16 tahun lalu (04/3) setelah mengalami pergulatan panjang proses kreatif Willy Brordus Surendra Brata akhirnya dianugrahi Doktor Honoris Causa (HC) dari Universitas Gajah Mada (UGM). Melalui lintas generasi, agaknya kita tahu bahwa aktivitas kesenian dan kebudayaan Rendra sepanjang sejarah melampaui partisipasi kesenimanan orang-orang sezamannya. Bengkel Teater Rendra salah satunya, tetapi yang lain-lain Rendra juga turut berpartisipasi dalam hal Sinema. Filmnya Yang Muda Yang Bercinta lahir pada tahun 1977 disutradarai oleh Sjumandjaja dan memperoleh penghargaan khusus Festival Film Bandung.
Pada hari peneguhan itu, Rendra memberikan Orasi Kebudayaan yang cukup baik dalam hal menggambarkan tradisi di Indonesia. Tradisi Indonesia, yang antara lain referensinya tidak lagi berakar pada Polemik Kebudayaan pada tahun 30-an, melainkan mempertimbangkan Tradisi Indonesia dalam lanskp yang lebih luas melalui aspek penglihatan analisis struktur sosial, antropologi kebudayaan dan perkembangan material yang hidup dalam tubuh masyarakat, sama seperti Teknologi. Dengan perangkat argumen yang sederhana dari Rendra, tulisan ini mencoba untuk membuka tulisan-tulisan berikutnya. Tentang problem bahasa pergaulan (lingua-franca) dan bagaimana sinema Indonesia hari ini.
Tradisi secara universal bagi Rendra adalah kebiasaan bersama yang dilakukan dalam waktu yang lama. Sumber kebiasaan bersama ini membentuk tata nilai anggota masyarakat, sehingga melahirkan etika sebagai penopang dari tradisi yang diterjemahkan oleh Bahasa. Sudah menjadi pengetahuan umum, jikalau kita bicara bahwa di Indonesia dan atau Nusantara memiliki beragam suku dengan bentuk wilayah gugus kepulauan. Sudah menjadi pengetahuan umum pula, bahwa interaksi antar suku sudah berabad-abad lamanya hadir di Indonesia demi dan untuk keberlangsungan hidup anggota masyarakatnya. Rendra dengan fenomena ini menggambarkan kutipan dari Sutasoma yaitu Bhineka Tunggal Ika. Kehendak bersatu dalam kohesi yang saling gotong royong. Sama seperti pada tulisan yang sebelumnya digambarkan oleh Pram dalam tokoh Wiranggaleng dalam Arus Balik. Adalah menarik bahwa kemudian Rendra mengatakan Lingua-Franca bahasa Melayu ini yang sudah lama menjadi penghubung antar suku, wilayah dan tradisi menjad kesepakatan bersama dalam Sumpah Pemuda.
Dengan pengakuan keragaman “akar asali” yang tiap-tiap anggota masyarakat miliki, Rendra secara tidak langsung mengakui bahwa kandungan Bahasa Indonesia adalah kandungan muatan konsensus cara berpikir suku adat yang berada di Nusantara. Seorang Antropolog peneliti Sinema Indonesia, Karl G Heider pernah menyoroti sejarah sinema Indonesia dengan problem yang serupa. Sinema di Indonesia, sejak masuknya film yang dibawa oleh orang-orang Eropa dan naskah-naskah yang akarnya berbeda-beda menimbulkan fenomena menarik. Problem penerjemahan kontekstual yang maknanya sama sekali melenceng dari bahasa aslinya.
Perbedaan yang tercipta akibat penerjemahan kontekstual dalam tradisi sinema “Indonesia” oleh Heider dipilah sebagai dua laku. Laku pertama, adalah penelitian Geider yang melihat “Sinema” dalam bentuk jadi sebagai film merupakan refleksi pasif seorang pelaku film atas apa yang dipandangnya sebagai kebudayaan. Dalam laku pertama, Heider sepakat jika pada akhirnya film-film yang lahir, seperti halnya Lotoeng Kasaroeng (1926) yang diproduksi oleh NV Java merupakan bentuk adaptasi lakon-lakon kebudayaan yang dicitrakan secara simbolik sebagai representasi kultur. Meskipun dalam konteks Lotoeng Kasaroeng, film bisu pertama ini tujuannya adalah guna kepentingan hiburan yang mendatangkan keuntungan. Dalam bahasa Seno pada buku Film Pascanasionalisme disebut sebagai film yang hanya bertujuan komersil, bukan untuk kepentingan Artistik atau Ideologis.
Laku kedua yang dimaksud Heider adalah film sebagai agen aktif dalam perubahan. Laku ini berfungsi sebagai medium pesan si pembuat film. Seperti dalam film yang diakui sebagai, “Film Nasional” karya Usmar Ismail berjudul “Darah dan Doa” (1950). Film yang didaulat sebagai film Nasional pertama Indonesia, baik dari segi produksi maupun aspek teknik naratif ini secara jelas menunjukkan kehendak si pembuat film menyampaikan keresahannya dalam agenda revolusi 45. Adegan yang sangat kentara misalnya, dalam film ini ada banyak tokoh yang resah menjalani aktivitas revolusi bersenjata. Keresahan yang datang karena banyaknya korban yang jatuh justru berasal dari kalangan pribumi itu sendiri. Adegan lain, misal, dalam kenyataannya usai merdeka, pengelola Negara Republik Indonseia yang baru sama seperti pemerintah pada masa kolonial Belanda. Sama korup dan sama-sama menyusahkan rakyat.
Dalam “Darah dan Doa” (1950) barangkali memang ada sesuatu yang menarik sehingga banyak kritikus mengatakan bahwa film ini adalah film nasional. Dalam masa-masa revolusi, pemberontakan hampir ada di setiap wilayah. Mereka yang paham akan politik berusaha mengkonsolidasikan kekuatan “persatuan” dari tiap elemen yang dapat mewakili representasi dirinya dalam status kenegaraan. Pada dasarnya, dalam proses konsolidasi ini ada banyak perdebatan yang sangat kencang. Usmar Ismail berada dalam poros tengah dari pertarungan dua kubu ideologis yang sangat kencang pada masanya. Kubu paham ideologi kanan yang berusaha mencapai keutuhan individu yang merdeka untuk memilih dan kubu kiri yang berusaha menekankan tanggungjawab cita-cita revolusi mereka dalam setiap karya seni. Dalam hal wacana, “Darah dan Doa” menggambarkan kejujuran di tengah hipokrisi revolusi pada masanya.
Lain aspek kita dapat melihat pula bagaimana “Darah dan Doa” memiliki pengaruh dalam “Bahasa Indonesia” kala pertama muncul dan digagas oleh banyak pegiat linguistik Melayu. Usmar Ismail, dalam “Darah dan Doa” keluar dari aspek lokalitas sama sekali dan menggunakan bahasa pergaulan yang biasa digunakan untuk berdagang menjadi bahasa yang mampu menghantarkan konsolidasi politik nasional pada masanya. Adalah hal menarik bagi Penulis, dalam lanskap sinema pertama yang didaulat dalam sejarah nasional berupa film yang muatan horisonnya sangat luas. Bahasa Indonesia, jika hendak dikatakan sebagai Bahasa Pemersatu iya, meskipun dalam prosesnya berdarah-darah. Meskipun masih dalam catatan Heiger, pada dasarnya sulit menerjemahkan Bahasa Indonesia sebagai pemersatu kendati bahasa itu bersifat Lingua-Franca . Pasalnya dalam ruang domestik, masyarakat yang bertempat tinggal di NKRI lebih banyak menggunakan Bahasa Ibu, bahkan di sebagian tempat terpencil banyak orang yang sukar berbahasa Indonesia.
Di bawah persatuan yang berdarah, baik dalam film “Darah dan Doa” atawa film lain Usmar Ismail yang berjudul “Lewat Djam Malam”, Indonesia sebagai bangsa yang lahir dari imajinasi baru akibat adanya paham Nation State ala Eropa digambar oleh Usmar Ismail dalam Film. Agaknya sulit jika mempelajari Sejarah Film Indonesia tanpa melangkahi karya-karya Usmar Ismail. Tetapi apakah memang demikian cara kita membaca Sejarah Film Indonesia? Dalam bahasa Seno, padahal sejatinya paham tentang persatuan dalam konteks nasional misalnya berakar pada Ide. Kalimat sederhana yang mampu menggambarkan, barangkali adalah begini
Cikal bakal Nasionalisme Indonesia lebih dulu ada ketimbang Bangsa Indonesia itu sendiri. Tetapi perlu ketegasan untuk menyatakan bahwa Bangsa Indonesia lahir setelah Nasionalisme ada. Lantas apa kemudian yang disebut Film Indonesia, apa pula kemudian yang mampu kita maknai Sejarah Film Bangsa Indonesia, apakah segala hal yang bertujuan untuk ini perlu legitimasi dari Negara?
[…] Melayu Sebagai Lingua-Franca, Alternatif ( Sinema ) Indonesia Dalam Lanskap Yang Lain Misbach Yusa Biran, Piala Citra dan Film Pemberontakan G 30 September / PKI Film, Bangsa dan Negara; Sejarah Regulasi Film Di Indonesia Gaduhnya Musik Independen Yogyakarta Dalam Panggung Serentak Bergerak Menapaki Tanah Indah Untuk Para Terabaikan Persembahan FSTVLST AllBukuFilmMusik […]