Marlina adalah hasil karya dari Mouly Surya. Sutradara perempuan yang banyak mengangkat isu perempuan dalam bingkai sinema. Salah satu favorit saya adalah film Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak. Kisah tentang seorang perempuan Janda yang tinggal di puncak bukit tandus, dengan rumah sederhana, masih dalam bingkai tembok kayu, dan dilatari dengan halaman berisi kendang dan binatang ternak. Peninggalan terakhir Marlina dan suaminya yang meninggal. Latar belakangnya, Sumba.
Meninggalnya Suami Marlina, bukan hanya meninggalkan jasad dan kenangan. Marlina ditinggal juga dengan piutang suaminya yang belum lunas. Kendati tidak jelas, apakah piutang yang ditinggalkan suaminya itu benar atau tidak. Hanya saja, setelah itu, Marlina didatangi oleh 7 lelaki di rumahnya. Kepala rombongan itu bernama Markus. Markuslah yang menyebutkan bahwa suaminya memiliki hutang terikat dengan dirinya, dan ia beserta rombongan datang untuk menagih dengan cara mengambil gembala ternak milik Marina. Setelah itu, film dimulai.
Film ini dibuka dengan konflik. Muatan konflik, sebab dan akibatnya dihadirkan lebih awal dan lebih ketat. Alasan menariknya, barangkali karena film ini mengadopsi metode Babak dalam Teater. Bila film action cenderung lekat pada gerak kamera, babak lebih dekat dengan setting tempat yang itu-itu saja, selain itu, penceritaan tidak melulu naratif. Transisi babak cenderung lebih kentara, dibanding film-film action yang seolah terlihat sinambung. Transisi babak dapat dilihat dari caranya membatasi waktu penceritaan.
Babak pertama. Marlina didatangi 7 orang, Markus sebagai kepala rombongan menagih hutang, Marlina tidak tahu tentang piutang itu, Markus dan rombongannya meminta suguhan makanan tamu, Marlina menyiapkan hidangan, Markus dan rombongannya mengacak-acak ruang tamu rumah dan menggoda Marlina. Marlina merasa terganggu, Marlina membayangkan bala akan datang setelah adegan ini, dan Marlina bersiap menghadapi mereka.
Marlina masih digoda, minuman suguhan dicampur racun. 6 orang selain Markus meneguk suguhan dengan racun, dan semuanya tewas. Asumsi Marlina membayangkan bala, benar terjadi, setelah keenam orang itu tewas, Markus memaksa Marlina pergi ke kamar, dengan pemaksaan melayaninya di ranjang. Marlina terpaksa bercinta, dengan sebilah parang, saat ia berada di pangkuan Markus, kepalanya dipenggal.
Babak pertama selesai. Waktu pembabakan selesai setelah Markus dipenggal. Adegan setelahnya, memiliki jeda cukup lama. Jeda ini berfungsi untuk menjaga kesinambungan cerita agar tetap utuh dan kokoh. Meskipun jeda ini hanya berisi adegan Marlina membersihkan mayat yang sudah mati.
Babak kedua. Marlina merasa jengah, lalu keluar rumah. Babak kedua dimulai sejak Marlina membuka pintu, dengan membawa bungkusan kepala, dan berencana mencari pembelaan. Dalam situasi setelah membunuh, saya mengira, Marlina melakukan antisipasi, sebelum terlanjur ia dituduh sebagai pembunuh sadis. Situasi kondisi yang hampir serupa dengan gambaran Raskholnikov dalam Novel Kejahatan dan Hukuman, sesaat setelah membunuh Pemilik Indekos tempat ia tinggal.
Latar, waktu, dan muatan cerita dalam babak. Babak kedua menggambarkan masalah yang penting, saya kira di sini Mouly Surya cukup cakap mengambil bingkai. Selain faktor tone sinematik ala koboy Hollywood, Marlina lebih banyak mengambil posisi Long-shot. Marlina berjalan menyusuri lembah, berencana mengadukan laporan kepada aparat penegak hukum setempat yang jauh. Sembari tentu ia membawa penggalan kepala yang sudah dibungkus kain jarik. Jarak yang jauh, Marlina tempuh bukan dengan narasi, melainkan memasukkan peraga lain guna menggambarkan jarak itu jauh. Pertama, kendaraan tumpangan, seperti truk lintas kota. Kedua, kampung singgah tempat keluarganya bermukim, karena sebelum menuju kantor Polisi, Marlina singgah di sana dulu.
Babak ketiga. Babak ketiga menjadi unsur penguat cerita, karena ia fokus. Kali ini, Mouly Surya lebih memperlihatkan dialog, percakapan dan ekspresi dari Marlina. Kamera hampir sepenuhnya Zoom Out. Barangkali kendati film ini adopsi dari teknik drama babak, sulit untuk menggambarkan narasi gestur di tengah kantor, dengan penuh otoritas regulasi. Sehingga teknik memungkinkan, barangkali hanya melalui dialog. Salah satunya adalah dialog antara Marlina dan pemeriksa BAP. Pelaporan ini, mendapat tanggapan penolakan. Sebetulnya klise, tapi cukup menggambarkan realitas hukum di luar Pulau Jawa. Marlina tidak tianggapi.
Babak ini berakhir pada Marlina yang kecewa, pulang kembali dalam segmen penceritaan kembali pada babak kedua. Marlina bertemu Novi, seorang teman, yang juga mengerti tentang kasus Marlina. Dari sini, babak lanjutan dimulai. Guna memperlihatkan transisi babak dan kesinambungan cerita, sekaligus mencari akhir cerita (Epilog), Molly Surya mentransormasikan nilai-nilai traumatik yang dialami Marlina dalam tubuh Novi.
Babak keempat. Babak keempat, fokus cerita beralih pada kisah-kisah Novi. Novi teman dari Marlina memiliki suami yang otoriter. Hanya inti pembahasannya bukan di permasalahan nilai, tetapi teknik. Fokus pembentukan, justru jarang dibingkai melalui cerita, atau bingkai kisah sang suami. Pada babak akhir, barangkali memang karena Molly mencari epilog yang pas, maka fokus pemberhentiannya adalah pada masalah keperempuanan yang hadir dalam bingkai interaksi antara Marlina dengan Novi. Premis dibuat menggantung, tetapi justru babak terakhir keluar dari metode pembabakan, sedikit banyak.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan perempuan, kekerasan tubuh terhadap perempuan dalam film, saya kira belum banyak diangkat dalam narasi sederhana. Narasi sederhana yang dimaksud, seringkali gambaran itu dan bentuk perlawanannya, sering dibentuk dalam dialog-dialog menggebu. Dengan kata lain, dialog yang berisi serapah, cacian, ekspresi emosional dan narasi yang menggambarkan bahwa perempuan hanya mampu melawan dengan cacian. Babak menjadi bingkai menarik menggambarkan arkeologi kekerasan sehari-hari dengan sederhana dan lepas, singkat, tapi mengena. Setidaknya Molly Surya saya rasa berhasil dalam hal ini.
Marlina sebagai representasi perempuan yang terikat dalam ragam represi. Belenggu ikatan tradisional, kultur patriarki, pemahaman berbeda dengan tubuh, dan lain sebagainya. Keberagaman ini dibentuk hanya dalam metode babak. Demikian cara Molly Surya membingkai kekerasan, dengan bentuknya paling sederhana, dengan yang paling intim, aktivitas harian.