Dewasa ini, musik dangdut koplo mulai digemari oleh para muda-mudi sebagai genre alternatif dari dangdut-dangdut pendahulunya. Fenomena itu bukan tanpa sebab, melainkan bagaimana sebuah lagu mampu mengafirmasi problematika pemuda hari ini.
Sependek pengetahuan saya, dangdut sebelumnya dipandang sebelah mata oleh generasi 90-2000an. Karena dangdut identik dengan musik orang tua dengan pioner-pioner seperti Rhoma Irama, Meggy Z., Elvi Sukaesih, Rita Sugiarto, untuk menyebut beberapa, sebagai pelopor dangdut Melayu.
Kemudian muncul alternatif dangdut koplo, di mana musik dangdut yang mengedepankan irama gendangnya dan dengan tempo yang lebih cepat. Genre ini lebih banyak digunakan oleh orkes-orkes Jawa Timuran, dan mulai diterima oleh telinga generasi Z.
Perkembangan Dangdut Koplo
Saya tak tahu pasti kapan genre dangdut koplo mulai diperkenalkan. Dulu orkes melayu Pallapa di Jawa Timur masih konsisten mendendangkan dangdut-dangdut melayu sejak 1998. Semenjak berubah nama menjadi New Pallapa pada 2004, terdapat peralihan dari dangdut melayu ke dangdut koplo
Begitu pula dengan orkes-orkes yang lainnya mulai beralih ke genre koplo, seperti Monata yang membesarkan Cak Shodiq, atau Sera yang membesarkan Via Vallen.
Adapun Via Vallen pada saat itu masih meng-cover lagu-lagu populer dengan sentuhan dangdut koplo. Salah satu cover Via Vallen yang paling memorable bagi saya adalah lagu Kesaktianmu yang sebelumnya dibawakan oleh band Winner.
Menjelang dekade 2010-an, muncul alternatif dangdut koplo, seperti jandhut (akronim jaranan dangdhut) yang memadukan instrumen dangdut dengan jaranan. Jandhut dipopulerkan oleh Eny Sagita dengan lagu-lagu Ngamen-nya yang sampai hari ini sudah sebanyak 26 episode.
Pada tahun 2014, mulai populer aliran hiphop dangdut yang dimotori oleh NDX AKA Familia. Seakan NDX kembali menyuarakan lagu-lagu yang enak dijogeti dan berisikan keresahan para pendengarnya, seperti lagu Bojoku Ketikung, Bojoku Disebeh, Bojoku Digondol Bojone, dan yang paling ikonik adalah lagu Sayang.
Selang lima tahun NDX merajai telinga generasi Z, seakan memanggil kembali sosok maestro campursari populer Indonesia yang sempat ditelan zaman, Didi Kempot. Didi Kempot bukan musisi dangdut koplo. Namun karena banyak yang meng-koplo-kan lagu-lagunya, yang mengantarkan generasi Z untuk mengenal karya-karyanya.
Didi Kempot memang sudah lama berkarir di dunia musik. Namun seperti ada angin segar yang kemudian memunculkan kembali sosoknya di generasi Z ini. Bahkan sampai hari ini lagu-lagunya masih dinikmati oleh generasi yang bukan sezamannya.
Adapun Via Vallen juga kembali dalam panggung musik tanah air dengan lagu-lagu barunya. Sebelumnya, Via Vallen masih nyanyi di panggung-panggung rakyat Jawa Timur-an. Sekarang bahkan tak jarang Via Vallen tampil di berbagai stasiun televisi. Bahkan menjadi pelantun lagu official theme song Asian Games pada beberapa tahun lalu.
Selain Via Vallen, juga ada Nella Kharisma dengan lagu populer Konco Mesra dan Jaran Goyang. Ada lagi Happy Asmara, yang ternyata umurnya tidak terpaut jauh dari saya dan tinggal di kota yang sama.
Kemudian menjelang dekade 2020, dangdut koplo kembali bergema dengan lagu-lagu yang lebih kreatif. Ada Deny Caknan dengan Kartonyononya, Ndarboy Genk dengan Balungan Kerenya.
Bahkan juga, dangdut koplo alternatif dalam bentuk band seperti Guyon Waton yang meramal nasib saya dengan Korban Janji atau Aftershine dengan Yowes Modaro. Atau mungkin Mr. Jono Joni dengan dangdut dj remix-nya, serta masih banyak lagi yang lainnya.
Dangdut Koplo Merespon Patah Hati Generasi Z
Puncak kemesraan antara generasi Z dengan dangdut koplo, hemat saya, adalah ketika penikmat dangdut koplo mendefinisikan dirinya sebagai Sobat Ambyar dan menobatkan Didi Kempot sebagai The God Father of Broken Heart.
Sobat Ambyar, jika meminjam bahasanya Guyon Waton, bisa diartikan sebagai golongan orang-orang yang masalah asmoro mung kebagian loro. Dan lagu-lagu Didi Kempot, boleh jadi yang memprakarsai materi-materi lagu dangdut koplo sampai hari ini.
Adapun dangdut koplo masih eksis sampai hari ini bukan tanpa sebab. Melainkan dangdut koplo menjadi genre lagu yang dirasa bisa mengafirmasi kegagalan asmara dari generasi Z.
Tapi bukankah ada genre lain yang menceritakan keadaan serupa?
Jawabnya, iya, memang ada. Bahkan lagu-lagu pop tak sedikit yang mengambil tema-tema patah hati, atau mungkin lagu-lagu yang seringkali dicap ‘indie’ kadang juga mengangkat tema yang demikian.
Tapi mengapa genre lain tidak bisa mengalahkan euforia dangdut koplo?
Mungkin jawabnya adalah dangdut koplo, betapa pun menyerukan lagu patah hati, tapi juga mengajak pendengarnya untuk berjoget. Seakan memberikan space kepada pendengarnya untuk tidak bersedih-sedih amat dalam menghadapi tragisnya asmara.
Maka jangan kaget, jika lagu-lagu patah hati akan lebih enak didengar ketika diberi sentuhan koplo. Seperti lagu Pingal yang dibawakan oleh Ngatmobilung malah kalah saing dengan versinya Guyon Waton. Dan barangkali Wish You Were Here-nya Neck Deep akan lebih diterima masyarakat kita jika dinyanyikan oleh Deny Caknan.
Mungkin banyak genre yang bisa mengafirmasi generasi Z melalui lagu-lagu melankolia-nya. Namun, mereka butuh lebih dari sekadar afirmasi belaka yang tidak ditemui melalui genre-genre tersebut. Sedang dangdut koplo berbeda. Ia bisa mengafirmasi sekaligus dijogeti.
Apakah berjoget bisa menyembuhkan patah hati?
Mungkin tidak. Mereka akan tetap patah hati setelah berjoget, tapi setidaknya ada cara lain untuk menikmati tragisnya asmara.
Dangdut koplo mungkin tidak menawarkan jawaban atas patah hati, apalagi solusi. Tapi ia memberikan alternatif, bahwa patah hati juga patut untuk dirayakan lebih dari sekadar ditangisi.