Di jalanan panjang Soekarno-Hatta, orang berlalu, kendaraan acuh. Sekelompok pengada acara, berkumpul di Rumah Ringin Asri menggelar layar tancap. Di Kawasan Indonesia Cinema Old Musium, Jalan Brigjen Suparman, kelompok Titik Timur mengadakan Jerit Nostalgia (3/12). Kaira, ketua dari komunitas ini mengatakan, bahwa fungsi komunitas ini, antara lain adalah mencoba menyatukan rasa menonton film pada masa lalu dan masa kini , “Ya, kita kan dulu cuma dapet cerita dari mbah-mbahnya kita aja, “ Kata Kaira saat di depan Musiem sinema Indonesia lama itu.
Titik Timur adalah komunitas pengelola acara (Event Organizer) yang berasal dari Universitas Brawijaya. Awalnya, mereka adalah komunitas yang bergiat dan fokus dalam pengelolaan acara-acara kampus. Bermula dari pertemuan di HMJ Komunikasi UB, bertemu sebagai pengelola acara, lalu merasa jenuh dengan aktivitas harian kampus. Mereka kemudian bertemu dengan Hariadi, mantan pengusaha bioskop era 80-an yang masih menyimpang banyak koleksi proyektor film-film lama. “Waktu itu kami berencana mengadakan layar tancap, ya kan biasanya anak muda lebih sering pergi ke konser, kayaknya kalo ngadain layar tancep enak tuh. Kebetulan kami dipertemukan dengan pak Hariadi” Terang Kaira.
Percobaan pertama layar tancap itu, mereka lakukan dengan film Bayi Ajaib. Film tahun 1982 hasil sutradara Tindra Rengat, yang berkisah tentang tragedi Desa Hirupbagja. Kisah tentang Alberto Dominique, orang Portugal yang pernah menempati desa itu, lalu mati karena dihukum gantung oleh Warga Setempat. Adapun alasan hukum mati itu, karena Alberto Dominique dianggap tamak mengambil hasil bumi berupa Intan dari Desa tersebut.
Hampir lebih dari 50 orang hadir ke tempat itu. Akhir dari acara, sebagian merasa, sensasi menonton film horror di layar tancap cenderung lebih terasa, dibandingkan film-film yang ditonton di kamar. Sementara Kaira, memiliki kesan tersendiri melihat film ini. Kaira mengatakan, ia pada akhirnya mengetahui, bahwa film-film pada masa 80’an, ternyata cenderung vulgar. Vulgar dalam artian, seksualitas yang tanpa sensor tebal.
Hariadi mengenang, terakhir film layar tancap keliling tenar adalah pada tahun 2000-an. Layar tancap dan usahanya mulai bangkrut perlahan setelah tahun 2000-an berlalu, digantikan dengan layar-layar bioskop. Pernah suatu waktu, Hariadi mengenang, dalam satu bulan penuh ia pernah mendapatkan 4 juta dalam sehari. Kejadian itu dirasakan pada tahun 80-an. Pada masa harga emas masih 20 ribu per satu gram. Keuntungan yang ia peroleh dari layar tancap keliling, beberapa ia belikan emas.
Hanya masa sudah berlalu. Sampai akhirnya Hariadi bertemu dengan Kaira. Inisiasi yang dilakukan selaras dengan cinta Hariada kepada film. Akhirnya proyektil, tempat beserta alat-alat layar tancap ia perkenankan dikelola untuk kembali mencoba menghidupkan kembali Layar Tancap. Dengan demikian, Hariadi juga bisa mengenal masanya yang telah lalu. Dalam acara. “Jerit Nostalgia”. “Mereka datang dengan saya, mereka bilang ingin mengadakan acara film, saya menerima baik tawaran mereka” Kata Hariadi. Dalam konteks perfilman, salah seorang aktor yang disenangi Hariadi antara lain adalah Barry Prima. Seorang aktor laga, dengan seni gulat dalam sinema, kata Hariadi mampu mendatangkan sampai 30 ribu pengunjung
Shadia Pradsmadji, pengamat film asal UI pernah mencatat perihal ini. Perihal layar tancap, hari ini lebih kontekstual barangkali seperti penyediaan lahan alternatif biskop mainstream. Salah satu antara lain, adalah Kineruku di Bandung. Karena menurutnya, bioskop alternatif, baik melalu layanan layar ataupun Streaming, menjadi pilihan alternatif, sama seperti halnya di masa lalu. Adapun hari ini, tayangan layar alternatif lebih menawarkan jangkauan lain, yakni film-film yang keluar dari Mainstream. Film-film selera estetika yang keluar dari tayangan bioskop pada umumnya.