Aku adalah arus yang mengalir, saksi bisu dari segala yang jatuh ke dalam pelukanku. Aku adalah sungai yang menyimpan cerita lebih tua dari manusia yang berdiri di tepinya. Namaku tak pernah disebut, tapi kehadiranku terasa di tiap gemericik yang berbisik, di tiap gelombang kecil yang menggigil dalam cahaya bulan. Aku adalah rumah dari yang mereka sebut sebagai Antu Banyu.
Di bawah permukaanku, ada sesuatu yang tak pernah benar-benar hilang. Sejarah, nyawa, bisikan yang tenggelam dan tak pernah muncul lagi ke udara. Antu Banyu adalah nama yang diberikan manusia pada suara-suara sunyi yang bersembunyi dalam aliran air. Mereka bilang, ia adalah roh penasaran dari mereka yang meregang nyawa di pelukanku. Tapi aku tahu lebih dari itu. Aku tahu bahwa Antu Banyu bukan sekadar hantu, ia adalah warisan peringatan, penunggu yang setia menjaga batas antara hidup dan mati.
Aku memulai perjalanan ini dengan skeptisisme. Antu Banyu, sosok hantu air dari Palembang, hanyalah satu dari sekian banyak mitos yang menakut-nakuti anak-anak agar tidak bermain di sungai. Itulah pikiranku sebelum aku melangkahkan kaki di tepian Sungai Musi, tempat di mana kisah-kisah tentangnya masih hidup dalam benak masyarakat Melayu Palembang.
Kisah yang Tenggelam
Mitos Antu Banyu berakar pada kepercayaan animisme dan dinamisme yang dahulu sangat kental di Palembang. Roh ini diyakini berasal dari arwah penasaran orang yang meninggal tenggelam. Seperti banyak mitos lainnya, legenda ini juga menjadi alat kontrol sosial, sebuah cara agar masyarakat lebih berhati-hati di sekitar air. Tetapi semakin aku berbincang dengan warga setempat, semakin aku menyadari bahwa kisah Antu Banyu lebih dari sekadar cerita horor yang diwariskan.
Mereka yang berbicara tentang Antu Banyu seringkali memulai dengan kisah seorang anak yang bermain terlalu jauh, atau nelayan yang tak kembali dari perjalanan. Mereka bilang hantu ini berwujud seperti manusia, pucat dan bermata merah, dengan rambut panjang yang melayang di antara gelombang. Tapi itu hanyalah bayangan ketakutan manusia.
Antu Banyu adalah penjelmaan dari yang ditinggalkan. Ia adalah mereka yang jatuh tanpa perpisahan, mereka yang dijemput sebelum waktunya. Di dalam tubuh airku, aku menyimpan ingatan mereka dalam riak-riak kecil yang tak pernah diam. Mereka memanggil, bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk diingat. Karena di dunia manusia, mereka yang tak terlihat sering kali juga yang paling mudah dilupakan.
Aku ingat seorang lelaki tua yang duduk di tepian, bercerita pada cucunya tentang Antu Banyu. “Jangan berenang saat air keruh,” katanya, “Karena Antu Banyu akan menarikmu.” Cucu itu, dengan mata lebar dan napas yang tertahan, menggenggam tangan kakeknya lebih erat. Tapi lelaki tua itu tak takut, karena ia tahu cerita ini bukan hanya tentang ketakutan. Ini adalah cara manusia melindungi diri mereka sendiri.
Antu Banyu bukan sekadar hantu; ia adalah pesan. Ia adalah mitos yang lahir dari keinginan manusia untuk memahami bahaya yang tak terlihat. Ia adalah pengingat bahwa air bisa menjadi ibu yang menenangkan, tapi juga bisa menjadi tangan yang tak melepaskan.
Dari Cerita ke Kenyataan: Fenomena Alam atau Gangguan Gaib?
Aku tak ingin terburu-buru menyimpulkan bahwa Antu Banyu itu nyata. Namun, ada fenomena yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Misalnya, sungai yang tampak tenang tetapi tiba-tiba menciptakan pusaran air yang kuat, menelan siapa pun yang berada di dekatnya. Bisa jadi, inilah yang melahirkan legenda tentang roh yang menyeret manusia ke dalam air.
Sejarawan Universitas Sriwijaya, Dedi Irwanto menjelaskan bahwa ada kepercayaan yang beredar luas di masyarakat Palembang mengenai sosok hantu yang satu ini. Konon makhluk ini merupakan arwah dari korban yang tenggelam di sungai, sengaja terjun maupun yang tidak sengaja jatuh.
Antu Banyu dan Kehidupan yang Terus Mengalir
Di sepanjang aliranku, aku melihat banyak hal. Aku melihat bagaimana manusia bergantung padaku untuk kehidupan mereka, mencuci, mencari ikan, bahkan berbicara pada air dengan suara pelan seolah takut membangunkan sesuatu. Aku juga melihat bagaimana mereka kadang lupa. Lupa bahwa air bukan hanya sumber kehidupan, tapi juga kuburan bagi yang tidak hati-hati.
Masyarakat Palembang, memahami ini lebih baik dari kebanyakan orang. Mereka membentuk aturan tak tertulis, pantangan yang diwariskan melalui cerita, melalui kisah Antu Banyu. Bagi mereka, mitos ini bukan hanya tentang makhluk gaib yang mengintai di bawah permukaan, tetapi juga tentang keseimbangan. Antu Banyu ada bukan hanya untuk menakut-nakuti, tetapi untuk menjaga.
Aku mengamati bagaimana mereka masih memberi sesaji ke air, seolah berbicara denganku, meminta izin sebelum mencelupkan tubuh mereka. Mereka yang tua akan memberi nasihat pada yang muda, “Jangan sebut namanya sembarangan,” kata mereka, “Karena ia mendengar, dan mungkin ia menjawab.” Aku tahu mereka tak selalu percaya, tapi tetap melakukannya, karena mitos lebih dari sekadar kepercayaan; ia adalah bagian dari siapa mereka.
Hantu di Zaman Modern
Dunia di sekelilingku berubah. Aku melihat kota-kota tumbuh di tepianku, melihat lampu-lampu menggantikan bintang-bintang yang dulu bersinar di permukaanku. Tapi Antu Banyu? Ia masih ada. Hanya saja, ia kini lebih sulit ditemukan dalam bisikan manusia.
Kini, anak-anak tak lagi takut bermain air hingga senja, karena mereka lebih percaya pada sains daripada cerita lama. Orang-orang tak lagi berbicara pada sungai sebelum mengambil air, karena mereka lebih percaya pada pipa-pipa yang membawa air ke rumah mereka. Tapi aku masih di sini, dan begitu juga Antu Banyu.
Mereka yang menyebutnya tak ada, lupa bahwa ia tak harus terlihat untuk berwujud. Lupa bahwa ia mungkin bukan lagi roh penasaran, tetapi hadir dalam bentuk yang lain: dalam pencemaran air, dalam ekosistem yang rusak, dalam sungai yang tak lagi bisa menjadi rumah. Jika dulu ia menarik manusia ke dalam air, mungkin kini ia menarik perhatian pada bagaimana sungai-sungai seperti aku perlahan mati.
Aku bertanya-tanya, apakah mereka akan mulai mendengarkan lagi? Apakah mereka akan menyadari bahwa mitos ini bukan hanya tentang sesuatu yang ada di masa lalu, tetapi juga peringatan bagi masa depan? Bahwa mungkin, Antu Banyu tak pernah benar-benar pergi, ia hanya menunggu untuk diingat kembali.
Ketakutan yang Menyelamatkan
Namun, di balik semua ini, aku mulai melihat mitos Antu Banyu sebagai sesuatu yang lebih dalam. Ia bukan sekadar cerita seram yang diwariskan turun-temurun, tetapi juga bentuk kearifan lokal yang menjaga keselamatan masyarakat. Ketakutan terhadap Antu Banyu mencegah anak-anak bermain di sungai saat senja, waktu di mana risiko tenggelam lebih tinggi.
Mitos ini juga berfungsi sebagai pengingat bagi kita untuk menghormati alam. Sungai bukan hanya sumber kehidupan, tetapi juga tempat yang harus dijaga dan dihormati. Polusi, perusakan ekosistem, dan eksploitasi berlebihan adalah gangguan nyata yang bisa “membangunkan” murka alam, yang dalam kepercayaan masyarakat Banjar bisa diwujudkan dalam sosok Antu Banyu.
Malam yang Mengubah Segalanya
Sebagai seorang skeptis, aku ingin merasakan langsung atmosfer di sungai tempat banyak kisah Antu Banyu berasal. Dengan ditemani beberapa warga setempat, aku naik perahu dan menyusuri Sungai Musi saat malam mulai turun.
Semua berjalan biasa saja sampai kami melewati tikungan sungai yang konon menjadi “rumah” Antu Banyu. Udara mendadak berubah lebih dingin. Air yang tadinya tenang mulai beriak, meskipun tak ada angin yang bertiup. Dalam gelap, aku melihat sesuatu di permukaan air—sebuah bayangan berambut panjang yang tampak seperti mengamatiku.
Aku terdiam. Akal sehatku ingin menganggapnya hanya permainan cahaya, refleksi dari bulan yang bersembunyi di balik awan. Tetapi perasaan di hatiku mengatakan lain. Jantungku berdegup kencang, bukan karena ketakutan, tetapi karena kesadaran bahwa tidak semua hal bisa dijelaskan dengan logika.
Saat perahu kami menjauh, bayangan itu perlahan menghilang ke dalam air. Salah seorang warga berbisik kepadaku, “Kau sudah melihatnya, kan? Sekarang kau tahu kenapa kami menghormati sungai ini.”
Penutup: Antu Banyu adalah Kita
Perjalanan ini mengubah cara pandangku. Mungkin Antu Banyu bukan hanya tentang roh penasaran yang mengintai di sungai. Mungkin ia adalah perwujudan dari sesuatu yang lebih besar—alam yang ingin dihormati, peringatan untuk kita agar lebih berhati-hati, atau bahkan manifestasi dari ketakutan kolektif yang diwariskan selama berabad-abad.
Pada akhirnya, aku kembali dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Tetapi satu hal yang pasti: ada batas tipis antara mitos dan kenyataan. Dan terkadang, di tepian sungai yang sepi, batas itu bisa menghilang seketika.
Aku akan terus mengalir, seperti waktu, seperti kenangan yang tak pernah hilang. Dan di dalam tubuhku, Antu Banyu akan tetap ada, sebagai bagian dari cerita yang tak pernah benar-benar selesai. Karena selama manusia masih berjalan di tepian ku, selama mereka masih tenggelam dalam pikirannya sendiri, mitos ini akan selalu menemukan cara untuk kembali.
Dan mungkin, pada suatu malam, ketika bulan terpantul di permukaanku, seseorang akan mendengar bisikan dari air yang tenang, mengingat cerita yang pernah diceritakan kakeknya, dan berkata dengan suara pelan,
“Antu Banyu, kau masih di sana, bukan?”
Dan aku, sang sungai, akan menjawab dengan gemericik yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang masih mau mendengar.