Judul : Kapan Nanti
Penulis : Ziggy Zezsyazeoviennazabriskie
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 142 halaman
Tahun : Mei, 2023
ISBN : 978-602-0668-65-9
Karya-karya Ziggy Zezsyazeoviennazabriskie atau yang akrab dipanggil Ziggy kerap membuat para pembaca tergocek dengan sampulnya. Kapan Nanti, kumpulan cerpen terbarunya tidak menjadi pengecualian. Motif catur merah-putih mencolok dengan pernak-pernik ilustrasi kelopak bunga dan gambar empat anak perempuan yang sedang tergopoh-gopoh membawa barang, memberi kesan lucu nan menggemaskan. Namun, sampul imut ini adalah topeng yang menyembunyikan cerita-cerita membagongkan di dalamnya.
Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie melanjutkan kecenderungannya terhadap tokoh anak-anak dalam setiap karya yang ia tulis. Beberapa karya mutakhir yang ia terbitkan selalu menempatkan bocah sebagai figur sentral. Begitu pula Kapan Nanti, memuat 8 cerpen dengan setiap cerita memiliki tokoh anak-anak yang sebagian besar menjadi poros utama jalan cerita. Namun, sebagai peringatan, kumpulan ini bukan untuk anak-anak. Sebagain besar adalah cerpen kontekstual dan eksperimental yang membutuhkan cakrawala harapan luas. Terlalu rumit untuk memahami secara utuh cerpen-cerpen dalam buku ini tanpa bekal bahasa dan pengetahuan yang cukup.
Dunia anak adalah dunia suka-suka dan coba-coba. Suka-suka melakukan apa yang menjadi kegemaran, suka-suka pula dalam mengungkapkan ketidaksukaan; membangkang dan memberontak. Dalam cerpen “Kin” dapat dilihat bagaimana si tokoh utama bocah, kian muak kepada tokoh Abi yang merupakan ayahnya sendiri. Terlalu banyak aturan yang mengungkungnya, bahwa seorang anak—lebih-lebih perempuan—tidak boleh melakukan ini dan itu. Dalih dari orang tuanya adalah untuk menertibkan perilaku si Kin. Namun, kondisi tersebut justru berbalik dan membuatnya makin ‘kurang ajar’.
Pola asuh dalam cerpen Kin bertolak belakang dengan cerpen “Krematorium”. Jika Kin dibatasi seperangkat aturan yang membuatnya tak nyaman, Moshka cenderung dibiarkan hidup bebas. Gadis itu tinggal bersama keluarga yang dingin dan tak banyak omong. Di usianya yang tergolong muda, ayahnya santai saja ketika melihat ia merokok. Bahkan mengoreksi cara ia mengisap puntung sigaretnya. Cerpen ini seolah berangkat dari pribahasa “buah tak jatuh jauh dari pohonnya”. Sifat kedua orang tua dan lingkungan rumahnya yang sunyi-senyap membentuk Moshka menjadi anak yang tidak kalah misterius, acuh tak acuh, dan cenderung nyeleneh.
Cerpen “Kuping” juga menarik untuk diperhatikan. Cerita ini mengandung unsur-unsur simbolik dan kutipan-kutipan ayat kitab suci. Kondisi teks yang demikian menuntut pembaca mundur beberapa langkah untuk mengambil jarak dan melakukan pembacaan agak jauh. Tampil dengan citraan yang tidak biasa serta pendekatan relasi orang tua dan anak yang mengundang haru, cerita ini hampir memenuhi kriteria ideal hubungan batin antara seorang ibu dengan anaknya. Sang ibu, wanita berbaju api, selalu merasa tertekan dan tak aman berada di dekat manusia. Namun, wanita berbaju merah tak memiliki siapapun untuk membagikan nestapanya, kecuali si anak arang. Dengan segala beban yang dipikulnya, tidak heran wanita berbaju api terkadang berlaku kasar terhadap anaknya. Begitulah ia membagi kejamnya dunia kepada si anak arang.
Di antara ketiga pola asuh pada ketiga cerpen, justru yang medekati berhasil adalah cerpen “Kuping”. Meskipun digambarkan dengan penuh derita, ibu dan anak seolah mengerti keadaan masing-masing. Gelimang nestapa alih-alih membuat mereka meninggalkan satu sama lain, justru membuat ikatan emosional yang kuat. Berbeda dengan cerpen “Krematorium” dan “Kin” yang tidak melibatkan hubungan emosi positif antara anak dan orang tua.
Sudut pandang anak kecil yang dominan mau tidak mau juga memengaruhi gaya bahasa penulis dalam menuturkan cerita. Kalimat-kalimat yang tak utuh dan fokus cerita yang kerap berubah menuntut pembaca untuk sesekali mengulang kalimat sebelumnya yang seolah tak sengaja terbaca tanpa kesadaran yang utuh. Kedua masalah pembacaan tersebut sekaligus menjadi poin positif mengingat sudut pandang yang digunakan adalah mulut dan mata anak kecil. Ketika kalimat hadir dengan bentuk yang tidak utuh, terbayang seorang bocah menuturkan ulang secara belepotan apa yang baru saja ia lakukan. Fokus cerita yang berubah-ubah juga membuat kita seolah-olah kita berhadapan dengan anak kecil di suatu tempat asing dengan mata celingak-celinguk ke sana kemari.
Yang menarik dari kumpulan ini, yaitu sudut pandang ‘kebocahan’ itu sendiri. Sudut pandang ini menjadi hal baru dan segar bagi pembaca untuk memahami sebuah peristiwa. Perlu digarisbawahi bahwa kebocahan yang dimaksud adalah bocah secara usia, bukan wilayah sifat atau kepribadian. Tidak dikatakan ‘kekanak-kanakan’ karena sudut pandang seorang anak dalam beberapa cerpen sama sekali tidak menunjukkan sifat kanak-kanak. Dalam cerpen “Kuping”, misalnya, tokoh anak arang justru menunjukkan sikap yang tergolong dewasa untuk seusia anak-anak. Anak arang memaafkan semua tamparan dan hardikan wanita berbaju api. Anak arang memaafkannya karena dia pun menderita (halaman 76). Anak-anak tidak selalu kekanak-kanakan, sebab beberapa anak kadang-kadang dewasa melampaui usianya.
Dengan gaya bahasa yang digunakan, pola hubungan antara anak dan orang tua dalam beberapa cerpen terbaca sebagai kritik dari anak-anak itu sendiri. Seolah ingin berkata, “Betapa tidak becusnya kalian mengurus kami.” Kehadiran anomali juga membuat kumpulan ini terasa sebagai konstruksi ulang atas figur anak-anak yang selama ini kita sepakati. Pada dimensi yang lain upaya rekonstruksi tersebut dapat terbaca sebagai satire. Atau jika boleh sedikit brutal, cerpen-cerpen dalam buku ini bisa dianggap sebagai sabda para bocah menanggapi stereotip yang ditempelkan kepada mereka oleh orang yang lebih tua. Dan Ziggy adalah Jibril bagi mereka.