Teringat oleh semboyan ‘nelangsa riang’ ala Banda Neira, Bagus Dwi Danto dan petikan gitarnya menyihir ruang dengar. Mengawali geliat musik di negeri kecil bernama Bantul, project tunggal bernama Sisir Tanah akhirnya merilis album setelah 7 tahun mengepakkan sayap. Pertemuan saya dengan Sisir Tanah terjadi secara tidak sengaja. Akibat algoritma spotify dan eksplorasi kecil kecilan terhadap skena musik Jogja, maka “Lagu Wajib” datang menghampiri telinga saya dengan amat sopan dan bersahaja.
Rasa penasaran mencuat, kejanggalan nama panggung Sisir Tanah rupanya memiliki penjelasan makna. Secara literal, sisir tanah berarti perkakas pertanian. Saya rasa Bagus Dwi Danto memilih gabungan diksi itu sebagai ideologi bermusik. Sebagaimana ibu pertiwi konon merupakan negeri agraris. Nuansa folk dari petikan gitar dan warna suara vokalnya menjalin pertautan dengan nama project yang diusung. Layaknya kesederhanaan bebunyian dari lanskap agraris desa yang bermigrasi ke penjuru kota.
Lagu Wajib, sebuah titel repertoar dari album perdana berjudul “Woh” yang artinya buah, membuat saya terkoneksi dengan Ananda Badudu dan Rara Sekar, duo Banda Neira yang tersohor karena lagu “Yang Patah Tumbuh”. Nelangsa riang turut menggaung di tubuh project Sisir Tanah ala Bagus Dwi Danto. Gema melankoli Lagu Wajib mengalun lembut, memberi isyarat nestapa namun riang dan sama sekali tidak putus asa. Cuplikan lirik “yang wajib dari hujan adalah basah” lantas menjelma sebagai pembuka bait yang istimewa. Seperti pesan semiotik, sang penulis lirik meramu kalimat yang konotatif, melalui hujan basah sebagai penanda akan hal-hal yang tak terelakan dari sebuah kejadian.
Tidak berpromosi dan hanya bermodalkan unggahan karya demi karya di platform soundcloud sejak tahun 2010, Bagus Dwi Danto termasuk figur musisi yang menabrak pakem kala itu. Ia menaruh lagu lagu ciptaan di soundcloud tanpa harapan bahwa itu akan melejit atau bahkan menjadi sebuah album. Waktu berselang hingga di tahun 2017. Yayasan Kajian Musik Laras Jogja bersedia menaungi penggarapan album perdana. Proses produksi melibatkan kolektif musisi di Yogyakarta. Bagus merekam ulang kumpulan lagunya dengan segenap sentuhan baru dan pelibatan ide-ide musikal dari para musisi di sekelilingnya.
Di pertengahan lagu, sang vokalis berucap “Yang wajib dari kita adalah cinta” berlanjut dengan “Yang wajib dari cinta adalah rasa”, dengan maksud merelasikan sejumlah hal yang bermula dari hujan, menghadirkan kausalitas dari satu diksi menuju diksi lain dalam balutan tiap baitnya.
Lirik “Yang tak wajib dari rasa adalah luka” jelang akhir repertoar mengalami pengulangan. Frasa “Adalah Luka” berkali-kali terucap sebagai sebuah penegasan yang literal, dimediasi dengan bunyi iringan musik yang mengaksentuasi pilunya suasana.
Tidak hanya berkolaborasi dengan sejumlah pelaku musik, project tunggal Sisir Tanah juga menyuguhkan variasi timbre instrumen. Panca indera saya tidak pernah berkhianat dan menyadari dengan baik tiap laju detik maupun menitnya. Dengung cello di penghujung repertoar Lagu Wajib seolah menjadi penutup elegi sekaligus puncak keindahan. Dalam nada-nada yang berbunyi, para pendengar seperti diselamatkan dari kesedihan, menyambut hidup nelangsa dengan ketabahan.
Justitias sang pemain cello berhasil mempersembahkan epilog sempurna untuk Lagu Wajib, menaruh seluruh jiwa dan menjadikan repertoar itu bagai resital miliknya sendiri. Apabila saya boleh menambah bait atau lirik, maka saya akan menulis “Yang wajib dari indah adalah cello” dan “Yang wajib dari cello adalah surga”.Terbayang Lagu Wajib yang menerobos jendela bagaikan cahaya sinar yang masuk dimediasi alunan lembut cello setelah terpaan hujan lebat. Lagu Wajib mengemuka bersama mereka sang pemuja hujan dan penikmat elegi.
Sisir Tanah dengan Album “Woh” bagi saya telah diturunkan ke bumi untuk menyapa penyuka folk dan para manusia yang akrab dengan nestapa, sekaligus merayakannya dengan tabah dan sukacita.
Link Youtube: