Musik sebagai sebuah bentuk seni auditori telah mengalami deformasi dari masa ke masa. Memahami musik menjadi pekerjaan besar karena tidak ada konotasi yang tetap maupun kerangka yang baku untuk bisa mendefinisikan soal musik dan fenomenanya. Berbicara mengenai musik instrumental, terdapat keistimewaan tersendiri yang membedakannya dengan lagu berlirik.
Dualisme musik instrumental
Karya musik instrumental di masa ini banyak berlindung di balik deskripsi naratif perihal apa yang menjadi representasi karya begitu juga inspirasi yang dimuat di baliknya. Musik absolut telah kehilangan eksistensinya. Hampir semua komposisi musik kini melekat dengan penjelasan maupun cerita hingga para pendengar bertendensi untuk lupa seperti apa hakikat karya musiknya. Hugh M. Miller dalam buku Introduction to Music: A Guide to Good Listening menjelaskan bahwa musik absolut dalam kacamata musikologi diartikan sebagai musik instrumental yang secara utuh berdiri untuk kepentingan musiknya dan tidak memiliki kaitan apapun dengan unsur non musik di luar dirinya. Berbeda dengan musik programa yang berusaha menyampaikan ide-ide nonmusikal dengan memberi penjelasan terutama dari judul karya yang deskriptif.
Di mana keberadaan musik absolut?
Di era ini musik yang digubah mutlak untuk musik mengalami masa krisis. Hampir tidak ada musik yang secara mutlak berdiri tanpa diberi penjelasan. Musik menjadi objek yang diharapkan bisa mewakili dan menjelaskan pengalaman manusia yang sesungguhnya belum tentu berhubungan dengan aspek musikal yang dihadirkan oleh pencipta maupun musisi yang membawakannya. Keutuhan karya musik diintervensi oleh penjelasan deskriptif yang tanpa sadar dapat mengaburkan sifat mutlak dari nada-nada musik yang telah diolah.
Sejumlah komposer musik instrumental katakanlah di zaman klasik pada abad 17 hingga 19, memilih untuk memberi nama karya mereka dengan urutan nomor-nomor tanpa judul spesifik yang mengarahkan pikiran pendengarnya membatasi pemaknaan atas karya tersebut. Sebut saja invention gubahan Bach, banyaknya symphony gubahan Mozart hingga Joseph Haydn, dan concerto hingga sonata dari banyak komposer terkemuka lainnya, melalui penamaan judul ini mereka tidak menggiring telinga pendengar untuk berkhayal sesuai keinginan penciptanya. Musik absolut berdiri dengan kuat tanpa diberi narasi yang membuat bunyi musik terbatasi penafsiranya. Kini terjadi pergeseran yang memunculkan banyak musikus merangkap menjadi seorang penutur.
Utopia pencipta karya yang tiada habisnya
Kelompok musisi yang tampil membawakan karya musik instrumental orisinil kerap kali punya segudang imajinasi untuk memberi judul subjektif kepada karyanya. Meskipun itu merupakan hak komposer, penting untuk menyoroti sejauh mana kita harus terkekang oleh narasi-narasi yang kadangkala bisa saja utopis.
Dalam beberapa konser musik instrumental bergenre pop, jazz, dan rock pada tahun ini yang digelar di Auditorium kampus ISI Yogyakarta, para audiens dibuat terpapar oleh musik yang di tiap panggung pertunjukkannya selalu disisipi penjelasan yang tidak berhubungan dengan aspek musikalnya. Komposer berbicara soal pengalamannya saat mengalami kegalauan, kejatuhan hingga kebangkitan. Mereka terbangun di pagi hari, pergi ke kamar mandi, berkendara pulang dan pergi lalu secara ajaib meyakini bahwa dari hal-hal yang mereka lakukan berperan penting dalam mewujudkan ide-ide musikalnya maupun bentuk akhir dari karya musiknya.
Nuansa bunyi disugestikan mewakili apa yang terjadi di dalam sanubari. Semua gejolak yang dirasakan dan diterjemahkan lewat jalinan nada-nada kemudian dituangkan menjadi musik yang diperdengarkan kepada audiens. Lama-lama formula yang seperti ini menjadi klise dan karena sisi manusiawi sang komposer selalu dilekatkan dengan karyanya. Semua komposer akan memiliki pengalaman negatif dan positif yang membawanya pada penulisan karya musik yang merefleksikan diri mereka.
Audiens lantas tidak menyoroti peristiwa musikalnya akan tetapi hanya merasa terwakili emosi dan pengalamannya berdasarkan penerimaan panca indera mereka. Progresi akor, pola iringan, kalimat musik, dan jalinan melodi hanya menjadi elemen sekunder tatkala cerita demi cerita soal musiknya yang secara utama ditekankan terus menerus.
Bagaimana peran musik instrumental hari ini?
Musik menjadi medium yang cara mengapresiasinya harus dijembatani oleh penjelasan yang seringkali terlalu banyak, keluar dari koridor dan sarat akan utopia. Musik instrumental yang saya temui di lingkungan saya akan melulu bersifat programatik dan telah mendominasi konsumsi maupun selera kaum muda yang aktif menjadi penikmatnya. Narasi yang dibangun atas karya selalu berusaha menyuarakan aspek realitas dan aspek non realitas yang tidak seutuhnya dapat terwakili oleh bunyi musik. Musik absolut kehilangan keagungannya dan seolah mati di dalam gemerlap musik programa. Jangkauan indera manusia yang sejatinya dapat menghayati musik dengan berbagai cara yang mereka punya kini harus bergumul dengan rangkaian narasi yang menutup kemungkinan akan kekayaan makna.
Utopia yang melindungi musik programa telah menggeser eksistensi musik absolut. Kemurnian musik mendapat campur tangan dari usaha demi usaha untuk memverbalisasikan bunyi ke dalam kata-kata. Zaman yang baru kemudian mengantarkan iklim apresiasi musik yang mengutamakan penceritaan atas karya di atas isi karya itu sendiri sebagai sebuah produk artistik.
Kematian musik absolut menjadi sebuah keniscayaan yang dibuktikan lewat situasi yang dialaminya di saat ini dan resistensinya di kalangan pendengar musik aktif yang dirasa telah sirna secara perlahan. Batas antara estetika dan fungsi telah melebur dan berpotensi menghilangkan kemurnian musik sebagai karya seni auditori yang punya ragam cara untuk dapat diapresiasi oleh publik yang menggemarinya.