Usia remaja awal (12-15 tahun) dan remaja pertengahan (15-18 tahun) merupakan usia ketika anak manusia mulai mengeksplor sebanyak-banyaknya dunia di sekelilingnya. Di usia ini, para remaja yang sedang “haus” kerap mencari validasi untuk diri sendiri, dan tidak ada yang salah, kok, dari pencarian itu.
Hari ini, kita pahami diksi validasi selalu akrab dengan keinginan inividu untuk diakui bahwa ia eksis di dunia. Ada ragam cara supaya valid menjadi anak gaul, beberapa memilih menghabiskan waktu ber-posting ria bersama layar gadget, ada yang pergi nge-gigs kemana-mana, ada yang berpakaian nyeleneh, membuat tongkrongan ngabers, atau kelompok diskusi filsafat.
Menyoal validasi, tulisan Fahrul Anam berjudul “Membincang Citayam Fashion Week” menyenggol kerumunan remaja yang dianggap aneh dan tidak jelas. Jangan salah, Citayam Fashion Week itu bukti nyata para remaja untuk mencari validasi, loh, sampai sini masih aman, yha. Di tengah gempuran netizen, jelas banyak respon yang muncul dari fenomena unjuk outfit ini.
Sebagian bilang, yang dilakukan para remaja Citayam hanya mempertontonkan baju compang camping dan semrawut. Sebenarnya, kita boleh melihat fenomena ini secara selow dan sabar, bahwa apa yang ditonjolkan oleh Jeje Slebew, Roy, Bonge, Kurma, dan lainnya merupakan suatu sikap dari alam bawah sadar yang akan muncul saat kita enggan nurut sama standar-standar fast fashion yang harganya selangit.
Tak cuma itu, kerumunan remaja Citayam menjadi bukti kalau kita masih butuh ruang publik yang inklusif. Mengingat gedung-gedung perbelanjaan atau mall hanya mudah diakses oleh kalangan kelas ekonomi yang itu-itu saja. Sementara itu, kita langsung merasa paling punya otoritas atas apa yang harus diperbuat para remaja tersebut.
Duh. Pengalaman dan privilese yang kita genggam kan berbeda-beda. Secara tak langsung, arogansi ini sering dilemparkan ke mereka-mereka yang tidak menjalani hidup sesuai standar pasar. Padahal, kalau minjem liriknya Efek Rumah Kaca, “pasar bisa diciptakan”, kan?!
Sayangnya, setelah Citayam dicap sebagai tempat viral, kerumunan remaja Citayam diakuisisi tempat nongkrongnya oleh mereka yang so called fashionista. Siapa lagi kalau bukan kelas menengah ngehe? Hadeh, Citayam jadi kehilangan vibes yang apa adanya.
Tak hanya itu, salah satu pasangan hits (katanya influencer) mendaftarkan HAKI atas nama Citayam Fashion Week, walaupun kemudian dicabut karena the power of netizen yang cukup barbar. Tanpa pahlawan kesiangan macam influencer itu, Citayam bakal tetap ramai dan meng-influence kota-kota lain untuk bikin fashion week-nya sendiri.
Jadi bingung, sebenarnya yang influencer ini siapa, sih? Bonge dkk? Lagi-lagi, mereka yang oportunis selalu ingin mendikte dan merasa diri paling berhak atas tempat nongkrong para remaja gaul Citayam.
Sebagian lain juga bertanya-tanya, bagaimana nasib bangsa ke depan jika para remaja hanya doyan mempertontonkan busana? Well … Agaknya, terlalu receh kalau kita menebak-nebak masa depan Indonesia hanya dari fenomena Citayam yang sekelebat ini.
Pesimisme semu yang kita buat-buat sendiri, kasarnya, membunuh karakter para remaja tersebut. Sekaligus juga, acara tebak-tebakan itu seolah meniadakan kontribusi dari remaja lain yang berhasil membawa nama Indonesia pada sederet ajang olimpiade.
Perihal putus sekolah yang dialami oleh Roy dan Jeje, semestinya kita tidak buru-buru ngomel atas pengalaman mereka. Apa yang mereka telah lalui sehingga tidak melanjutkan sekolah, pun, dapat dikatakan sebagai permasalahan sistemik yang sering dialami oleh masyarakat kelas ekonomi rendah.
Ketidakhadiran negara dalam urusan pendidikan, juga absennya rumah sebagai ruang aman bisa merembet pada persoalan putus sekolah. Kalau mau mengulik lebih jauh, tidak sedikit kita akan bertemu dengan Roy dan Jeje-Jeje lainnya yang memiliki pengalaman serupa. Habis itu, apa kita masih mau ngegampangin dan menginvalidasi pengalaman mereka?
Daripada overthinking, sudilah kiranya kita untuk ber-positive thinking atas apa yang terjadi hari ini. Lagipula, remaja Citayam memang sedang berada di fase eksplorasi, sedang aktif-aktifnya, Bund. Toh, besok atau lusa kalau sudah tidak viral lagi, mereka pun akan bosan untuk caper (baca: cari perhatian) dan mulai memikirkan masa depan bangsa, xixi.