Lahir dalam keadaan sendiri, begitu juga saat mati. Bayi keluar dari rahim ibunya dalam keadaan sendiri, manusia kembali tidur dalam liang lahat juga sendiri. Sadar atau tidak, kesendirian adalah awal dan akhir bagi kita. Namun, perjalanan hidup senantiasa membawa kita pada kebersamaan dengan manusia lain. Entah ayah ibu, teman atau sahabat, tetangga ataupun kekasih, dan semacamnya.
Tak dapat dipungkiri bahwa pada dasarnya masyarakat Indonesia adalah penganut paham komunal, yakni masyarakat yang hidup dalam kelompok-kelompok tertentu. Mereka dipersatukan baik oleh kesamaan suku, marga, genealogis, bahkan mitos, maupun terikat oleh tatanan hukum, adat, di mana mereka tinggal. Begitu kata Jones Gultom, seorang pegiat budaya untuk kelestarian alam.
Dari sana, kita kemudian terbiasa menjalani keseharian dengan bersama-sama, secara komunal. Dimulai dari duduk di bangku sekolah, pertemuan atau kebersamaan dengan cinta pertama, menemukan teman akrab yang seringnya berjumlah total tiga orang, membersamai seorang sahabat dengan hobi yang sejiwa, menikmati malam minggu bersama kekasih tercinta, dan semua bersama sesiapa lainnya.
Semuanya terasa menyenangkan. Hidup yang merasa hidup dalam hingar bingar keramaian berkelompok. Namun, di sisi lain terdapat beberapa permasalahan yang timbul karena terbiasa bersama dengan orang lain, salah satunya adalah ‘anggapan bahwa kesendirian merupakan hal yang buruk.’
Mari saya ceritakan bagaimana ‘kesendirian’ kerap dianggap sebagai suatu permasalahan. Petang lalu saya melaksanakan ibadah ngopi sendiri. Warung kopi sederhana dengan WiFi gratis yang berada di seberang kampus menjadi tujuan saya. Duduk di warung sendirian dengan membaca buku dan menghadap kopi menjadi kegiatan yang saya sukai akhir-akhir ini. Namun, tak jarang saya dipandang sinis oleh orang lain, juga diceramahi oleh teman saya sendiri. Kenapa ngopi tak ajak-ajak? Aneh, seperti tidak punya kawan, kau ini. Saya tersenyum dan mengangguk ringan.
Setelah kejadian itu saya merenung. Saya kira banyak hal yang bersifat prinsipiel soal kesendirian (ini sama sekali berbeda dengan kesepian, atau perasaan galau). Hal-hal mendasar yang seringkali kita rusak sendiri karena kegiatan terlalu terikat dalam kelompok adalah menomorduakan diri kita sendiri. Tak jarang saya mendapati teman-teman saya-atau bahkan saya sendiri-mengiyakan ajakan orang lain padahal niat hati ingin menolak. Mungkin istilah kerennya adalah menjadi people pleaser. Sebuah kecenderungan untuk mengiyakan keinginan orang lain guna memberikan kesenangan pada orang tersebut. Dan saya tidak mau menjadi orang yang seperti itu.
Saya paham bahwa memiliki kehidupan bersama dengan orang lain sama sekali bukanlah sebuah keburukan, tapi merasa asing apabila sendiri merupakan hal yang harus diperhatikan, terlebih dewasa ini.
Sebagai manusia, kita tentu ingin bebas merdeka, memiliki kesadaran penuh untuk membenahi diri, dan berkembang agar menjadi pribadi yang lebih baik. Maka pertanyaan mendasar untuk melakukan itu adalah “bagaimana cara untuk membenahi diri dan berkembang untuk menjadi pribadi yang lebih baik?”
Saya percaya bahwa salah satu jalan untuk mencapai keadaan tersebut adalah dengan melakukan perenungan. Dan di sanalah ‘kesendirian’ dibutuhkan. Kesendirian yang menimbulkan komunikasi dalam diri pribadi. Komunikasi intrapersonal.
Sejatinya komunikasi intrapersonal merupakan komunikasi yang paling murni dan mendasar dalam diri tiap manusia. Dan dalam komunikasi tersebut terdapat proses merasakan, memikirkan, mengevaluasi, juga menafsirkan peristiwa dalam pikiran seseorang.
Maka kita butuh sendiri. Entah di warung kopi, perpustakaan, atau sudut kamar yang nyaman. Melontarkan pertanyaan pada cermin yang berisi jiwa raga sendiri. Sudahkah kita menuruti kata hati? Dalam diri ini, apa agaknya sikap atau sifat yang perlu saya benahi? Bagaimana cara saya untuk mencapai mimpi? Dan berbagai macam pertanyaan sejenis.
Sesekali, mari merenung dan berbicara dengan diri sendiri. Terkadang kesendirian bukanlah sesuatu yang mengerikan, melainkan lebih menyadarkan dan memiliki dampak menumbuhkembangkan.