Saya merasa sangat beruntung pernah belajar mengaji di Pondok Pesantren (PP) Nurul Ummah Kota Gede, Yogyakarta. Meskipun mengaji hanya satu tahun, tapi pengalaman selama mengaji sangat luar biasa. Terutama sekali soal cara mengatur waktu. Kesempatan saya menulis saat ini juga karena pelajaran membagi waku saat mengaji itu.
Sebelumnya, saya punya banyak waktu. Nyaris banyak waktu terbuang. Begitu saya mengaji saya “dipaksa” mengatur waktu tersebut. Dulu, setelah pulang sekolah, saya main. Malamnya, setelah ikut belajar Al Qur’an anak-anak di masjid kadang belajar, tetapi lebih banyak tidur di rumah. Kadang saya juga tidur di masjid bersama teman-teman.
Ketika ikut mengaji di Kota Gede, kebiasaan saya itu berubah sangat total. Saya ikut belajar mengaji di PP itu karena saya diterima di IAIN (sekarang Universitas Islam Negeri/UIN) Sunan Kalijaga pada tahun 1989. Tak tanggung-tanggung, Fakultas Syari’ah yang konon bahasa Arabnya sangat sulit. Tapi dengan tekad bulat saya masuk ke perguruan tinggi agama terbesar di Yogyakarta itu dan diterima.
Nah, untuk memperdalam bahasa Arab, maka saya ikut mengaji di PP Nurul Ummah itu. Hasilnya memang lumayan untuk ukuran saya. Semester pertama saya lulus Mata Kuliah Bahasa Arab meskipun dengan nilai C, baru di semester dua saya mendapat nilai D.
Di tempat belajar mengaji, waktu saya benar-benar terkuras untuk mengaji dan belajar. Tidak ada waktu untuk hura-hura. Waktu saya kelihatan begitu sempitnya. Bayangkan bangun tidur setelah Sholat Subuh saya harus mengaji menghafal Al Qur’an beserta artinya. Setelah itu mandi dan sarapan. Selanjutnya, saya harus kuliah sampai siang. Habis Dhuhur saya tidak biasa tidur siang, apalagi dalam keadaan ramai. Sore habis Ashar saya mengaji lagi (tajwid, bahasa Arab, nadhoman). Habis Maghrib tak terkecuali mengaji (waktu itu kitab Irsyadul Ibad, Bulughul Maram). Lalu habis Isya’ juga mengaji lagi (kitab-kitab modern) sampai jam 10 malam.
Habis jam 10 malam biasanya saya belajar. Baik untuk mengejar ketidaktahuan bahasa Arab saya atau saya belajar untuk persiapan tes masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN), bernama Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Saya jarang melihat TV. Waktu saya habiskan untuk belajar. Bahkan saya sering tidur di masjid dekat PP (Al Misbah) atau di masjid besar sebelah selatan pasar Kota Gede. Bukan untuk apa-apa. Saya hanya ingin mencari kesunyian saja. Pagi harus pulang sebelum Shubuh untuk Sholat berjamaah. Begitu rutinitas yang saya alami sehari-hari.
Pertama kali saya ikut mengaji di PP tersebut tiba-tiba sakit. Mungkin kepala dan badan saya kaget dengan perubahan pola aktivitas tersebut. Saya mula-mula takut. Jangan-jangan saya sakit terus-menerus. Ternyata tidak. Saya makin terbiasa. Bahkan saya segar dan sehat selalu. Kalau di bis kota saya biasa tidur. Bukan saya sengaja tidur, tetapi memang tak sengaja tertidur. Mungkin karena jam tidur saya kurang.
Setelah saya meninggalkan PP itu untuk ke Solo karena diterima di kampus Universitas Sebelas Maret (UNS), saya bingung. Saya biasa sibuk dari bangun tidur sampai tidur lagi. Saya banyak menganggur. Bahkan banyak tidur. Habis Shubuh tidur, siang tidur, kadang malam begadang.
Saya, lama kelamaan bosan juga. Maka saya memaksakan diri mencari kesibukan. Agar waktu saya tak terbuang sia-sia. Maka, saya diam-diam membaca di kamar, di perpustakaan, dan dimana saja. Saya ingin tahu banyak pengetahuan saja. Tak lebih target saya seperti itu.
Baru setelah tulisan saya dimuat di Jawa Pos pertama kali (1991), aktivitas saya berubah total. Saya pun punya target. Saya harus bisa menjadi penulis terkenal. Berbagai cara saya lakukan, termasuk mengurangi tidur. Tidak masalah. Sebab, saya telah membuktikannya ketika belajar mengaji di Yogya. Bahkan saya jarang sakit. Tak akan sakit dengan alasan kurang tidur. Pokoknya bisa tidur nyenyak 6 jam, sudah cukup. Jadi sebenarnya, tidur yang kita lakukan bukan tidur, tetapi istirahat.
Hal demikian sesuai apa yang pernah dikatakan Daniel W. Josselyn dalam bukunya Why Be Tired, “Istirahat bukan berarti tidak mengerjakan sesuatu sama sekali. Tapi, ia memperbaiki”. Dalam waktu istirahat itu kekuatan pikiran dan badan diperbaiki serta disegarkan kembali.
Tanpa sadar, ternyata saya pernah diajari Allahuyarham KH Azhari Marzuki (pengasuh PP Nurul Ummah) bagaimana cara mengatur waktu. Bahkan saya ingat pepatah Arab, “Waktu itu ibarat pedang. Tanpa kita bisa menggunakannya, kita sendiri yang akan direnggutnya”. Sungguh, kata-kata itu sangat terngiang terus dalam pikiran saya. Saya pun tidak percaya pada teman-teman yang aktivis kalau tidak punya waktu untuk belajar. Nyatanya, mereka justru lebih banyak tidur saja.
Saya tidak takut untuk mengurangi tidur. Bahkan saya ingat kata-kata kiai Imam Nashiruddin, “Tak ada cara lain untuk menghasilkan ilmu, kecuali mengurangi tidur”. Kata-kata ini pun terus terngiang dalam pikiran saya. Dan saya berusaha untuk mengamalkannya. Dampaknya, saya bisa menggeluti dunia menulis. Salah satunya dengan mengurangi tidur dan menggunakannya waktu luang itu untuk mencapai target menulis. Dengan kata lain, jika pola istirahat kita teratur dan ajeg (rutin), maka akan bisa menghasilkan sesuatu yang lebih berguna.
Saya tidak membayangkan, seandainya saya tak pernah belajar mengaji di Kota Gede. Pelajaran yang bisa saya petik adalah saya harus pandai-pandai memanfaatkan dan mengatur waktu untuk mencapai target yang saya cita-citakan sejak awal, yakni menulis. Ternyata, di pesantren saya tidak hanya mendapat pelajaran mengaji, tetapi pelajaran lain tentang mengatur waktu, tanpa pernah saya sadari sebelumnya. Terima kasih pak kiai. Semoga nasihat dan suri teladanmu bisa menjadi amal jariyah selamanya. Allahummaghfirlahu.