Malam yang sejuk nan ramai turut bahagia menyambut pembukaan Rumah Budaya Ratna. Disegarkan oleh pepohonan dan lampu-lampu malam, acara berlokasi di Jalan Diponegoro No. 3, Malang, Jawa Timur. Pihak-pihak dari berbagai kalangan dan usia ikut serta memeriahkan acara di Rumah Ratna Budaya tersebut. Rumah yang dominan dengan warna krem itu memberikan kenyamanan bagi para tamu yang berada di pelataran rumah, tempat acara tersebut dilaksanakan. Rumah ini, Ratna relakan untuk menjadi tempat pusat diskusi kelompok, termasuk Forum Pelangi. Lebih dari itu, rumah tersebut juga transparan dengan berbagai kegiatan yang pemerintah negara menamainya dengan kegiatan “subversif.”
Acara pembukaan rumah budaya Ratna diisi oleh pemateri Benny Ibrahim yang tidak lain adalah adik kandung dari Ratna, dan Prof. Dr. Djoko Suryono, sahabat karib Ratna. Rumah Budaya Ratna adalah rumah yang luas, lapang, dan terbuka bagi semua kelompok organisasi. Rumah budaya ini ditujukan salah satunya guna melestarikan karya Ratna agar tidak hanya berbentuk tekstual saja sehingga tak lekang sepanjang masa. Dalam sambutannya, Djoko Suryono menyampaikan, “Diharapkan aktivis memiliki jiwa keteguhan seperti Ratna. Pantang menyerah, berjalan mengembara ke mana pun, dan melakukan riset. Hakikat esensi Ratna adalah energi keteguhan yang dimilikinya.”
Bagaimana Ratna bisa dikenal sebagai seorang sastrawan Indonesia? Tentu saja karena karya tulisnya. Sejumlah media nasional bahkan internasional telah memuat tiga ratus buah cerita pendek yang dikarang oleh perempuan kelahiran Malang, 24 April 1949 itu. Ada juga sepuluh buah novelet yang berhasil dia karang. Prestasi yang ditorehkannya tidak berhenti sampai di situ, Ratna tercatat pernah menjuarai lomba puisi Bali Post tahun 1983 sebagai juara pertama, dan lomba cerpen Femina tahun 1991 sebagai juara harapan pertama. Adapun di lingkungan kolektif, wanita yang berlabel “Wanita Berprestasi” itu pernah duduk sebagai ketua Yayasan Bhakti Nurani Malang, Direktur I LSM Entropic Malang, dan aktif di Litbang Yayasan Kebudayaan Pajoeng Malang.
Selain antusiasme para tamu, acara pembukaan tersebut meriah oleh adanya penampilan-penampilan seni dan sastra oleh para tamu. Setelah sambutan-sambutan dan doa simbolis, runtutan acara dilanjutkan dengan sesi potong tumpeng. Dalam atmosfer kebahagiaan malam itu, hadir juga sosok Bu Anita, adik kelas Bu Ratna di YPAC (Yayasan Pembinaan Anak Cacat) Malang yang telah mengarang 15 buku di umurnya ke-47 tahun. Para tamu juga dipersilahkan untuk masuk dan melihat isi rumah Budaya Ratna berupa karya tulis, biografi hingga ijazah pendidikannya. Tidak cukup dengan melihat-lihat, mereka membeli beragam buah karya sastrawan Indonesia, Ratna Indraswari Ibrahim.
Di antara karya Ratna yang sudah terbit sekaligus menjadi teman berprosesnya adalah kumpulan cerpen Lakon di Kota Kecil, Aminah di Satu Hari, novel Lemah Tanjung, dan sebagainya. Terdapat satu kutipan Ratna yang menarik berbicara tentang hukum fisika, “Seperti tangan ini, kalau ditekan di sini akan menggelembung di sana.” Sehubungan dengan kutipan ini, Ratna percaya tentang ketidakmampuannya dalam memfungsikan tangan dan kaki tidak melenyapkan fakta bahwa telinga dan daya ingatnya berwujud sebagai “pisau” yang memotong sebagian besar sangsi dan kekurangannya. Ratna teguh dan tumbuh dengan karya-karyanya.