Membaca buku Kopi Pagebluk dan Kota seperti berjalan melalui lorong waktu. Melampaui batas peradaban Kota Malang melalui jarak estetis dan menikmati dinamika yang terjadi di era kolonial. Buku ini menyajikan ruang imajinasi khusus bagi pembacanya sekaligus memberikan sudut pandang baru: bahwa kolonialisme di Indonesia tidak selalu membawa dampak buruk.
Kota Malang era kolonial menjadi topik utama dalam buku ini. Kepingan-kepingan sejarah Kota Malang di era kolonial tersusun rapi dalam lembar-lembarnya. Dikemas secara ringan namun mampu memberikan wawasan yang komprehensif. Buku ini bukan hanya memberikan tulisan informatif, namun sekaligus reflektif. Sesekali penulis membandingkan Malang tempo dulu dan sekarang yang membuat pembaca, termasuk saya, berandai-andai, mengapa Malang sekarang menjadi kota yang sesak? Apakah pembangunan hari ini tak berkaca pada periode Malang sebelumnya? Namun saya tidak akan menjawab pertanyaan tersebut lebih lanjut sebab pada ulasan saya kali ini, saya hanya akan memberikan sedikit gambaran bagaimana buku ini membawa pembacanya (termasuk saya) pada ke landskap Kota Malang di era kolonial.
Perjalanan dimulai dengan gambaran Kota Malang yang sebagian wilayahnya masih berupa hutan. Setelah periode Jawa Kuna tidak eksis lagi Malang mengalami sedikit kemunduran peradaban, sebelum kembali bangkit lagi pada era Mataram Islam dan berlanjut pada era kolonial. Pada awal kolonialisme di Hindia Belanda, daerah pedalaman seperti Malang tidak menjadi fokus utama. Para penjajah sebagaian besar berfokus pada daerah di sepanjang pesisir yang memiliki kondisi geografi landai, terutama daerah pantai utara Jawa. Sedangkan Malang memiliki kontur pegunungan, dikelilingi hutan-hutan lebat sehingga kurang menarik minat penjajah untuk mengembangkan Kota Malang.
Menjelang awal tahun 1900-an, setelah bubarnya VOC, Belanda menginisiasi penanaman komoditi kopi di daerah pegunungan. Salah satu daerah pegunungan yang dijadikan perkebunan kopi adalah Malang Raya. Peradaban baru Malang kembali dimulai. Melalui kopi perekonomian Kota Malang mulai kembali bergejolak setelah berabad-abad mengalami kemandekan. Wilayah-wilayah hutan pegunungan di sekitar Kota Malang mulai dibuka untuk dijadikan perkebunan kopi. Kemudian pabrik-pabrik pengolah kopi pun marak berdiri. Tak hanya kopi, setelah komoditi tersebut sukses, perkebunan tebu turut merebak di daerah Kota Malang. Tanaman tebu merupakan bahan dasar pembuatan gula sehingga pabrik-pabrik gula pun turut berdiri.
Gula kemudian menjadi komoditi yang mempengaruhi berbagai aspek, mulai dari politik, pembangunan, dan tata kota. Undang-Undang agraria disusun guna menarik swasta berinvestasi di Hindia Belanda sehingga mampu memberikan ladang ekonomi besar bagi Belanda. Pembangunan transportasi trem/kereta uap pun dilakukan guna memberi fasilitas bagi pabrik gula dan kemudian berkembang menjadi transportasi umum. Hal-hal tersebut pada akhirnya berdampak pada kemajuan Kota Malang. Kota Malang dirancang oleh ahli tata kota professional dan mengedepankan esetetika. Beberapa tinggalan tata kota tersebut masih bisa kita saksikan sampai hari ini di beberapa tempat, salah satunya alun-alun bundar.
Selain menggambarkan kemajuan Kota Malang, buku ini juga menyajikan gambaran ketika wabah pes menyerang Kota Malang. Kondisi saat itu sebenarnya hampir sama ketika Indonesia terserang pandemi Covid-19. Namun, penanganan wabah pes di Kota Malang saat itu dinilai sangat terlambat sehingga korban jiwa sangat banyak. Kondisi tersebut menjadikan akses keluar masuk Kota Malang ditutup secara total. Hal ini tentu berdampak pada perekonomian Kota Malang yang sedikit mengalami penurunan terutama pada segmen pribumi.
Saya tidak mungkin menceritakan secara detail bagaimana buku ini membawa kita pada Kota Malang di era kolonial. Namun berbagai macam refleksi saya rasakan ketika membaca buku ini.
Hari ini Malang menjadi kota semrawut, sesak, padat, dan seakan-akan pembangunan serta tata kota mengesampingkan estetika demi percepatan laju ekonomi. Ruang terbuka hijau semakin tergusur dan bangunan-bangunan baru berdiri. Lantas dibenak saya kembali tersebit sebuah pertanyaan. Bisakah Malang kembali seperti semula, dengan tata kota yang mempertimbangkan banyak aspek bukan hanya ekonomi?
Pada akhirnya, melalui tulisan ini, saya hanya mengulang pergolakan batin ketika membaca buku Kopi Pagebluk dan Kota. Perasaan estetis dan sentimentil akan lebih mendalam apabila kawan-kawan membacanya sendiri. Salam.