Gamelan merupakan sebuah ansambel arkais yang ada di nusantara. Kearkaisan tersebut dibuktikan dengan adanya jejak-jejak gamelan yang telah terbekukan dalam relief candi, babad, maupun serat-serat kerajaan nusantara. Dalam jejak-jejak tersebut juga teridentifikasi bahwa gamelan terpilahkan dalam puspawarna jenis dan guna. Dalam pemilahan itu, Serat Wedapradhangga menyuratkannya dengan sangat jelas. Ada gamelan yang digunakan untuk menandai peperangan yang disebut Tabuhan Merdangga, gamelan untuk ritual para pertapa yang disebut Rabana, tabuhan untuk para prajurit yang disebut Gamelan Srunen, gamelan untuk tujuan penghormatan yang disebut Gamelan Pakurmatan, dan lain sebagainya.
Beberapa gamelan yang tergurat dalam Serat Wedhapradangga hingga kini masih dapat dijumpai. Iktibar yang paling bernas ialah Gamelan Pakurmatan yang ada di Keraton Surakarta maupun Yogyakarta, yakni Gamelan Carabalen, Gamelan Monggang, Gamelan Sekaten, serta Gamelan Kodhok Ngorek. Gamelan tersebut masih ada dan masih sering dimainkan sesuai guna yang diampunya. Selain Gamelan Pakurmatan, agaknya ada gamelan lain yang mengindikasikan keeksisannya hingga kini. Gamelan tersebut ialah Gamelan Srunen.
Jejak Gamelan Srunen
Pradjapangrawit dalam Serat Wedapradhangga (1944:35) menyebutkan bahwa Gamelan Srunen merupakan tetabuhan yang digunakan oleh para prajurit kerajaan. Gamelan tersebut digubah di Majapahit pada masa Prabu Bratana tahun 1361-2 masehi. Lebih lanjut, Gamelan Srunen terdiri dari beberapa instrument, yakni: 1) suling, 2) teteg (kendhang), 3) bendhe, 4) kethuk, 5) kenong, 6) gong, dan 7) kemong. Berbeda dengan ungkapan Pradjapangrawit dalam Serat Wedapradhangga, Padmasusastra (1898:896) menyebutkan bahwa Gamelan Srunen digubah oleh Prabu Brawijaya pada masa Kerajaan Majapahit. Lebih lanjut, instrument yang ada dalam Gamelan Srunen ialah: 1) bendhe, 2) kemong, 3) ganjur, 4) suling, 5) teteg (kendhang), 6) pamatut (kethuk), dan 7) sauran (kenong).
Selanjutnya, jejak Gamelan Srunen juga termuat dalam Serat Centhini. Dalam Serat Centhini, penyebutan gamelan Srunen termuat pada Tembang Durma Pupuh 293 yang berbunyi “srunen slompret ngelik-elik, kendhange ngaplak, kemong kempul tinitir”. Lebih lanjut, tertuliskan juga “jinantur srunen ririh” dalam tembang yang sama. Dalam hal ini, Tembang Durma di atas menceritakan tentang bebunyian dari Gamelan Srunen. Bebunyian itu terisi oleh slompret yang meliuk-liuk, kendhang yang berkumandang nyaring, serta kemong dan kempul yang bergaung statis. Selanjutnya, bebunyian gamelan srunen begitu lirih.
Babad Giyanti dalam pupuh dhandhanggula dengan tegas juga menyuratkan keberadaan Gamelan Srunen. Dalam pupuh itu, tertulis, “praptanira baris angurmati // munya kendhang gong beri sauran // serunen lan carabalen // kodhokngorek angungkung //”. Tulisan itu mengisahkan tentang bebunyian yang mengiringi para prajurit berbaris. Bebunyian itu ialah kendhang, gong beri, dan sauran. Ke tiga bebunyian itu ialah instrument yang termuat dalam Gamelan Srunen, Gamelan Carabalen, dan Gamelan Kodhok Ngorek.
Lebih lanjut, jejak Gamelan Srunen juga tertulis dalam pupuh pangkur yang berbunyi “karungu kendhang gongipun serunen kapiyarsa”. Tulisan itu menjelaskan bahwa kendhang dan gong dari Gamelan Serunen terdengar. Bunyi tersebut berkumandang ketika peperangan tengah terjadi.
Jejak Gamelan Srunen juga terbekukan dalam Majalah Kejawen edisi 7 Oktober 1931. Dalam majalah tersebut, disebutkan “… panyepengipun ambakem kalihan tumindak ngenut iramaning gendhing tabuhan srunen (kados tabuhan reyog ing ngriki)”. Dalam pernyataan di atas, disebutkan bahwa gerakan para prajurit mengikuti irama Gamelan Srunen. Dalam majalah tersebut menyematkan bahwa Gamelan Srunen mirip dengan ansambel pengiring kesenian reyog.
Jejak Gamelan Srunen tidak hanya terbekukan dalam serat-serat lampau. Secara kultural, istilah Srunen masih menggema hingga kini. Istilah tersebut sering dilafalkan oleh kebanyakan masyarakat Ponorogo untuk menyebut ansambel pengiring kesenian reyog. Kebanyakan masyarakat menyebutnya dengan orkes Srunen.
Orkes Srunen
Secara kultural, pengiring ansambel reyog karib disebut dengan orkes Srunen. Agaknya, ada ketertautan antara orkes Srunen dengan Gamelan Srunen. Ketertautan itu dapat dibaca melalui instrument yang ada dalam orkes Srunen dan Gamelan Srunen. Pernyataan Pradjapangrawit dan Padmasusastra secara bernas memperlihatkan instrument yang ada dalam Gamelan Srunen, di antaranya: 1) bendhe, 2) kemong, 3) ganjur, 4) suling, 5) teteg (kendhang), 6) pamatut (kethuk), dan 7) sauran (kenong), dan 8) gong. Lebih lanjut, Padmasusastra menyebutkan adanya instrument slompret dalam Gamelan Srunen. Penyebutan itu ada dalam Bauwarna Padmasusastra (1898:721) yang berbunyi “… tabuhane srunen, kendhang, bendhe, suling sarta slompret”. Adanya suratan itu tentu saja memperjelas instrument yang ada pada Gamelan Srunen, bahwa ada tambahan slompret dalam ansambel Gamelan Srunen. Artinya, ada sembilan instrument yang termuat dalam Gamelan Srunen.
Selanjutnya, kebanyakan orkes Srunen yang ada saat ini memuat beberapa instrument, di antaranya: 1) kendhang, 2) slompret, 3) kethuk, 4) kenong, 5) kempul dan gong, 6) ketipung, 7) angklung, dan 8) vokal. Apabila dikomparasikan, ada perbedaan antara Gamelan Srunen dan orkes Srunen. Perbedaan itu terletak pada: 1) adanya tambahan angklung, ketipung, dan vokal pada orkes Srunen dan 2) hilangnya instrument kemong, suling, dan bendhe dalam orkes Srunen.
Perubahan instrument yang terjadi dalam sebuah kesenian kiranya adalah hal yang lumrah. Ada penyesuaian terhadap kebutuhan pementasan, zaman, serta kreatifitas pemilik kesenian. Penyesuaian-penyesuaian itulah yang membuat sebuah kesenian dapat langgeng. Barangkali, orkes Srunen juga mengalami nasib yang sama dalam hal ini.
Kendati instrument yang ada telah terdistorsi oleh waktu, namun instrumentasi yang ada dalam orkes srunen dapat dikatakan tetap memuat esensi musikal dari Gamelan Srunen. Esensi musikal itu terletak pada ricikan strukturalnya, yakni: 1) kethuk, 2) kenong, 3) kempul, dan 4) gong yang difungsikan sebagai pembentuk pola tabuhan struktural. Tabuhan struktural ini sering memainkan pola repetetif, dimana pola tersebut masih terawat dalam musikalitas reyog.
Srunen dan Prajurit
Dalam menelisik keberadaan Gamelan Srunen, tentu saja akan bertaut dengan guna serta kisah-kisah yang termuat di dalamnya. Sedangkan, guna dari gamelan Srunen dan orkes Srunen diidentifikasi mempunyai ketertautan. Dalam hal ini, ketertautan itu bersinggungan dengan keprajuritan.
Pradjapangrawit, Padmasusastra, ataupun Warsapradhangga telah sepakat menyatakan bahwa Gamelan Srunen merupakan tetabuhan yang ditujukan dan digunakan oleh para prajurit kerajaan. Secara implisit, orkes Srunen juga mempunyai guna itu. Guna tersebut dapat ditelisik dari cerita tentang reyog Ponorogo.
Cerita ihwal reyog Ponorogo terdapat beberapa versi. Setidaknya, ada dua versi yang populer hingga kini, di antaranya: 1) versi Bantarangin dan 2) versi Suru Kubeng atau Ki Ageng Kutu. Di antara ke dua versi di atas, ada benang merah yang seringkali luput untuk dibaca, yakni tokoh prajurit.
Tokoh Prajurit dalam cerita reyog Ponorogo memang bukan tokoh sentral. Namun, keberadaan para prajurit tidak dapat dilepaskan dari plot cerita. Mereka memberikan nuansa ramai, riuh, serta ingar-bingar. Nuansa tersebut tentu memberikan warna tersendiri dalam sajian. Lantas, apakah tokoh prajurit ini hanya dapat dibaca pada ambang batas peramai saja?
Apabila ditelisik lebih dalam, agaknya peran prajurit tidak hanya sebagai peramai, namun turut melafasi cerita reyog Ponorogo. Hal ini didasarkan pada keterkaitan orkes Srunen sebagai pengiring kesenian reyog dengan Gamelan Srunen serta gunanya sebagai tetabuhan para prajurit. Jangan-jangan, penggunaan orkes Srunen dalam kesenian reyog adalah ejawantah dari guna Gamelan Srunen. Berdasar jejak-jejak yang ada tentang Gamelan Srunen, orkes Srunen, serta guna dari Gamelan Srunen, saya berasumsi bahwa orkes Srunen merupakan jelmaan dari Gamelan Srunen.
Ada empat alasan yang mendasarinya. Pertama, ornamentasi dari orkes Srunen dan Gamelan Srunen yang tidak berubah secara esensi musikalnya. Ke dua, kisah di balik Gamelan Srunen yang bertautan dengan prajurit. Ke tiga, penyebutan orkes Srunen oleh kebanyakan masyarakat Ponorogo. Ke empat, pernyataan yang ada dalam majalah Kejawen edisi 7 Oktober 1931 tentang wujud Gamelan Srunen yang sama dengan pengiring kesenian reyog—orkes Srunen.
Apabila asumsi saya itu benar, maka hari ini kita masih dapat menyaksikan ansambel arkais yang ada di nusantara. Sama halnya dengan gamelan pakurmatan yang masih ada hingga kini. Melalui reyog Ponorogo dan orkes Srunennya, kita masih dapat menyaksikan Gamelan Srunen. Sebuah ansambel gamelan yang telah tersurat sejak ratusan tahun yang lalu.