Achdiat Karta Mihardja dikenal sebagai salah satu sastrawan terbesar Indonesia, yang karya-karyanya tidak hanya terkenal di Indonesia tetapi juga di mancanegara. Salah satu karya paling fenomenalnya, Atheis, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan diadaptasi menjadi film.
Kehidupan Awal dan Pengaruh Keluarga
Achdiat Karta Mihardja lahir pada 6 Maret 1911 di Garut, Jawa Barat. Sebagai anak dari seorang manajer bank yang memiliki koleksi buku yang cukup besar, minatnya pada sastra telah terbangun sejak usia dini. Buku-buku yang dimiliki ayahnya menjadi sumber inspirasi yang kemudian membentuk dasar ketertarikannya pada dunia sastra. Pengaruh lingkungan keluarga yang mendukung membuat Achdiat semakin terpacu untuk mengeksplorasi lebih jauh dunia literasi.
Karier Awal dan Peran dalam Perkembangan Sastra Indonesia
Di awal kariernya, Achdiat bekerja sebagai jurnalis. Pada tahun 1934, ia bergabung dengan redaksi Bintang Timoer dan menjadi redaktur mingguan Panindjauan. Setelah itu, ia bekerja di Balai Pustaka sebagai redaktur pada tahun 1941. Pengalaman-pengalaman ini semakin memperkaya wawasan Achdiat dalam dunia sastra dan jurnalisme. Ketika Jepang menduduki Indonesia, Achdiat bekerja sebagai penerjemah di bagian siaran radio Jakarta, menunjukkan fleksibilitas dan kemampuan adaptasinya di berbagai bidang.
Atheis: Karya Fenomenal yang Mengguncang Dunia Sastra
Tahun 1949 menjadi tonggak penting dalam karier Achdiat ketika ia menerbitkan novel Atheis. Novel ini bercerita tentang seorang pria Muslim dari Jawa Barat, Hasan, dan pergulatannya dengan pengaruh ideologi asing seperti Marxisme, yang diwakili oleh teman-temannya. Atheis tidak hanya menjadi salah satu karya sastra modern terpenting di Indonesia, tetapi juga memberikan pandangan kritis terhadap konflik ideologi yang tengah berkembang di masyarakat saat itu. Novel ini kemudian diadaptasi menjadi film pada tahun 1974, yang disutradarai oleh Sjumandjaja dan dibintangi oleh aktor-aktor kenamaan seperti Christine Hakim dan Deddy Sutomo.
Kontribusi di Dunia Sastra dan Kebudayaan
Selain Atheis, Achdiat juga menulis banyak karya lain, termasuk kumpulan cerpen Keretakan dan Ketegangan yang mendapatkan Hadiah Sastra Nasional BMKN pada tahun 1957. Karya-karya Achdiat selalu menawarkan perspektif yang tajam dan kritis terhadap dinamika sosial dan budaya di Indonesia. Sebagai penulis yang produktif, ia tidak hanya menulis fiksi tetapi juga esai dan artikel yang membahas berbagai isu kebudayaan. Perannya sebagai redaktur di berbagai majalah seperti Spektra dan Poedjangga Baroe menunjukkan betapa besar pengaruhnya dalam membentuk arah perkembangan sastra Indonesia.
Aktivisme dan Pengaruh Internasional
Achdiat juga berperan aktif dalam berbagai organisasi sastra. Pada tahun 1950, ia ikut mendirikan Lekra, sebuah organisasi penulis Indonesia yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Di pertengahan 1950-an, ia menjadi tokoh utama di PEN Club Indonesia, sebuah organisasi internasional untuk penulis, dan berusaha menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh sastra dunia seperti penyair Inggris Stephen Spender. Bahkan, ia membantu menjadi tuan rumah bagi novelis Afrika-Amerika Richard Wright saat kunjungannya ke Indonesia untuk Konferensi Bandung 1955. Meskipun terlibat dengan tokoh-tokoh dari berbagai ideologi, Achdiat tetap menegaskan bahwa dirinya bukanlah seorang ateis, tetapi seorang anggota Partai Sosialis Indonesia yang kemudian dilarang oleh Presiden Sukarno.
Kehidupan di Australia dan Karya-Karya Akhir
Pada tahun 1961, Achdiat menerima undangan untuk menjadi guru besar sastra dan bahasa Indonesia di Universitas Nasional Australia. Di sana, ia menetap selama lebih dari 40 tahun, meskipun tetap aktif berkarya dan diakui di Indonesia. Salah satu karya terakhirnya adalah Manifesto Khalifatullah, yang diterbitkan pada tahun 2005 sebagai kelanjutan dari Atheis. Novel ini membahas peran manusia sebagai wakil Tuhan di bumi, bukan sebagai wakil setan, sebuah pesan yang dianggap Achdiat sebagai jawaban atas isu-isu yang diangkat dalam Atheis.
Warisan dan Penghargaan
Achdiat Karta Mihardja menerima berbagai penghargaan sepanjang kariernya, termasuk penghargaan sastra nasional pada tahun 1956 dan penghargaan seni Indonesia pada tahun 1971. Karya-karyanya, seperti Atheis dan Keretakan dan Ketegangan, terus dipelajari dan dihargai sebagai bagian dari kanon sastra Indonesia. Pengaruhnya dalam dunia sastra sangat besar, dan ia dihormati oleh para sastrawan dan kritikus, termasuk A. Teeuw dan Ajip Rosidi, yang menganggapnya sebagai salah satu pengarang roman terkemuka di Indonesia.
Akhir Hayat dan Warisan Abadi
Meskipun menderita stroke pada tahun 2009, Achdiat tetap dikenang sebagai seorang penulis yang tak kenal lelah. Ia meninggal dunia pada 8 Juli 2010 di usia 99 tahun, meninggalkan warisan yang mendalam dalam dunia sastra Indonesia. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi dunia sastra, tetapi karya-karyanya terus hidup dan memberikan inspirasi bagi generasi penulis berikutnya.
Achdiat Karta Mihardja adalah simbol dari ketekunan dan kecintaan terhadap sastra. Melalui karyanya, ia telah memberikan kontribusi besar dalam memperkaya dan mengembangkan sastra Indonesia, menjadikannya sebagai salah satu sastrawan terbesar yang pernah dimiliki negeri ini.