Mengusung semboyan ‘Almost Rock Barely Art’ band asal Yogyakarta yang satu ini memperlihatkan kiprah seni yang saling berkelindan, khususnya seorang Farid Stevy. Perjumpaan dengan nama Festivalist (FSTVLST) bermula dari pembacaan terhadap ulasan salah seorang teman. Ketika itu masa semester ganjil tahun 2023, teman saya Gilbert Natanael sedang magang di media alternatif yang bermarkas di utara Kota Jogja. Liputan-liputannya tentang Festivalist mendorong saya untuk berekspansi wawasan dan bereksplorasi genre.
Terbentuk sebagai band untuk acara makrab saat kuliah di ISI Yogyakarta, Sirin Farid Stevy dan para punggawa Festivalist rupanya terus mengibarkan bendera kesuksesannya hingga hari ini. Hal ini diceritakan langsung dalam sebuah sesi wawancara bersama Soleh Solihun di kanal Youtube Authenticity ID. Basis penggemarnya militan dari tiap sudut kota ke kota di tanah air. Sang vokalis membagi hidupnya sebagai perupa sekaligus musisi. Desain sampul pada tiap album dikerjakan sendiri dengan sentuhan estetis sang vokalis.
Memperlihatkan bagaimana kerja seni rupa dan musik saling berkelindan, Farid Stevy tidak meninggalkan salah satu diantaranya. Pekerjaan sebagai ilustrator ditekuni sembari berkarya cipta menulis lirik dan merajut jalinan demi jalinan melodi musik.
Album Festivalist bertajuk Hits Kitsch berhasil memikat telinga saya, khususnya nomor lagu berjudul “Tanah Indah untuk Para Terabaikan Rusak dan Ditinggalkan”. Bagian introduksi mengantar saya menyimak musikalitas mereka yang khas dengan nuansa rock namun “tidak rock-rock banget, tapi hampir”. Semboyan ‘Almost Rock Barely Art’ menjelma sebagai adagium yang dipegang kuat. Tidak sulit bagi saya sebagai penggemar musik rock untuk terbenam di lautan nada dan diksi persembahan festivalist pada lagu ini.
Sampul Allbum Hits Kitsch
Memasuki bait pertama, saya diperdengarkan lirik berbunyi ‘Di tanah tua yang tinggal hanya debu darah dan marah’, menggambarkan carut marut bumi yang kita pijak dengan perwakilan diksi provokatif dan mengandung kegetiran. Sang penulis lirik tampak piawai memilah diksi, menunjukan nafas sastra yang serius dari bait ke bait.
Simbolisasi dan muatan kritik terus mengemuka. Bait kedua dengan lirik ‘ku bangun mesinnya dari logam senjatamu yang menyayat-nyayat’ secara konotatif menyampaikan praktik kekuasaan. Saya langsung teringat cendekiawan mazhab Frankfurt yakni Theodor Adorno yang berkata bahwa manusia tak lebih dari kumpulan baut dan sekrup dari mesin besar bernama kapitalisme .
Tidak hanya berkisah tentang keterpurukan dan carut marut, lagu ini menggaungkan empati kepada kaum marjinal.
kan kujemput jiwanya dirumahnya
jiwa-jiwa yang terabaikan rusak dan ditinggalkan
terundang terbang bersama
Melalui cuplikan bait di atas, saya sadar bahwa sekumpulan manusia yang keadilannya tergadaikan justru merupakan sosok terkuat. Festivalist mengajak mereka tuk merayakan hidup terlepas betapa rusaknya jiwa dan negeri yang konon gemah ripah loh jinawi ini.
Menyikapi derita dengan kemegahan, saya rasa lagu ini tidak kelam dan pesimis. Alih-alih mengutuk dan menyerah pada hidup, mengapa kita tidak berkelana mencari bahagia? Setidaknya kelak setiap manusia akan temukan kebahagiaan kecil dalam versinya masing-masing. Termasuk seperti sang vokalis yang tak pernah padam api semangat berkaryanya.
Dihadang oleh pilihan untuk pragmatis atau idealis, Farid Stevy tetap percaya bahwa visual dan musik dapat saling menghidupi. Ketika berjalan menyambangi kawasan timur Kota Jogja, saya membalik buku karangan Noam Chomsky dan menemukan nama “Sirin Farid Stevy” sebagai ilustrator sampulnya. Menarik melihat bagaimana sang Noam Chomsky yang mengkritik dominasi kapitalisme bersanding dengan karya rupa dari seorang Farid Stevy, punggawa Festivalist yang beresonansi kuat dengan gagasan buku tersebut.
Di sisi lain, Gilbert bercerita bagaimana Festivalist menyediakan ruang kepada band indie rintisan untuk tampil sepanggung dengan mereka. Spirit egaliter dan inklusivitas mengemuka dan memberi nafas bagi para pelaku musik di jalur independen di Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Tidak hanya menyuarakan subversi atas kondisi yang menerpa ruang sosial dan budaya, mereka juga hadir menyambut sesama musisi dan pendengarnya dengan hangat dan gaung semangat.
Sirin Farid Stevy bersanding dengan hasil karyanya,
Sumber: Impessa.id