Sumber foto dari: wikisumber
Sumber foto dari: wikisumber

Marah Rusli, dikenal sebagai penulis novel legendaris Siti Nurbaya, memulai karirnya bukan sebagai sastrawan, melainkan sebagai seorang dokter hewan. Fakta menarik ini menggarisbawahi perjalanan hidupnya yang unik, di mana ia berhasil menyeimbangkan karier di bidang kedokteran hewan sambil tetap memberikan kontribusi besar pada dunia sastra Indonesia.

Lahir di Padang pada 7 Agustus 1889, Marah Rusli memiliki latar belakang keluarga bangsawan. Ayahnya, Sultan Abu Bakar, adalah seorang demang dengan gelar Sultan Pangeran. Meski sejak kecil sudah menunjukkan minat besar pada sastra, Marah Rusli awalnya memilih jalur karir yang berbeda dengan menjadi dokter hewan. Ia mengabdi sebagai dokter hewan selama bertahun-tahun, dan pada akhirnya pensiun dengan jabatan terakhir sebagai Dokter Hewan Kepala pada tahun 1952.

Namun, minatnya pada sastra tak pernah pudar. Berbeda dengan rekan-rekannya seperti Taufiq Ismail dan Asrul Sani yang meninggalkan profesi dokter hewan untuk menjadi penyair, Marah Rusli berhasil mempertahankan kedua karirnya. Pengalaman hidupnya sebagai dokter hewan kerap kali memberikan inspirasi bagi karya-karyanya, yang banyak mengangkat tema kehidupan masyarakat di sekitarnya.

Di antara deretan sastrawan yang dikenal pada masa Balai Pustaka, nama Marah Rusli termasuk yang paling terkenal. Kepopulerannya terutama berkat novel Siti Nurbaya, yang diterbitkan pada tahun 1920. Novel ini menjadi buah bibir di masyarakat karena temanya yang mengangkat isu-isu sosial seperti kawin paksa dan penindasan perempuan, yang pada saat itu dianggap tabu untuk dibahas secara terbuka.

Melalui Siti Nurbaya, Marah Rusli secara efektif menempatkan dirinya sebagai pelopor dalam kesusastraan Indonesia modern. Selain Siti Nurbaya, ia juga menulis beberapa karya lain yang cukup dikenal, seperti novel Memang Jodoh, Tesna Zahera, dan cerita anak Tambang Intan Nabi Sulaiman. Ketekunan dan dedikasinya dalam melahirkan karya-karya sastra inilah yang membuatnya dianugerahi gelar “Bapak Roman Modern Indonesia” oleh sastrawan HB Jassin.

Penghargaan tidak hanya datang dari dalam negeri. Berkat novel Siti Nurbaya, Marah Rusli dianugerahi hadiah tahunan dalam bidang sastra dari Pemerintah Indonesia pada tahun 1969. Karya ini juga diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Rusia, yang menunjukkan dampak internasional dari karyanya.

Keberhasilan Siti Nurbaya tidak lepas dari latar belakang dan pemikiran Marah Rusli yang kritis terhadap adat istiadat yang kaku. Ketertarikannya terhadap sastra sudah tumbuh sejak ia kecil, saat ia sering mendengarkan cerita-cerita dari tukang kaba atau tukang dongeng yang berkeliling kampung di Sumatera Barat. Pengalaman ini, ditambah dengan pengamatannya terhadap adat yang ia anggap sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman, memicu pemberontakan dalam dirinya yang kemudian dituangkan dalam karya-karyanya.

Roman Siti Nurbaya menjadi fenomenal karena berani mengangkat isu-isu sensitif seperti adat yang keras dan mengungkung kebebasan individu, penindasan hak kaum perempuan melalui kawin paksa, serta kesewenangan kaum tua terhadap kaum muda. Rusli sendiri mengalami tekanan dari lingkungan adatnya karena keberaniannya mengkritik sistem sosial yang dianggap sakral pada masa itu. Akibatnya, ia bahkan sempat dikucilkan dari komunitas asalnya.

Meskipun begitu, Siti Nurbaya tetap diakui sebagai salah satu karya sastra terbesar dalam sejarah Indonesia. Novel ini tidak hanya menjadi bahan diskusi di kalangan sastrawan, tetapi juga telah diadaptasi ke berbagai bentuk media lain seperti film, teater, dan serial televisi. Jumlah cetakan novel ini mencapai 20 kali pada tahun 1990, menunjukkan betapa besarnya pengaruh karya ini terhadap budaya populer Indonesia.

Selain Siti Nurbaya, Marah Rusli juga menulis beberapa roman lainnya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, seperti La Hami (1924) dan Anak dan Kemenakan (1956). Namun, Siti Nurbaya tetap menjadi karya yang paling dikenang dan diapresiasi, baik di dalam maupun luar negeri.

Setelah wafatnya Marah Rusli, pengaruhnya dalam dunia sastra Indonesia tetap kuat. Pemerintah Indonesia memberikan anugerah sastra sebagai penghargaan tahunan untuknya setahun setelah ia meninggal. Dengan semua pencapaian ini, Marah Rusli tidak hanya diingat sebagai penulis Siti Nurbaya, tetapi juga sebagai figur penting yang membantu membentuk identitas sastra modern Indonesia.

Bagi mereka yang tertarik mempelajari lebih lanjut tentang Marah Rusli dan karyanya, novel Siti Nurbaya tetap menjadi bacaan wajib yang menawarkan wawasan mendalam tentang konflik sosial dan budaya di Indonesia awal abad ke-20. Karya-karya Marah Rusli terus menginspirasi generasi penulis baru dan menjadi bagian integral dari warisan sastra Indonesia.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here