Siidoarjo

Adalah suatu yang perlu memahami Sidoarju bukan hanya melalui Lapindo. Adalah perlu juga memahami Sidoarjo sebagai sebuah Kota selain mengenal kota para Habib selain Pasuruan. Kendati memang Sidoarjo sering masuk lanskap “sampiran” di sepanjang Sejarah Indonesia dibandingkan dengan Pasuruan, tapi ada hal yang menarik. Jauh lebih menarik ketimbang pemindahan pertama kali Kolonial Belanda menerapkan kebijakan pembagian Surabaya menjadi dua bagian pada tahun 1859 antara Surabaya dan Sidokare. Sidokare kemudian berubah nama menjadi Sidoarjo, lalu kemudian Koloni Belanda membangun penghubung antara Brantas ke Sidoarjo yang kelak disebut Delta. Masih ada yang menarik.

Berangkat ke Pasuruan hari ini, kita tak akan menemukan barang sedikit jejak sirkular Kota ini pernah menjadi penting karena letak Pelabuhan. Tapi sedikit bergeser ke Sidoarjo, kita akan melihat tempat ini pernah menjadi daerah kekuasaan kerajaan yang cukup masyhur pada abad 10.  Kerajaan Kahuripan, sebuah kerajaan oleh Raja Airlangga yang perbatasan paling Timurnya langsung bersinggungan dengan Selat Madura. Di tempat ini konon kejayaan Sidoarjo dicatat melalui ragam jejak. Beberapa terkubur, beberapa tercatat dan yang lain berubah abu sejarah, barangkali – jika kita tak mencarinya. Termasuk seorang pejalan yang mencatat dan mencari ini dan menuliskannya dalam buku Peradaban Bumi Kahuripan. Agus Subandriyo.

Agus pergi dari tapak desa sebelah ke desa lain, dari desa satu ke desa dua mencari jejak Bumi Kahuripan. Agaknya memang dirinya tak berbekal naskah, yang ia bawa hanya pertanyaan dari jalanan kota sampai ke pesisir ujung batasan laut. Karena tanpa naskah, yang ia temui adalah kisah-kisah tentang kota yang sudah raib seperti kisah Orang-Orang Sodom dan kotanya. Tapi selalu ada jejak, ketika ia bertemu misalnya dengan seorang pendamping bernama Tri Cahyono. Di Dusun Pulolancing, Desa Kendang ia menemukan pecahan batu bata yang tertimbun 15 cm di bawah anah. Hari berikutnya, Selasa masih dalam tempat yang sama ia menemukan batu bata kuno pada kedalaman 130 cm. Diduga berdasarkan ukuran karbon dan pecahan batu ini berasal dari zaman kolonial, tetapi rekonstruksi bangunan apa yang ada entah.

Semakin ke dalam, semakin Agus menemukan penemuan yang lebih unik. Di tepi sungai Mas, sepanjang deretan garis ia menemukan watu lumpang . Watu atawa batu ini terletak di sekitar Punden Doro yang konon dahulu adalah titik sumber pemandian Permaisuri. Bagaimana melihat jejak bekas permaisuri di sana, jikalau bukan dari Selendang seperti seorang Jaka Tarub yang mencuri Selendang para Bidadari yang sedang mandi di air terjun. Adalah seorang penduduk lokal bernama Sudarman yang menghantarkan Agus pada kesinambungan cerita itu. Ia memandu Agus menyusuri Sungai Mas dan menunjukkan cerita-cerita yang mungkin ada atau tidak ada. Kendati Agus dalam buku ini mencatat kisah itu seolah memaksa kita untuk cerita. Sejauh setelah cerita catatan perjalanan Agus berakhir, menakjubkan jika kita bisa berkata, “Ini bukan seperti Sidoarjo yang kami bayangkan”.

- Poster Iklan -
- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here