Kearifan lokal adalah pedoman perilaku hidup masyarakat lokal terhadap lingkungannya. Pedoman ini digunakan untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Kearifan lokal juga merupakan salah satu keistimewaan Indonesia dari negara-negara lainnya karena kemampuannya dalam mempertahankan tradisi-tradisi. Pernyataan ini sejalan dengan fakta bahwa Dou Mbawa adalah satu-satunya masyarakat yang masih menjaga keyakinan lama di Bima. Menilik derasnya arus modernisasi untuk menyeret kebudayaan lokal, kebudayaan lokal Dou Mbawa justru tetap lestari dengan hadirnya sebuah tradisi.
Dou Mbawa adalah sebutan bagi mereka yang mendiami desa Mbawa, kecamatan Donggo, kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Buku ini mengungkap realita kehidupan masyarakat Mbawa dalam bentuk narasi yang dipadukan dengan analisis wacana kritis dan etnografi. Isi dari uraian buku berlatar belakang salah satu masyarakat di pedesaan Bima yang masih melestarikan kebudayaannya. Sebagaimana penduduk Bima mayoritas menganut agama Islam, Dou Mbawa tetap teguh dengan kebudayaan religiusnya.
Dikatakan kebudayaan religius karena dalam pelaksanaannya mengandung penghormatan terhadap nenek moyang terdahulu. Tersebutlah Parafu, sebuah praktik ritual yang memandang nenek moyang sebagai sumber kehidupan. Namun demikian, kearifan lokal satu ini mulai tergeser perlahan seiring berkuasanya Orde Baru. Pada zaman Orde Baru, pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang keagamaan, tepatnya kewajiban rakyat Indonesia untuk memeluk satu dari lima agama resmi Indonesia.
Kebijakan ini tentu kontradiksi dengan keadaan Mbawa saat itu. Akhirnya kebijakan ini berdampak pada hegemoni kepercayaan masyarakat Mbawa. Kepercayaan yang mulanya hanya ada satu, kini bertambah dengan kepercayaan lain yang “dilegalkan”. Untuk tetap terjaganya kerukunan antar masyarakat, Dou Mbawa menciptakan sebuah tradisi Raju. Raju digunakan untuk mengkomunikasikan sikap dan ideologi agama Islam, Kristen, dan Parafu. Buku ini mengungkap seluk beluk, praktik, tujuan, dan makna tradisi Raju. Melalui pemaparannya, dapat ditarik pemahaman bahwa kekuatan pemertahanan kebudayaan lokal masih bisa berlangsung di tengah-tengah performa modernisasi dan kepercayaan lainnya.
Buku ini terbagi dalam enam bab. Bab pertama dibuka dengan kompleksitas konflik masyarakat Mbawa. Bab kedua membahas tentang asal-usul Dou Mbawa dan hubungannya dengan Bima. Bab ketiga memperjelas penjabaran jenis-jenis konflik masyarakat Mbawa. Bab keempat dan kelima membicarakan tentang Raju dari segi orientasi, makna, dan peranannya. Terakhir, bab keenam menutup buku ini dengan identifikasi tujuan budaya Raju dalam masyarakat Mbawa.
Abdul Wahid mengemas dengan sebaik-baiknya buku ini. Pengarang membicarakan setiap bagian dari kalimat secara detail dan terperinci. Sekalipun objek dari kajian ini adalah tradisi Raju, namun tidak semata pelaksanaan tradisi Raju saja yang dibicarakan, melainkan hal-hal yang bertalian dengan objek kajian tersebut juga dibahas, seperti Bima, masyarakat Mbawa, Parafu, Islam, Kristen, dan lain-lain. Sesuatu yang tidak kalah penting dari semua itu, Abdul Wahid membahasakan buku ini dengan kata dan susunan kalimat yang tepat dan sederhana sehingga mudah dipahami oleh pembacanya. Demikianlah kelebihan buku ini.
Di awal, buku ini akan menjelaskan mengenai interaksi yang terjalin antara Parafu dengan Islam dan Parafu dengan Kristen. Namun buku ini cenderung lebih banyak membicarakan hubungan Parafu dengan Islam daripada Parafu dengan Kristen. Hal ini memunculkan ketimpangan informasi interaksi Parafu dengan sesuatu dari luar tersebut. demikianlah kekurangan dari buku ini.
Judul : Dou Mbawa; Religiusitas dan Sosial Budaya Orang
Bima di Pegunungan
Pengarang : Abdul Wahid
Penerbit : Intrans Publishing
Tahun Terbit : Juni 2024
ISBN : 978-623-6709-71-9
Edisi : Pertama
Halaman : 370 halaman
Lebar : 15.5 cm
Panjang : 23 cm