Kartini
Sumber foto: Gelora Jatim

Mendengar nama Kartini rasanya tak diragukan lagi pikiran kita langsung tertuju pada sosok perempuan pejuang kesetaraan gender dan emansipasi perempuan.

“Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya,” begitu ungkapan Kartini menumbuhkan kesadaran parapuan kala itu di tengah kentaranya budaya patriarkis. Siapa sangka, perjuangan Kartini meluas-menginspirasi jutaan perempuan di tanah air. Ia jadi salah satu ikon perempuan tangguh Indonesia. Apa yang dilakukan Kartini? Mengapa sosoknya patut dikenang dan diteladani?

Nama lengkapnya Raden Ajeng Kartini yang acap disingkat R.A. Kartini. Perempuan yang lahir di Jepara pada 21 April 1879 ini berasal dari keluarga priyayi. Karena lahir dari keluarga priyayi, Kartini mendapat kesempatan menempuh pendidikan ‘meski’ ia seorang perempuan. Sebab, pada masa itu, seorang perempuan dinilai tidak perlu bersekolah, cukup mengurus “dapur, sumur, dan kasur”. Kondisi itu membuat perempuan berada di lapisan kedua setelah laki-laki, yang sudah membudaya. Perempuan dianggap tidak mempunyai peran lebih di tengah masyarakat untuk memimpin (Kompas, Ellyvon Pranita, 2022). Sungguh perempuan telah “dikerdilkan”. Padahal, setiap insan lahir dari rahim perempuan; ia ibu bumi, ibu pertiwi, ibu kehidupan.

Atas dasar itu, Kartini bertekad belajar dengan sungguh. Kesempatan yang diperoleh Kartini untuk mengenyam pendidikan tidak disia-siakannya. Saat bersekolah di Europese Lagere School (ELS), sebuah sekolah milik Belanda yang diperuntukkan bagi kalangan priyayi atau bangsawan, Kartini belajar banyak hal, terutama soal berbahasa dan berpikir kritis. Kartini mampu menguasai beberapa bahasa berkat pendidikan yang diterimanya, termasuk berbahasa Belanda yang cukup strategis karena rerata guru dan literatur saat itu berbahasa Belanda. Karena itu, Kartini dapat bertukar pikiran dengan orang-orang Belanda sehingga pikirannya menjadi terbuka.

Ilmu yang diperoleh dan buah pertemanannya dengan orang-orang Belanda, baik dengan laki-laki maupun perempuan, memperlihatkan kepada Kartini nilai kesetaraan. Lalu, Kartini terinspirasi untuk memperjuangkan kesetaraan gender, kebebasan, otonomi, persamaan hukum, serta masalah sosial lain bagi negerinya. Jejak sejarah itu bisa dilihat dari sekolah wanita pertama yang didirikan Kartini di kompleks kantor bupati Kabupaten Rembang (Dakwatuna, Novia Lestari, 2013).

Kartini mengajar di Sekolah Wanita yang didirikannya di Semarang pada 1912 (Sumber foto: Grid.id)

Bagi Kartini, perempuan sebagai manusia tidak ada bedanya dengan lelaki yang juga manusia. Manusia harus diperlakukan sama dan setara, termasuk dalam hal pendidikan harus bisa diakses oleh semua orang. Melalui jalan pendidikanlah kesadaran kaum perempuan dapat bertumbuh sehingga mampu memperjuangkan haknya sebagai manusia. Karena untuk mengubah budaya patriarkis yang sudah mengakar, pihak yang dirugikan yaitu perempuan sendirilah yang harus menjadi inisiator dan aktornya.

“Marilah wahai perempuan, gadis. Bangkitlah, marilah kita berjabatan tangan dan bersama-sama mengubah keadaan yang membuat derita ini.”
“Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya.”
-RA Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang

Literasi Gender

Dalam konteks perjuangannya itu, Kartini sungguh memahami makna seks dan gender yang acap kali lebur di tengah masyarakat tempo dulu, bahkan hingga saat ini. Keduanya jelas berbeda dalam arti dan fungsinya. Kita perlu melihat keduanya dengan jernih agar dalam tindakan sehari-hari tidak bias gender.

Seks adalah perbedaan jenis kelamin yang sudah ada sejak manusia lahir. Tidak bisa dipilih. Seks sudah ditentukan Tuhan. Seks membedakan perempuan dan laki-laki berdasarkan organ reproduksi yang tidak dapat dipertukarkan. Contohnya, perempuan memiliki alat kelamin vagina, sedangkan laki-laki mempunyai alat kelamin penis; laki-laki mempunyai sperma dan dapat membuahi, sedangkan perempuan memiliki indung telur dan dapat melahirkan; kemudian perempuan bisa menyusui, yang tidak dimiliki laki-laki; dan sebagainya.

Sementara itu, gender adalah pembedaan peran berdasarkan fungsi, status, dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sosial. Gender berbicara tentang peran. Pembagian peran dalam kehidupan bermasyarakat antara laki-laki dan perempuan yang dapat dipertukarkan. Contohnya, dalam rumah tangga, baik laki-laki maupun perempuan dapat melakukan pekerjaan rumah seperti memasak dan mengangkat galon. Begitu pula di ruang publik, jabatan kepala desa hingga presiden, karyawan sampai direktur, dapat diisi oleh perempuan maupun laki-laki.

Berdasarkan definisi itu jelas bahwa semua orang mempunyai hak yang sama menjadi apapun dalam hal berperan dalam kehidupan sosial di luar fungsi seksualitas. Namun demikian, literasi gender masih lemah di tengah masyarakat sehingga acap disalahartikan dalam pemikiran diikuti tindakan. Seperti halnya, karena perempuan melahirkan dan menyusui, perempuan dianggap cukup menjaga anak dan mengurus rumah, sehingga tidak perlu menghabiskan waktu menempuh pendidikan. Tentu saja anggapan itu keliru. Memang benar perempuan mempunyai fungsi seksual melahirkan dan menyusui, namun dalam fungsi sosialnya setelah (di samping) melahirkan dan menyusui, perempuan tetap bisa menjalankan peran sosialnya seperti bersekolah dan bekerja. Literasi dan kesadaran gender itulah yang digaungkan Kartini.

Intelektualitas Kartini membuatnya berani menentang budaya diskriminatif terhadap perempuan. Sesungguhnya perjuangan Kartini tidak hanya soal perempuan, tetapi secara umum untuk kemanusiaan. Seperti dalam catatannya, ia pernah menulis ihwal akar kemiskinan masyarakat Jawa.

Selain itu, Kartini lantang menentang pengajaran Islam di tanah Jawa kala itu yang dinilainya terlampau ekslusif. Keresahannya itu berawal dari keterbatasan akses masyarakat muslim untuk belajar Al-Qur’an, hanya beberapa, hanya kiai yang punya keahlian bahasa Arab saja yang dapat mempelajari agama Islam secara langsung dari Al-Qur’an. Kartini menilai bahwa agama mestinya bisa diakses setiap orang yang hendak mempelajarinya. Keresahannya itu disampaikan kepada Kiai Soleh Darat di Semarang, yang kemudian menanggapi Kartini dengan membuat tafsir Al-Qur’an pertama di Nusantara (Metro TV, Melawan Lupa, 2022). Akan tetapi, hingga kini, publik lebih mengenalnya sebagai pejuang kesetaraan bagi kaum perempuan.

Literasi Emansipasi

Apa yang membuat R.A. Kartini begitu istimewa ketika kita membahas emansipasi? Tak lain karena keberanian dan buah pikirannya tentang kesetaraan gender, serta yang terutama karena ia rutin menuliskannya sehingga banyak orang terinspirasi. Kartini menulis keresahan dan gagasannya ihwal praktik ketidakadilan di negerinya, khususnya di tanah Jawa. Tulisannya itu berupa surat gugatan yang dikirimnya kepada seorang Belanda bernama Rosa Abendon; kawan Kartini dalam bertukar pikiran.

Interaksinya dengan teman dari negeri Belanda itu membuahkan ketertarikan pada kemajuan berpikir para perempuan Eropa. Ketertarikan yang berujung pada gerakan literasi yang dipeloporinya untuk perempuan pribumi. Emansipasi yang diperjuangkannya terutama tertuju pada akses pendidikan bagi perempuan. Emansipasi perempuan adalah persamaan hak bagi perempuan untuk berkembang dan maju dalam segala aspek kehidupan, seperti pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya.

Kemudian surat-surat tersebut dikumpulkan lalu diterbitkan menjadi buku yang diberi judul dalam bahasa Belanda Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Buku ini terbilang diminati masyarakat, bahkan terus dicetak ulang hingga empat kali hingga tahun 1923. Karena buku itu, cara pandang masyarakat Belanda dan Nusantara terhadap perempuan pribumi mulai berubah mengarah ke kesetaraan gender, walau tidak langsung signifikan (Tirto.id, Yulaika Ramadhani, 2022).

Tak dapat dipungkiri, tulisan-tulisan Kartini menentang budaya patriarki (suatu yang dianggap tabu pada masa itu) membuatnya istimewa. Barangkali, sejujurnya, ada banyak perempuan lain yang juga mempunyai keresahan yang sama dengan Kartini dan melawan dengan beraneka cara. Namun, selagi perlawanan itu hanya sebatas ucapan dan tindakan tanpa disertai tulisan untuk mengabadikannya maka gaungnya kecil dan tidak berumur panjang. Bagai ungkapan Pram, “orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Kisah Kartini hanyalah satu di antara puluhan hingga jutaan perempuan pejuang tanah air. Perbedaannya hanya terletak pada poin literasinya; dalam hal ini Kartini rutin menuliskan setiap keresahan dan gagasannya. Hal itu juga sebagai bukti bahwa melalui tulisan, pemikiran jadi abadi dan dapat menembus-menggerakkan jutaan jiwa.

Selaras

Pikiran, ucapan, dan tindakannya selaras. Tiap tulisannya diterapkan. Salah satunya saat Kartini telah menikah dengan KRM Adipati Ario Singgih Djojo pada 1903, namun ia tetap mendidik dan membela hak-hak perempuan. Keberanian, keuletan, dan iman seorang Kartini laik menjadi teladan bagi generasi kini. Tidak saja untuk perempuan, melainkan juga bagi lelaki. Sebab sejatinya, kesetaraan gender adalah bagian tak terpisahkan dari kemanusiaan. Untuk mewujudkan kesetaraan gender dibutuhkan kemauan para perempuan sendiri yang diimbangi kesadaran dari laki-laki.

Perjuangannya tak pernah padam semasa hidupnya. Namun, usia Kartini terbilang singkat. Menginjak umur 25 tahun, Kartini meninggal dunia setelah melahirkan anak pertamanya pada 17 September 1904.

Kendati literasi emansipasi sudah sejak lama digaungkan oleh R.A. Kartini, namun nuansa ketidakadilan gender di tanah air masih kentara: kekerasan seksual, diskriminasi dalam pekerjaan dan akses pendidikan, dan sebagainya. Pada titik itu, penting bagi kita membaca kembali gagasan dan perjuangan Kartini demi kesetaraan gender. Lalu turut bergerak mempraktikkan kesetaraan dan keadilan gender di lingkungan kita. Mulai dari hal kecil, sobat!

Beli Alat Peraga Edukasi Disini
Previous articlePerayaan dan Perenungan Usia Baru dalam Bingkai Album ‘THIRTY’: Kado Istimewa dari Sang Maha
Next articleSensasi Hangat Masyarakat Tengger
Pengendara yang OtW Literat

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here