Kala benderang dunia imbang, sayang segera remang-remang, lalu hilang tanpa bayang.
Aku hanya binatang!
Kelap-kelip cahaya menyinari malam yang kelabu, bersama secangkir kopi kunikmati silir-semilir angin yang menerpa pori-pori. Mata memejam pelan, namun masih terasa sinar remang-remang yang tak henti berkedip di sekelilingku.
Lingkungan yang asri, sejauh mata memandang masih terlihat pepohonan hijau berjejeran. Sejauh napas menghirup, masih terasa segar, sejuk nan menenangkan. Kondisi yang amat berbeda dengan situasi perkotaan. Sejauh mata memandang, hanya hamparan luas keabuan yang padat akan kendaraan. Sejauh napas menghirup, hanya sesak yang dirasakan.
Kunang-kunang pun jarang, bahkan hampir hilang sama sekali. Padahal biasanya ia indah nan megah, mempertontonkan kedipan cahaya membuat malam terasa begitu meriah. Lantas, sekarang di mana mereka singgah?
Dilansir dari laman Universitas Muhammadiyah Metro menyebutkan bahwa polusi cahaya yang terjadi di perkotaan menjadi alasan utama kunang-kunang menghilang. Di samping itu, cahaya perkotaan yang begitu terang juga menghancurkan ritual kawin kunang-kunang. Sederhananya, cahaya di tubuh kunang-kunang yang biasa digunakan untuk menarik minat lawan jenis sudah terkalahkan dengan terangnya cahaya perkotaan, ia redup, cahaya yang remang kini hilang, tugasnya tak lagi dikenang.
Lalu mengapa kunang-kunang benar-benar menghilang? Bukankah masih ada beberapa tempat di perkotaan yang tak terang?
Dilansir dari laman pressreader.com, ternyata kunang-kunang benar-benar menghilang dari lingkungan perkotaan karena kehilangan habitat spesialnya, yakni habitat bebas pupuk maupun pestisida sintetis. Selain itu, kunang-kunang juga menyukai tempat-tempat yang memiliki tingkat kelembaban tinggi, cenderung basah, dan hangat, seperti rawa, hutan basah, tepi sungai, lahan perkebunan, dan sawah.
Berdasarkan penjelasan tersebut, kita semua tahu bahwa kunang-kunang tak lagi hadir di lingkungan perkotaan karena lingkungan perkotaan tak lagi alami dan bersih, dengan kata lain suatu tempat yang tak lagi dikunjungi kunang-kunang telah mengalami degradasi dan pencemaran.
Bersama sebuah ponsel mini kucoba menjelajah sekitar. Kuamati lingkungan perkotaan yang dipenuhi kebisingan, kendaraan lalu-lalang memenuhi jalanan mengeluarkan asap-asap tak sedap, terpaksa masker di wajahku harus selalu kukenakan. Tampak nyata kala malam tiba tak sedetik pun tempat di sekitarku yang tak terang benderang. Pantas saja ia enggan singgah, mungkin telah punah, kebun belakang yang gelap nan hijau pun tak disinggahinya. Oh ternyata karena kebun itu tak lagi menggunakan pupuk alami sebagai perawatannya.
Hal yang berbeda ditunjukkan di lingkungan lain tempat ku singgah, yakni pedesaan tempatku dilahirkan. Butuh waktu sekitar 45 menit melewati hutan belantara untuk sampai ke desaku yang asri. Segala sesuatu di sana masih cukup alami, asri, dan segar. Pepohonan hijau menghiasi setiap pandangan mata, begitu pun dengan binatang dengan cahaya terang itu, ia selalu hadir kala malam tiba, menghiasi dinginnya malamku yang gelap nan sunyi. Nampaknya ia nyaman dengan lingkungan ini.