Madura

Di banyak masyarakat pra-sejarah, rata-rata waktu generasi manusia – jumlah tahun rata-rata antara kelahiran orang tua dan anak mereka – hanya beberapa dekade. Oleh karena itu, menjelang akhir dekade-dekade musim hujan, sebagian besar orang yang masih hidup mungkin tidak memiliki ingatan langsung tentang periode iklim kering sebelumnya. Demikian argumen Jared Diamond dalam bukunya Collapse untuk menggambarkan peristiwa runtuhnya sebuah masyarakat. Dalam proses runtuhnya sebuah masyarakat, biasanya ada orang yang meninggalkan jejak. Sebagian besar orang-orang ini, menuliskan kejadian jejak peristiwanya dalam bentuk narasi. Baik puisi maupun legenda. Di Indonesia, sebagai kepulauan penuh Gunung Api, agaknya peristiwa hancur lebur sebuah masyarakat cenderung dekat. Begitupun yang dirasakan Masyarakat Madura.

Kami pernah berbincang, aku dan seorang kawan. Ia menyaksikan perubahan kebudayaan yang paling mendasar, yaitu bahasa. Hal ini berkaitan dengan kebingungannya pada nama-nama jalan yang berubah Bahasa Indonesia. Seperti Pelabuhan Bathu Ghuluk, hari ini berubah nama menjadi Batu Guluk. Memang perubahannya hanya sepintas, tapi bagi dia itu adalah masalah. Ada beberapa kata, misalnya, seperti bilis-bilis, apabila ia dimaknai secara terminologi maka akan memiliki makna semut-semut. Bagi dirinya ini tidak lucu. Perubahan makna bahasa Ibu, ke bahasa kedua kita, Bahasa Indonesa tampaknya menjadi problem bagi sebahagian orang yang kental akan bahasa Ibu.

Demikian pula problem alih bahasa. Translasi sebuah pesan yang disampaikan oleh subjek kepada subjek yang sama sekali lain. Lain bahasa, lain budaya. Kendati sejarah membuktikan, perubahan Budaya dan Bahasa dalam pertarungan kekuatan kebudayaan satu sama lain tak terperi. Seolah ia terlihat niscaya, dengan deretan argumen yang membuat kita yakin, ada yang masih bisa kita pelajari dari kehidupan yang telah lalu. Kehidupan orang-orang yang pernah hidup di suatu tanah, ketika Bahasa Madura belum terganti Bahasa Indonesia. Orang-orang yang mencari simpul ini, teguh ingin menyaksikan, pesan harus diterima. Demi keberlanjutan sejarah dan cerita nenek moyang. Hal ini juga yang dilakukan oleh Iqbal Nurul Azhar dan Bagus Irawan dalam bukunya Perca Careta Dari Madhura. Antologi Legenda yang ia tulis dari Desa ke Desa di Madura.

Ada mitologi menarik dari abad ke abad lain. Selaras dengan apa yang diyakini oleh Jared Diamond dalam bukunya Collapse. Ialah mitologi tentang Banjir Bah yang menghancurkan peradaban Manusia masa lampau. Hampir setiap peradaban lanjut setelah air bah surut, orang-orang mulai menulis kejadian ini dengan bahasanya masing-masing yang satu sama lain berbeda. Dari ragam narasi misalnya perbedaan menarik antara lain adalah pesan yang disampaikan, nama-nama tokoh dalam cerita, dan deskripsi tentang banjir bah. Perbedaan ini memuat simpul kesamaan, tapi simpul ini kusut. Ada nama yang sama, tapi ceritanya beda. Seperti nama Noah dan Utnapishtim. Dua nama yang sama-sama sudah melewati banjir bah, tapi punya cerita yang berbeda. Cerita yang kusut. Kekusutan yang kembali pada simpul ujung kesamaan seperti kain tenun. Keduanya bertemu dalam ujung cerita yang sama. Baik Noah maupun Utnapishtim adalah orang sakit yang sudah melewati bencana Banjir Bah besar tadi.

Kisah orang sakti, dalam bahasa Madura adalah Bhuju’ , tokoh sakti suatu daerah dan dituakan. Sama seperti cerita banjir bah, perbedaan nama tapi dalam peristiwa yang satu antara Noah dan Utnapishtim, orang-orang sakti (Bhuju’) dari Madura ini memiliki nama tokoh yang beragam dan jarak antar latar ceritanya tidak berbeda jauh. Bedanya Noah di Timur Tengah, sementara Utnapishtim di kawasan Asia.  Kisah ini juga ada dalam cerita-cerita Bhuju’ Madura. Tokoh yang sama di satu wilayah, tapi berbeda cerita, atau sebaliknya cerita yang sama tapi wilayahnya yang beda.

Gilgamesh bisa mewakili Timur Tengah secara keseluruhan, tetapi di Madura, setiap desa memiliki tokohnya. Dalam bahasa serapan Arab, Bhuju’ yang bisa berarti Syaikh adalah orang yang memiliki kesaktian. Seorang manusia unggul yang visioner dan mampu melihat masalah secara futuristik. Iqbal dan Bagus mengumpulkan Perca (pecahan kecil) cerita ini dari setiap desa, dan menemukan hampir keseluruhan total kisah ini berjumlah 1200. Lebih lanjut, yang menarik dari catatan ini adalah, setiap cerita memiliki irisan kuat dengan nama-nama tokoh legendaris dari tradisi Islam-Arab.

Buku: Perca Careta Dari Madhura
Penerbit: Intrans Publishing
Penulis: Iqbal Nurul Azhar & Bagus Irawan

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here