Ns. Khadijah

Jaman sekarang, sudah menjadi hal yang lumrah bagi generasi muda untuk mengekspresikan kehebatan mereka, salah satunya dengan berkarya melalui gambar.

Foto atau gambar yang diambil dengan kelihaian tangan seorang fotografer akan membuat kebanggaan tersendiri baginya, dengan begitu akan ada rasa kecewa juga bagi fotografer jika karya seninya tidak dihargai. Bahkan, tulisan ini saja terasa hampa jika tidak diberi gambar, seperti kata orang lamongan “bagai soto tanpa koya”.

Luasnya dunia teknologi tak bisa dibendung kecuali dengan mematuhi norma masing-masing, entah itu norma di setiap individu atau di setiap profesi. Namun, nyatanya tidak sedikit masyarakat +62 yang hobinya minta foto “Gretongan”, yah… siapa sih yang ga mau gratisan, jika dihitung-hitung bisa hemat buat makan malam bareng pacar.

Fenomena ini sudah sering dibicarakan jauh sebelum jaman 5.0 (katanya), tapi apakah kita sudah menghargai hak cipta itu sendiri? Bahkan pada file salinan sekalipun, atau lebih parahnya pada gambar yang diambil melalui ritual dengan Mbah Google.

- Poster Iklan -

Hak Cipta atau Copyright sudah disahkan melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi “Hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memberpabanyak ciptaanya atau memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”

Exactly… manusia di negara kemaritiman ini tidak juga paham tentang penggunaan hak cipta yang bahkan sudah ditetapkan oleh pemerintah, apalagi jika kita yang mengingatkan hanyalah masyarakat biasa? Ini benar-benar terjadi di kehidupan saya.

Saat itu saya sedang menggulir beranda instagram, dan kebetulan ada foto dari Google yang pernah saya lihat, terhenti tepat di layar hp saya. Awalnya, saya kira itu merupakan unggahan dari iklan instagram, nyatanya tidak.

Segera saya membuka pertanyaan “hai, apakah ini foto anda?” lalu akun tersebut menjawab “engga xixixixi gue ambil dari gugel”. Dalam hati, “oke no problem.”

Saya bisa mengingatkanya kalau begitu “boleh cantumin sumbernya ya bund, kasian yang moto, malah bagus lagi fotonya”. Akan tetapi, tak satu pun yang berubah dari unggahan tersebut.

Bagi seorang fotografer, mendapatkan pengakuan atas karyanya merupakan penghargaan terbesar dari pada mendapat sepeda dari pak presiden. Menghargai suatu karya tidak perlu ada pendaftaran terlebih dahulu, tetapi cukup dengan pencantuman dan dipamerkan ke khalayak, maka itu sudah menghormati hak cipta fotografer.

Dari cerita di atas bisa diambil pesan bahwa tidak semua orang bisa menyantumkan Hak Cipta, terlebih jika berkaitan soal gengsi. Komentar yang sering saya dengar adalah “foto gitu doang aja kok”, “ntar aku dimarahin pacarku gimana?”, “yaudah aku ga upload deh fotonya” dan lain-lain.

Hal itu membuat banyak fotografer memilih untuk berkarya ke luar negeri ketimbang di tanah sendiri. Ternyata memang benar kata Riri Sardjono “Urusan cinta memang tidak terlepas dari gengsi”.

Sebelum saya akhiri tulisan ini, bagi para pekerja kreatif yang menjual fotonya di luar negeri, dan ingin kembali ke indonesia tapi takut banyak yang nyolong bisa daftarkan fotonya di Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual, Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Perlu diketahui juga pendidikan tentang Hak Cipta tidak hanya berlaku bagi fotografer saja, tetapi bagi semua kalangan yang menggunakan dan mengonsumsi foto setiap harinya itu wajib.

Cukup ingat “Di balik foto yang bagus ada pengorbanan fotografer yang sengsara berkarya”. Jadi, gimana para lovers? Lebih berat nyantumin hak cipta atau pada katakan cinta?

 

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here