Dari Khurasan, Irak, Sosiolog masyhur Ibnu Khaldun menulis Muqaddimah. Sudah lama berlalu buku itu terbit. Ibnu Khaldun membaca Herodotus, lalu mengembangkannya dalam Muqddimah, 4 abad yang lalu. Dalam pemikirannya, Khaldun dikenal sebagai pencetus teori siklus sejarah. Hal mendasar yang ia tawarkan adalah tentang siklus keruntuhan sebuah Negara. Apa yang ditawarkan Khaldun adalah posisi Negara sebagai sesuatu yang pasti ada kehadirannya. Pada abad 19. Hegel menawarkan pandangan sejarah sebagai ruh. Sejarah sebagai pengaturan tentang bayang-bayang takdir yang melingkupinya dan Negara, termasuk di dalamnya – negara Demokrasi.
Negara dalam catatan Ibnu Khaldun, atau Hegel sekalipun, dipandang sebagai makhluk. Dalam terjemah saya, barangkali Makhluk yang dimaksud adalah, ekspresi kehendak berkuasa yang tertinggi. Negara adalah wadah, ketika manusia mampu melihat dan belajar saat hasrat kekuasaan diorganisir dalam bentuk institusi. Kiranya perspektif ini mampu dilihat sebagai sesuatu yang relevan, di samping banyak kajian tentang cara sejarah bekerja. Seperti perkembangan mutakhir mitos Negara Bangsa, yang dalam bahasa Ben Anderson disebut sebagai Imagined Community.
Negara-bangsa kini diadopsi oleh Indonesia. Setelah abad 19 melintas, elit politik Negara ini memutuskan bagaimana nilai Negara-Bangsa Indonesia hadir untuk menghadapi zaman. Beriringan dengan adanya semangat pencerahan, ekonomi kapital, dan lagi, nilai demokrasi sebagai visi bersama manusia abad ini. Kendati dalam bentuknya, Demokrasi ini bersifat beragam. Salah satunya, antara lain adalah Demokrasi Pancasila hasil asimilasi nilai religiusitas dan nilai sosial politik Negara Bangsa. Tetapi dalam praktik, Demokrasi tak seideal yang dikira oleh Plato dalam Republik. Demokrasi yang menyentuh praktik bernegara, akhirnya hanya menjadi wadah pertarungan kepentingan kelas, demikian pendapat Karl Marx.
Sebagai ekspresi kekuasaan manusia modern paling mutakhir, Negara yang bersinggungan dengan kepentingan kekuasaan dari kelas-kelas dan struktur sosial yang ada di dalamnya melahirkan teknik bagaimana Negara Demokrasi bekerja, dan bagaimana kepentingan kelas terbagai dalam bingkai-bingkai kepentingan kelas. Demokrasi ini dibahas dalam buku Demokrasi Tanpa Nalar, sebagai Negara Demokrasi Prosedural. Negara alkhornya yang jauh dari kata substansi kekuasaan rakyat, lebih jauh barangkali kepentingan rakyat yang tertindas, dan lagi, Demokrasi ini hanya bohong-bohongan.
Indonesia menerapkan sistem Demokrasi Elektoral. Negara, atas kesepakatannya pada masa-masa revolusi 45’, memutuskan suara rakyat direpresentasikan dalam wadah-wadah keparataian. Wadah Partai Politik. Dalam praktik demokrasi hari ini, Partai Politik sebagai representasi dari suara rakyat mulai diragukan. Generasi hari ini, barangkali bila berkaca pada teori siklus Ibnu Khladun, adalah generasi tahap dua. Generasi ketika ekonomi dan politik tidak lagi mampu dikumulasi lewat Negara, sehingga kepentingan publik mudah terpenuhi dalam skala privat. Banyaknya kepentingan pribadi yang mampu dicukupi tanpa panjang tangan dari Negara, semakin sulit, dalam hal ini mengkonsolidasikan kepentingan Demokrasi, Negara dan Bangsa.
Kasus paling baru, hari ini adalah masuknya Fatia-Haris, sebagai representasi elemen sipil pentas politik pusat Jakarta dipenjara. Keduanya masuk penjara, setelah menuai polemik dengan Luhut Binsar Pandjaitan. Luhut menuntut Fatia-Haris atas nama pencemaran nama baik, yang saat ini, Luhut sedang menjabat sebagai Menteri Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia. Mulanya, atas dasar semangat reformasi, Fatia-Haris menawarkan aktivitas politik sebagaimana cita-cita dasar konstitusi yang telah diamandemen sejak Reformasi. Supremasi Sipil dan hilangkan intervensi militer dalam politik. Sayang itu tidak terjadi, setelah keputusan Jaksan Penuntut Umum memutuskan Fatia-Haris sebagai terdakwa, tanpa pengujian bukti ketat atas dasar apa yang dilakukan oleh Fatia-Haris. Miniriset Ekonomi-Politik yang ada di blok Wabu, Papua Barat.
Bagaimana menanggapi masalah ini? Sementara cita budi yang dibangun di atas semangat refomasi terasa luhur. Ada tanggapan menarik, mengenai ini, dari seminar yang dilakukan oleh Mahfud Md saat mengisi kuliah umum di Universitas Gajah Mada (UGM). Dalam Demokrasi hari ini, kita mengalami banyak perubahan, khususnya dalam hal ini, misalkan, penguatan hukum dan memastikan penegakan hukum mampu dilakukan tanpa imunitas. Pernyataan menarik datang setelahnya. Mahfud mengatakan, sebaik apapun sistem, kadang kala kendala ada di Integritas, atau dalam bahasa Mahfud integritas tanpa pandang bulu.
Demokrasi Tanpa Nalar barangkali mampu membuat kita tertegun. Kumpulan Esai yang ditulis oleh Luthfi J Kurniawan, sebagai salah seorang pengama di Indonesia. Kumpulan essainya reflektif dan memberikan penjabaran bagaimana Nalar adalah isntrumen penting dalam Negara Demokrasi. Sebuah negara yang menganut Demokrasi dan rakyatnya tidak memiliki pemikiran yang cakap dan utuh, hanyalah bualan belaka, yang sistemnya akan jatuh ke dalam bentuk-bentuk demokrasi seremonial. Demokrasi yang mengenal sistem ini, pada akhirnya akan selalu beririsan dengan korupsi.
Demikianlah tawaran Luthfi J Kurniawan, di usia Indonesia yang sudah hampir menjelang 1 Abad. Mengacu pada ukuran Ibnu Khaldun, setiap 100 tahun sekali, Negara akan runtuh sesuai dengan perkembangan sosialnya. Yang hanya menemani bila terjadi keruntuhan Negara Indonesia adalah Buku, termasuk buku ini.