“Prof Edy memang suka menari. Pernah suatu waktu, ketika kecil, ia menari di atas meja makan. Meja makan ini diambil dari dapur dan dipindahkan ke ruang tengah. Orang tuanya, yang melihat Prof Edy menari di atas meja makan kaget. Sejak itu, orang tuanya yakin, Prof Edy punya bakat menari” Kata Dwi Cahyono pada pembukaan acara Borobudur Writer & Culture Festival (BWCF (21/11)). Sembari mengatakan, ini kali pertama BWCF hadir di Malang, dengan Tema Repatriasi Ganesa sebagai upaya apresiasi pemikiran-pemikiran Edy Sedyawati dalam sejarah kebudayaan Indonesia.
Dalam pencatatan sejarah kebudayaan Indonesia, Edy termasuk akademisi yang tekun, cakap, dan lagi berhati-hati. Keterampilannya menganalisis sejarah, misalnya pernah tercatat dalam disertasinya Pengarcaan gaṇeśa masa Kaḍiri dan Sin̦hasāri: sebuah tinjauan sejarah kesenian. Menulusuri jejak pengarcaan, khusus untuk Ghanesa, Edy perlu meneliti selama 5 tahun mencari jejak optimal antara puing yang berada di Indonesia yang ada di Belanda.
Melalui penelitian itu, Edy menyumbangkan sumbangsih historiografi yang cukup. Sejarah keagamaan, ritus, berikut artefak ia gambarkan dalam lanskap ekspresi kesenian yang ada di masa lampau. Tambahan catatan ini, setidaknya menyisipkan sedikit sempalan kisah masa lalu yang kabur. Imajinasi tentang Nusantara lama, berhasil Edy sumbangkan sebagai aktivitas kesenian, yang mampu diterjemahkan pada hari ini. Dengan demikian, Edy sangat sering menulis kritik-kritik tari, seperti misalnya dalam Majalah Tempo.
Penelitiannya tentang Arca Ganesa, semakin menarik dikaji, setelah Juli lalu Dirjen Kebudayaan mengembalikan 472 artefak yang berasal dari Belanda. 4 di antaranya berasal dari Singosari dan Kadiri, termasuk Arca Ganesha yang ada di sana. Prof Edy, sebagai akademisi yang telaten memerhatikan ini, menguatkan kembali peran kontekstualisasi pengembalian artefak dari Belanda itu.
Berdasarkan catatan Seno Joko, Kurator BWCF, misalnya menyatakan ada sebagian pegiat arkeologis, justru menolak repatriasi ini. Alasannya, ada banyak data dan artefak arkeologi yang tidak terawat di Indonesia. Apakah artefak itu, setelah kembali ke Indonesia akan terawat. Sementara itu, Seno menyitir, “Seperti bagian belakang Museum Nasional yang kebakaran” Katanya melanjutkan masalah perawatan-perawatan situs arkeologi.
BWCF yang hadir di Malang juga memiliki rencana untuk melihat jejak arkeologi, konteks pemikiran Prof Edy secara lebih luas. “Selain itu untuk mengenang Prof Edy yang November lalu telah meninggal” pungkas Seno.