memikirkan kata

“Kata-katalah yang harus disalahkan. Dari semua hal mereka adalah hal terliar, paling bebas, paling tidak bertanggungjawab, paling tidak dapat diajar. Tentu saja kau bisa menangkapnya dan menyusun mereka dan menempatkannya dalam urutan alfabet di dalam kamus-kamus. Akan tetapi kata-kata tidak hidup dalam kamus-kamus, mereka hidup di dalam pikiran.”

– Virginia Woolf

Harus diakui bahwa menulis bukanlah perkara mudah dan saya tidak percaya jika ada anggapan bahwa menulis itu mudah, kecuali memang hanya cara memantik calon pelajar untuk tertarik dalam dunia tulis menulis. Meskipun sesungguhnya agak menyesatkan setelah tahu dan merasakan betapa tidak mudahnya menulis itu. Persis seperti kutipan di atas bahwa kata-kata terlampau liar nan cerewet sebab ia ada dalam tempurung kepala. 

Saya lebih percaya bahwa menulis sesungguhnya membutuhkan waktu puluhan tahun. Dan dengan waktu sangat lama tersebut belajar pun tidak menjadi tergesa-gesa dan tidak gampang membusungkan dada setelah uji coba menulis itu mampu dilalui meskipun hasilnya belum sepenuhnya maksimal seperti layaknya tulisan bermutu pendahulunya: para maestro. 

Harus disadari bahwa menulis itu rumit dan mudah bagi yang ingin menghasilkan tulisan “biasa-biasa saja”, dan rumit bagi yang  ingin menghasilkan tulisan bagus dan bermanfaat bagi kemanusiaan kita.  Mengatakan bahwa menulis itu mudah sesungguhnya menggampangkan perkara yang “tidak sesederhana itu”. 

Meski demikian bukan berarti perkara “tidak sesederhana itu” tidak bisa kita pelajari dan bisa ditemukan teknikal bagaimana para penulis maestro dunia itu telah menunjukkan keberhasilannya—sekadar menyebut beberapa nama: Pramoedya Ananta Toer, Gabriel Garcia Marquez, Kurt Vonnegut, Orhan Pamuk, Ernest Hemingway dan tokoh lainnya. 

Para pendahulu kita—maksudnya para maestro dunia itu—yang telah lama tersesat dalam kata-kata itu ternyata dalam prosesnya menemukan pola kreatifitasnya masing-masing dan memberikan pencerahan bagaimana teknikal itu dibagikan tips-tipsnya dalam buku  “Memikirkan Kata” ini. 

Seperti metafora menulis pada umumnya, Sabiq Carebesth (dkk) menggarap buku ini mengumpamakan menulis layaknya seorang Chef yang menyajikan sebuah makanan lezat; sementara membaca adalah aktivitas pembelanjaan bahan-bahan makanan lezat tersebut dan bagaimana kemudian para penulis dunia itu meramu dan meracik kalimat-kalimat sedemikian rupa sehingga menghasilkan kenikmatan bagi pembaca yang mencicipi kelezatannya. Kedua aktivitas tersebut tidak bisa dipisahkan. 

Demikian Sabiq (dkk) menulis: “dalam andaian semacam itu, teknik memasak, teknik menulis, pengetahuan akan bumbu-bumbu, cara mengolah dan cara menghidangkan perlu dipelajari dan dimiliki, meski hasil akhir, dan pada tahapan “pengalaman dan jam tempuh”, semua fase kaidah dan pelajaran teknik tu boleh dilanggar dan dilampaui. Tak terkecuali dalam seni menulis, berlaku juga hal serupa”. 

Buku “Memikirkan Kata” memuat catatan para penulis dunia dan menceritakan proses kreatif sepanjang karir mereka sebagai penulis tersohor dan bagaimana mereka memikirkan kata selama ini yang terkadang tersesat dalam kegelapan dan kemudian menemukan setitik cahaya dari cerita-cerita yang mereka hasilkan selama proses puluhan tahun bahkan hingga kematian menjemput. Ada kata-kata menarik Virginia Woolf dalam konteks ini:

“Kata-kata seperti halnya kita, untuk dapat hidup dalam ketenangannya, membutuhkan wilayah pribadi mereka. Kata-kata, meinginkan kita untuk berpikir, dan mereka menginginkan kita untuk merasa; sebelum kita menggunakannya; tetapi mereka juga ingin kita berhenti sejenak; untuk menjadi tak sadar; ketidaksadaran kita adalah wilayah pribadi mereka; kegelapan kita; cahaya bagi mereka…” (hlm, 247).

Para penulis dunia itu berkumpul dalam satu buku ini dan kita akan disajikan kepingan foto-foto menarik dan diperlihatkan gambar-gambar manuskrip serta kalimat-kalimat nasehat segar dari penulis dunia itu—termasuk penulis kenamaan Indonesia: Pramoedya Ananta Toer. Saya kutip nasehat itu: “Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.” (hlm, 126). 

Kehadiran buku ini adalah kesadaran Sabiq (dkk)  bahwa membaca dan menulis belum menjadi budaya bangsa ini. Padahal membaca dan menulis merupakan cara hidup masyarakat dan bukan hanya kebutuhan praktis-oportunis sekadar cari pekerjaan atau baru disekolah saja seseorang menulis. Menurut Sabiq (dkk), budaya menulis itu penting, tetapi harus dimulai juga dari kesadaran bahwa membaca dan menulis adalah begitu penting bagi kemanjuan peradaban kita: bangsa Indonesia. 

Oleh karena kesadaran tersebut, dalam buku “Memikirkan Kata” ini, Sabiq (dkk) menyusun sembilan bab dan sembilan bab tersebut berpondasi pada tiga tiang utama. Pertama, pembaca diperlihat-kenalkan tentang dunia perbukuan dan dunia menulis bahwa menulis bukanlah perkara mudah. Yang harus diingat dan disadari adalah bahwa para penulis kaliber dunia itu lahir dari proses tak satu pun receh, instan. Mereka menjalani proses menulis tersebut bukan “apa yang ada”, “ala kadarnya”, melainkan bagaimana “menjadi ada” selama puluhan tahun. 

Kedua, pembaca akan mendapatkan dasar teknikal bagaimana menulis lebih baik dan bermutu, bahwa menulis bukanlah sekadar “mengarang” lalu selesai. Dalam bagian ini terdapat beberapa esai menarik dan menegaskan bertubi-tubi bahwa buku-buku bagus itu tidak ditulis, melainkan ditulis ulang. 

Sementara yang ketiga adalah bagaimana pembaca mendapatkan tips atau panduan untuk menjadikan kerja menulisnya lebih efektif dan lebih baik lagi. Dalam bagian ini akan ditemukan sejumlah tips atau panduan genre menulis—mulai dari menulis esai, cerpen, puisi hingga artikel how to dan novel.

Melalui tiga pondasi tersebut diharapkan pembaca akan mendapatkan keluasaan perspektif bahwa menulis bukan hanya soal teknik, kemampuan bagus dan tujuan menjadi penulis besar, tapi bagaimana menjadikan pekerjaan menulis sebagai tanggung jawab moral dan bagaimana merawat kemanusian manusia sehingga menimbulkan empati sosial, beberapa bab selanjutnya.

Demikianlah ketika kita menelaah secara mendalam setelah membaca dan mencermati proses kreatif para penulis dunia tersebut. 

Tujuan terpenting hadirnya buku “Memikirkan Kata” ini adalah bukan semata-mata untuk menjadikan buku “pandangan menulis” serupa buku kebanyakan, lebih daripadai itu, agar pembaca juga sadar dan—harus menyadari (?)—akan pentingnya buku bermutu, membaca dan juga menulis. Sebab kemajuan dan peradaban lahir—dan dilahirkan (?)—oleh  para pemikir dunia ini melalui tahapan-tahapan “berpikir dan berkata”—melalui teks tulis yang dihasilkannya. 

Seorang cendekiawan Muslim asal Mesir, Nasr Hamid Abu Zaid, pernah berkata bahwa peradaban itu dimulai dari teks. Tuhan pun memperkenalkan diri di dunia ini lewat sebuah teks.

Demikianlah kemajuan itu terbentuk dan membentuk diri dan berkembang dalam laju peradaban, maka hadirnya buku “Memikirkan Kata” ini menjadi angin segar bagi kita yang menghasrati kemajuan tersebut untuk kebangkitan Indonesia lebih unggul kedepannya. Lalu pertanyaan esensial adalah: apakah kita saat ini dan detik ini telah benar-benar memikirkan kata; memikirkan peradaban Indonesia di masa depan? Atau kita hanya ala kadarnya ketika menulis lalu ingin tulisannya dikenang-abadikan? 


Judul: Memikirkan Kata 

Editor dan Penulis: Sabiq Carebesth dkk

Tahun: 2022

ISBN: 978-979-1442-84-8

Penerbit: Galeri Buku Jakarta 

Tebal 550 halaman

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here