Perayaan natal setiap tahunnya sama saja dengan tahun-tahun yang sudah lewat. Meriah dengan segala pernak-pernik acara di gereja. Jemaat-pelayan antusias melakoni peran yang dipercayakan padanya; pendeta, penatua, pemusik, song leader, tim paduan suara, dan lainnya.
Segala hal sudah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari demi menampilkan yang terbaik. Sedapat mungkin tidak ada kekurangan saat hari natal tiba. Benar saja, natal berlangsung megah dan menghibur. Terlebih pascapandemi Covid-19 meredup, jiwa merdeka kembali menggelora pada momentum natal kali ini. Kendati suasana natal nyaris sama setiap tahun, tetapi ada satu hal yang selalu bertambah: Makna Natal.
Natal bukan hanya soal perayaan sebagaimana acap terlihat dari luar: acaranya meriah disertai hiasan natal di mana-mana. Lebih dari itu semua, penekanan natal adalah pada maknanya. Pemaknaan arti natal dan bagaimana natal lahir di hati jemaat. Itulah mengapa natal akan selalu berbeda setiap tahun, walaupun intinya tetap sama, namun cara memaknai dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari akan berbeda.
Biasanya jemaat memperoleh makna itu dari refleksi pribadi (hubungannya dengan Tuhan, berdoa dan seterusnya) yang tidak terbatas ruang dan waktu. Artinya, kapan saja dan di mana saja bisa dilakukan tanpa harus menunggu momen natal yang berlangsung hanya sekali setahun. Kendati refleksi bisa dilakukan kapan saja, namun puncaknya tetap saat natal, yaitu pada 25 Desember, tepatnya kala mendengar khotbah dari pendeta.
Bisa dibilang, khotbah (penyampaian firman) adalah inti dari ibadah natal. Sebenarnya khotbah juga sering dianggap mainstream atau biasa seperti khotbah-khotbah pada umumnya. Lagi-lagi memang ini soal refleksi pribadi. Bergantung pengalaman masing-masing orang. Bagi saya pribadi perbedaan itu wajar sekali terjadi. Hanya saja yang saya rasakan, momen natal bisa menjadi pemantik atas refleksi diri (dia) kita.
Hal itu saya ilhami kala mengikuti ibadah di salah satu gereja di Kota Malang. Saya lupa persisnya tema khotbah yang disampaikan saat itu, seingat saya tentang “Tangguh dalam Hidup”. Mendengar judul itu sekilas kesannya jauh dari natal. Natal biasanya seputar sukacita, damai, kasih, dan sebagainya. Ini kok tentang ketangguhan dan perjuangan? Pikirku.
Selang beberapa menit setelah ibadah dimulai, pendeta memulai aksinya. Gaya nyentriknya menarik perhatian: jubah, kalung salib dan wajah berseri-seri. Layaknya seorang pendeta pada umumnya.
Belum apa-apa, pendeta mengeluarkan alat peraga berupa wig (rambut palsu) lalu memakainya. Jemaat sontak tertawa melihat penampilan pendeta yang wajahnya mirip Arman Maulana itu. Namun tawa jemaat tak berlangsung lama karena disertai rasa penasaran atas pertanyaan sang pendeta.
Kata pendeta itu: “Tahu saudara apa hubungannya rambut palsu ini dengan natal?” Pertanyaan itu hanya disambut tawa yang tak seberapa. “Rambut mengajarkan kita ketangguhan,” tukas pak Pendeta menjawab pertanyaannya sendiri. “Berulang kali kita potong pun dia tak pernah mengeluh dan tetap tumbuh. Bayangkan kalau rambut ini gampang merajuk dan mentalnya lembek. Bisa jadi kalau dipangkas dia bersungut-sungut, “udah capek-capek numbuhin berbulan-bulan bahkan hitungan tahun malah dipotong sekejap saja,” kata si rambut. Untung saja tidak.” Mendengar penjelasan itu jemaat sumringah, beberapa orang mengangguk kepala dengan hemat.
Fakta lainnya, rambut adalah satu dari dua bagian tubuh yang tidak membusuk setelah manusia meninggal dunia. Awetnya Istiqomah.
Pun natal esensinya adalah ketangguhan. Di balik kata natal ada perjuangan. Maria harus menerima bahwa dia hamil tanpa melakukan hubungan suami-istri. Yusuf bersedia menikahi Maria tunangannya agar Maria tidak menanggung malu (budaya timur tengah sangat mengucilkan orang yang mengandung di luar nikah). Mereka juga harus melakukan perjalanan dari Nazaret (kampung Yusuf dan Maria) ke Betlehem (kurang lebih 300 km) menaiki Unta dengan kondisi Maria yang sedang mengandung (Yesus; juru selamat yang diimani dalam Kekristenan).
Tak sedikit rintangan yang harus dilalui karena penguasa Yudea yaitu Raja Herodes memerintahkan untuk membunuh bayi Yesus yang akan lahir. Karena itu, penjagaan (razia) sepanjang perjalanan Maria dan Yusuf sangat ketat. Belum lagi banyak penolakan saat Maria akan melahirkan. Akhirnya karena keteguhan dan ketangguhan Maria dan Yusuf berhasil melalui semuanya. Yesus lahir di palungan sebuah kandang domba. Tempat yang teramat sederhana.
Natal memang tentang sukacita, damai, dan kasih, namun itu hanya akan tercapai jika ketangguhan dilakukan. Sebelum kata natal, sesungguhnya ada kata ketangguhan. Dalam hidup jemaat, kita pasti mengharapkan sukacita dan damai. Harapan itu hanya akan mendekat jika kita membayar harga; menjalani hidup dengan tangguh.
Ora et Labora.