biasa di Fakultas Sastra, Universitas Andalas.

Navis juga aktif dalam mengikuti berbagai lomba kepenulisan, yang membuatnya semakin diakui di dunia sastra. Misalnya, novel Saraswati, Si Gadis dalam Sunyi yang memenangkan sayembara penulisan novel remaja yang diselenggarakan Unesco/Ikapi, dan cerpen “Kawin” yang memenangkan lomba menulis cerpen majalah Femina. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa meskipun posisinya agak di luar lingkaran utama kesusastraan, Navis tetap diakui sebagai sastrawan dengan prestasi yang gemilang.

Karya Nonkreatif dan Pengaruh Budaya

Selain karya sastra, Navis juga menghasilkan beberapa karya nonkreatif yang memiliki pengaruh besar, terutama dalam mempelajari adat dan tradisi Minangkabau. Salah satu karya nonkreatif yang terkenal adalah Alam Terkembang Jadi Guru (1985), yang menjadi referensi penting dalam studi adat Minangkabau. Ia juga menulis biografi Mohammad Syafei dalam buku Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Syafei (1996) dan biografi Hasyim Ning dalam buku Pasang Surut Pengusaha Pejuang (1986). Navis juga mengumpulkan 106 makalah yang kemudian diterbitkan dalam buku Yang Berjalan Sepanjang Jalan (1999).

Warisan dan Pengakuan Internasional

Sepanjang kariernya, AA Navis telah menerima berbagai penghargaan atas kontribusinya dalam dunia sastra. Beberapa di antaranya adalah penghargaan dari Radio Nederland untuk cerpen “Jodoh” pada tahun 1970, Hadiah Sastra South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand pada tahun 1992, dan Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 2000. Selain itu, cerpen-cerpen Navis selalu terpilih sebagai cerpen terbaik pilihan Kompas selama bertahun-tahun, yang menegaskan kualitas dan daya tarik karyanya.

Pada akhir hayatnya, Navis tetap produktif berkarya dan terus memberikan sumbangsih bagi perkembangan sastra Indonesia. Bahkan, pada tahun 2023, UNESCO menetapkan tanggal lahir AA Navis sebagai hari perayaan internasional, yang merupakan pengakuan atas kontribusi besarnya dalam dunia sastra dan budaya.

AA Navis, dengan gaya penulisannya yang kritis dan penuh sindiran, telah memberikan pengaruh yang mendalam terhadap perkembangan sastra Indonesia. Karyanya tidak hanya sekadar cerita, tetapi juga cermin dari realitas sosial yang ia amati dengan tajam, menjadikannya sebagai salah satu sastrawan besar yang patut dikenang sepanjang masa.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here