Banyak hal paradoks yang ada di dunia ini, bisa jadi semuanya. Ketika dua sisi yang berbeda dalam keberadaan yang sama berfungsi sebagai keseimbangan, maka realitas hanya sebatas absurditas yang melindungi absolutisasi dari pandangan subjektif.
Fakta yang terjadi, asumsi itu liar. Sama seperti ketika aku berasumsi bahwa pandangan objektif itu tidak ada, karena ada hal hal yang mempengaruhi seseorang untuk berpikir, berbicara atau bersikap.
Namun, ketika kamu tidak sepakat, maka itulah sebagian bukti bahwa tidak adanya kebenaran absolut. Hal tersebut disebabkan karena masalah itu perihal perspektif. Jika sudut pandang dirubah, masalah juga akan berubah.
Menjadi wajar, ketika akan terus ada kebingungan yang berulang karena ketidakpastian memang tidak bisa dihindari. Contoh kecilnya ketika aku sempat berfikir jika manusia terikat oleh aturan.
Apakah seseorang akan benar-benar bisa bebas jika segala jenis aturan itu dihilangkan? Sedangkan manusia mempunyai kemungkinan menjadi kanibal dalam kehidupan tanpa aturan.
Hidup ini sering mengajakku untuk membuat pertanyaan yang sulit aku jawab sendiri sehingga memperbanyak pengalaman melalui membaca, melihat, dan mendengar adalah pintu masuk bagaimana setiap manusia harusnya mau dan mampu memahami ayat ayat yang tidak diwahyukan.
Semua dilakukan dalam rangka mempertebal keimanan, yaitu mengimani bahwa terkadang sebagian hal memang perlu untuk diragukan sebelum mengimaninya kembali.
Bahkan, meragukan hal-hal yang sudah dijalani selama ini, seperti mempertanyakan kembali tentang: bagaimana cara kita membedakan antara egois dan idealis?
Pertanyaan ini cukup mudah untuk dihabisi, tetapi menjadi sulit ketika sudah berbentuk aksi. Apakah usaha melakukan sesuatu merupakan bentuk keidealisan atau keegoisan.
Terkadang kita sering menggaungkan kata idealisme, tetapi ketidaksadaran dalam tindakannya mengandung unsur egoisme. Merefleksikan diri seperti ini adalah salah satu usaha supaya kita tidak kedap nalar.
Tidak jarang manusia didominasi oleh kerakusan dan kesombongan sehingga membuat mereka buta dalam keadaan kedua bola matanya normal.
Pun, cara merespon sesuatu lebih condong menghikimi karena sudah kebal pendapat. Sekalipun prinsip diibaratkan sebagai harga diri yang tidak boleh digugat oleh siapa saja, tetapi melewatkan fase mempertimbangkan dari rentetan mengambil keputusan menjadi bentuk perlakuan menginjak-injak harga diri sendiri.
Hukum kausalitas terkadang menjadi bumerang bagi siapapun yang melakukan apa pun. Belum lagi, pengaruh lingkungan yang berperan sebagai doktrin aktivasi bom waktu.
Andai saja, walaupun hidup juga bukan hanya pengandaian semata. Kita harusnya saling mengerti untuk sedikit mengurangi egosentris dan melucuti sentimental terhadap sosial, agar keberlangungan ekosistem disetiap segmen kehidupan akan berjalan normal.
Namun, mau bagaimana lagi, opini susah untuk dibatasi. Lebih banyak di antara kita merasa gagah berdiri di atas pandangannya sendiri. Susah untuk memproduksi kebenaran bersama dan mudah untuk menyalahkan sepihak.
Jikalau sudah sampai pada titik jenuh masing-masing, baik pelaku maupun korban, akan berlomba lomba membuktikan usahanya sendiri bagaimana cara menaklukan kehidupan.
Padahal dunia ini besar, kita yang kecil hanya bisa saling menguatkan. Berkolaborasi untuk berkontribusi yang baik dalam kehidupan tanpa harus saling mengintervensi, memprovokasi, bahkan mengintimidasi.
Biarkanlah nalar menjadi filter setiap dinamika yang dihadapi, bahwa memang setiap realitas lahir dari sebuah kepentingan. Segala kemungkinan yang ditawarkan oleh kehidupan harus tetap didekonstruksi semaksimal mungkin supaya semua resiko dari sebuah keluputan manusia dalam mengambil pilihan tetap diterima.
Bagaimanapun bentuk hegemoninya, akar rumput lebih menerima pengalaman yang dirasakan daripada pengetahuan yang diceritakan.
Bahkan, salah satu bukti cinta pada Tuhan adalah mengekspresikan rasa dengan cara menyandarkan segala sesuatu padaNya.
Selain dari pada diriNya adalah wujud yang sama dan harus disamaratakan. Memproyeksikan pengalaman transendental pada segala macam ciptaan adalah bagian dari penunggalan.
Menerima dan menggabungkan setiap diri kita yang datang dengan kepentingan yang beragam. Seperti aku yang senantiasa menerima kepentinganmu menolak narasi ini, misalnya.
Berbeda dengan makhluk lain, manusia diberi kelebihan mampu mengetahui sesuatu tanpa ia melakukannya terlebih dahulu. Itu sebabnya kita harus banyak belajar mendengar dan berbicara, menerima dan memberi, berkarya dan mengapresiasi.
Harapannya, bagi sebagian individu maupun kelompok yang lebih suka menanam harapan tapi lebih sering gagal panen, bisa tetap merayakan kekecewaan versi terbaik menurut kita masing-masing.
Selamat menjalankan ibadah pengembaraan intelektual dan pendakian spiritual untuk menjaga kesehatan mental dan kewarasan berpikir.