Saya tidak tahu, apakah Tumpal Tampubolon, peramu film Laut Memanggilku, seorang laki-laki piatu? Namun film itu sukses menjadi cermin bagi saya, (seorang laki-laki piatu) untuk melepaskan semesta imajiner yang selama ini saya simpan dalam-dalam.
Entah kalian setuju atau tidak, tetapi saya menganggap film ini sebagai seni kontemporer. Ya, seni yang sarat akan simbol-simbol. Begitulah saya mendefinisikan dengan sederhana seni kontemporer. Saya menariknya dari seni lukis, semakin kacau goresan semakin kontemporer itu seni, sederhana pikiran saya. Sejak awal hingga akhir, bisa dihitung dengan jari dialog-dialog yang muncul. Keminimalisan itu yang saya anggap kontemporer dan, justru membuat saya menyelami makna film ini lebih dalam.
Dari awal, film ini dibuka dengan kegelapan, sebetulnya sama dengan film-film lain yang dibuka dengan layar hitam. Namun entah mengapa, saya menganggap itu sebagai semacam simbolisme, bahwa, hidup seorang laki-laki piatu, memang berkalang gelap. Selanjutnya mulai terdengar deru laut, hitung-hitungan kacau para pedagang di pelelangan yang, hal itu membuat saya semakin bertanya-tanya. Ke mana arah film ini? Pertanyaan ini terjawab setelah saya memasuki jiwa Sura, ya, jiwa saya sendiri.
Keheningan dalam film Laut Memanggilku semacam simbolisme, bahwa puncak bersyukurnya laki-laki piatu, bukan melantunkan kalimat syukur, tetapi keheningan. Dalam konteks, Sura, tokoh utama di film ini, keheningan yang menguasainya adalah simbolisme. Semua hal yang menakutkan di dunia ini telah ia lumat dalam-dalam ke jantung kecilnya; kematian ibu (tentu ini hal paling menakutkan di dunia), deru gelombang, guntur samudera, banjir pasang, dan mungkin bapaknya yang entah ke mana? Dan, masih banyak ketakutan-ketakutan lain, yang itu tercitrakan di masing-masing pikiran penonton. Dalam keheningan, kerap kali seseorang, terutama laki-laki piatu bersinggungan secara frekuensi dengan Gusti Allah. Ini menurut saya.
Selain keheningan, tokoh Sura pun sarat simbolisme. Saya membayangkan Sura sebagai sampan, dan karena bumbu film ini serba laut, maka saya menjadikan seluruh dinamika hidup yang dialami Sura adalah laut. Laut adalah pusat dari segala kengerian dan keganasan. Ini mungkin berlebihan, tetapi tidak bagi saya yang phobia laut. Sura, si sampan kecil, terombang-ambing dalam ketidakpastian hidup, dalam kebimbangan hidup, dalam ketimpangan takdir, dalam keganasan lingkungan. Bayangkan, apabila fragmen ketika Sura yang menemukan ibu palsu, dan ibu palsu itu direbut oleh seorang pria dewasa, ini terjadi di dunia nyata. Wong saya saja, yang senasib sepenanggungan dengan Sura, berpikir bahwa ibu palsu itu akan dijadikan pemuas birahi oleh si pencuri.
Kalau kalian masih ingin menikmati simbolisme film ini, silakan kalian tonton film ini dengan saksama. Merogoh kocek belasan ribu, saya rasa, enggak akan rugi untuk menonton film seperempat jam ini. Semoga kalian, para laki-laki piatu di dunia ini, bisa menjalani hidup dengan tabah meski surga kalian telah hilang (secara fisik) dan tumpuan kalian telah lenyap (secara batin). Namun saya yakin, hidup kalian, tidak akan semenderita yang dialami Sura. Selamat menonton, selamat membaca.