“Apa yang paling penting daripada hidup tuk bersemai? Tapi, kok makin ke sini malah makin melalap kesadaran manusia? Begitulah jika terlalu asyik memainkan permainan”
Lampu pijar jalan menerangi tiap langkah kaki menuju pendopo kang Emil. Sesekali ada motor yang berlalu-lalang di jalan itu. Kadang pula suara kodok terdengar saling sambut, hingga membuat jalan tak begitu sunyi. Tujuan ke pendopo kang Emil, hanya ingin belajar, kabarnya ada acara bedah buku di pedopo itu. Seingatku sudah lama tidak ada acara sejak pandemi.
Terlihat pedopo kang Emil sudah dipenuhi anak-anak muda. Mereka asik berbincang sebelum acara dimulai. Kebetulan masih ada kursi kosong, langsung kutempati dan ikut berbincang ria. Suasananya begitu khas, kepungan asap rokok memenuhi ruangan. Ada pula yang memainkan gitar sambil bernyanyi lagu kesukaan mereka.
Suasana yang benar-benar merindu, lama tak melihat suasana seperti ini. Sudah dua tahun memang terkurung, dibatasi untuk bersosial, berteman dengan gawai, walaupun semua media sosial tak henti-hentinya mengabarkan duka atas gugurnya para pahlawan. Mereka dinyatakan mati syahid karena meninggal di saat virus menyebar ke seantero dunia. Akan tetapi, gawai tetaplah teman yang setiap menemani.
“Perhatian, kawan-kawan acara akan dimulai,” tutur moderator
Semua mata tertuju ke moderator, pemateri telah duduk dengan begitu rapi di muka. Ternyata dia adalah Rusdi Mathari — seorang penulis yang terkenal dengan — karya yang fenomenal yakni “Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya: Kisah Sufi dari Madura”,yang ketika membacanya mampu menyihir kesadaran pembaca dan sering kali mengatakan “oh, iya” di tiap kisah yang diulas olehnya. Lalu, pemateri kedua aku tak pernah mengetahuinya, tapi sepertinya ia juga mampu menyihir ruangan ini, menjadi begitu apik.
Cak Rusdi panggilannya, dia menjelaskan begitu apik hingga mata ini sukar berkedip. Tidak hanya tulisannya, namun gaya bicara yang menarik. Tak heran Mahfud Ikhwan pernah memuji dirinya dengan “Ia orang yang menarik lebih tepatnya, orang Jakarta yang menarik dan seorang yang sangat romantis dengan dunia yang digeluti: jurnalistik”
Sekitar dua jam telah berlalu……
Hipotesis ku benar dan tak melenceng ternyata ruangan ini menjadi berapi-api, tersulut dengan segala tutur kata pemateri, tidak hanya berapi-api, namun kebahagian, cinta kasih, dan kepercayaannya meyelumuti ruang. Sebelum menutup acara, moderator meminta para materi memberikan closing statement, Cak rusdi, berkata “Untuk apa meminta closing statement, bukankah kita masih akan berjumpa di lain waktu, jika tidak biarkan doa kita bertemu saling mendoakan manusia untuk berbelas kasih,” tepuk tangan meriah bersambut.
Sesampai di rumah, kuingat lagi bedah buku yang berkesan itu. Lalu kupikir apa yang dapat kupelajari dan kuterapkan. Betapa sia-sia jika banyak nilai yang kudengar itu hanya indah diucap dan didengar. Kuingat dan kurenungkan, Cak Rusdi menjelaskan berbagai kisah perihal menghargai hidup dan kehidupan manusia. Memang, benar bahwa setiap yang menjadi kewajiban manusia, tidak akan pernah disukai untuk dikerjakan. Ditambah kemerosotan kesadaran hari ini, makin literat orang kadang kala makin mahir menyerang, entah apa dan siapa yang salah?
Menghargai jadi barang langka bagi sesama yang mendagu manusia. Jika sang Maha Kuasa saja tak bisa mengajarkan, apalagi manusia? Perbedaan dikata tak dapat menyatu, kritik dibilang benci, apalah yang disukai mereka? jadi binggung. Ingin dipuja-puja dan diagung-agungkan bagai tuhan kedua, tapi kalau boleh ingin sekali jadi nomor satu.
Mbah google jadi rujukan, media sosial dijadikan ruang publik. Ketika dihegemoni oleh kebohongaan cepat-cepatlah menarik kesimpulan dan mengkafir-kafirkan orang atas segala kesalahannya, tak bisalah mereka dewasa sesaat saja. Hingga mengaburkan kebenaran yang sesungguhnya, apakah itu bagian masyarakat yang berleterat?
Ditambah, beberapa hari yang lalu terjadi pertengkaran hebat antara sesama tetangga karena si kucing milik tetangga A, masuk ke dalam rumah tetangga B dan ternyata si kucing pup di depan rumah si B. Jadilah pertengkaran, padahal si kucing tak punya akal kenapa harus dibesar-besarkan? Katanya, bikin bau seisi rumah. Bikin puyenglah suara caci maki antar tetangga. Sialnya, tetangga lain hanya menonton, parahnya ada tetangga malah asik mengvideo pertengkaran itu, lalu dipost ke media sosial dengan caption “Pagi-pagi udah bikin rebut”
Dunia ini makin gila. Perkembangan teknologi makin pesat, tapi bikin orang individual saja. Mereka tak lagi butuh tetangga semua kebutuhan sudah bisa dilakukan sekali pencet. Mereka seolah-olah belajar dengan cepat hukum gerak manusia, tapi sebagai individual kadang kala kita gagal memahami norma yang berlaku sebagai suatu tatanan hukum yang berlaku.
“Buk, ini ada undangan dari pak Anton. Dua hari lagi ada pernikahan anaknya,”
“Taruh saja di meja,” pinta ibu.
“Ibu, kenapa tak membantu Pak Anton?”
“Bantu Apanya?”
“Menyiapkan segala urusan seperti biasa-biasanya,”
“Ngapain dibantu dia kan kaya sudah bisa melakukan sendiri-sendiri. Sewa orang buat menyiapkan itu. Dia saja jarang membantu orang lain. Jadinya kita tak punya hutang untuk membantunya,” tegas ibu.
“Bantu kok milih-milih,” gerutu dalam hati makin hari tak jelas juga ibuku ini. Tapi, di sisi lain aku tak boleh menyalahkan ibu. Semua kesimpulan yang ibu dapati juga realitas. Ternyata, dunia ini adalah permainan yang kadang kala kita sesuka hati memainkan permainan itu. Semua permaianan diputuskan atas kehendak kita. Baik dan buruk tergantung permainan. Kalau mau beri kasih maka permainan itu penuh dengan kebahagian. Jika tidak malah sebaliknya.
Permainan makin ambruk ketika material dijadikan capaian untuk memenangkan permainan. Tapi, permainan itu juga butuh material. Sukar jadi manusia yang hidup di dunia yang penuh kemegahan. Menjadi pemain yang etos pun sulit maunya menang terus. Senggol kiri dan kanan adalah hal wajar.