militer dan demokrasi

Pada masa lalu, masa-masa itu, saat Kerajaan Majapahit masih Jaya, dengan lugu dan decak kagum, kita mendengar guru bercerita. Nusantara dulu itu jaya, bahkan kita berkuasa sampai Burma. Kenapa bisa Jaya, ibu? Karena Sumpah Palapa. Mulai saat itu, kita terampil bermain sambil membayangkan kapal berlayar di luas lautan Indonesia, sembari bermimpi kelak dewasa kita akan berubah menjadi Gajah Mada. Patih dan Ksatria yang enggan memakan buah Meja sebelum Nusantara bersatu.

Dengan dongeng itu, kita mengerti bahwa dalam Negara ini, masih akan menyimpan sosok penerus Gajah Mada. Sang pembawa kejayaan Nusantara. Seorang Ksatria. Karena dongeng itu pula, kita yakin, Negara hanya bisa Jaya di bawah para panji Ksatria. Maka beruntunglah mereka, orang tua yang melahirkan Ksatria di masa itu. Karena anaknya, kelak akan berguna bagi bangsa dan negara.  Membawa kesejahteraan dan keadilan. Seperti Ratu Adil dan Imam Mahdi dalam kisah leluhur kita.

Dunia pasti berubah, mengikuti kemana arah angin bergerak. Blowin in The Wind. Lalu kita melihat, raja-raja telah lewat, setelah perang dunia dan koloni Eropa datang ke Indonesia. Antara Ksatria, Raja dan Kaum Sudra lebur dalam satu suara. Merdeka, kami adalah rakyat Indonesia. Lalu lahir generasi baru, mereka adalah, orang yang yakin, bahwa Bangsa ini, Indonesia, harus membentuk negara. Negara yang dimaksud bukan “Nagari Majapahit “ tetapi Negara-Bangsa (Nation-State) dari Eropa.

Pada tahun 45, maka kita mengenal Soekarno, sebagai sosok pemimpin negara. Apalah itu sebutannya, Presiden. Misinya hampir serupa dengan Majapahit lama menyatukan Nusantara. Tetapi Soekarno bukan Ksatria, katanya ia adalah Pemimpin Besar Revolusi. Yang menjelang tampuk kekuasaannya runtuh, ia dikudeta, akibat misinya menjadi presiden sepanjang hidup.

Militer Dalam Demokrasi Dalam Pandangan Letnan Agus Widjojo

Indonesia sebagai bangsa kini, telah berjalan hampir 80 tahun dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Tetapi imajinasi masa lalu, tentang raja, kereta kencana, dan ceritera Ksatria tetap menyusup ke dalam aktivitas masyarakat sebagai warga negara. Persis yang terjadi dalam Golongan Militer di Indonesia. Sebagai seorang Intelektual, Agus Widjojo menyebut kasus ini, konflik sosial dalam tubuh Militer akibat sentimen primordial.

Sentimen primordial, adalah konflik dalam politik yang disebabkan oleh ikatan lampau. Seperti misalnya, menurut Agus Widjojo, komposisi pasukan dalam  Militer, pernah terjadi pada masa awal kemerdekaan karena sentimen Jawa-Sunda yang musykil bersatu. Ada pandangan naif, bawa konflik ini terjadi akibat Perang Bubat. Karena hal inilah, Militer sebagai lembaga dalam Negara Demokrasi, beberapa kali terpecah dalam banyak faksi karena hal ini. Kasus lainnya adalah Gerakan Aceh Merdeka, atau DI/TII misalnya.

Sementara itu, Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang lahir akibat adanya arus kesadaran Negara-Bangsa dari Eropa.  Dalam tradisi Negara-Bangsa, Militer adalah Militer. Ia bukan Ksatria seperti dalam gambar sosial kerajaan. Militer adalah penjaga keamanan teritori, yang berada dalam kekuasaan masyarakat (sipil). Segala kebijakan publik, yang lahir dalam kehidupan sosial masyarakat ditentukan oleh politikus sipil, bukan Ksatria, Raja, dan unsur struktur sosial lain dalam kerajaan.

Tetapi, mampukah, atau tepatkah argumen tersebut dalam kondisi bernegara hari ini? Mengapa misalkan, seorang Cakrabirawa yang mengaku sebagai Paspampres mampu membunuh seorang Jenderal? Atau bagaimana, misalkan menanggapi kasus Jenderal membunuh anak buah? Sementara kasus ini lazim ditemui dalam kehidupan bernegara hari ini. Jika memang Golongan Militer adalah Golongan Ksatria pada masa lampau, tepatkah itu?

militer dan demokrasi

Misalkan, misal, kita kembali pada masa kerajaan, apakah kita akan menemui pembantaian rakyat yang dilakukan rajanya sendiri? Jika tidak, mengapa pada masa kini, pernah terjadi genosida yang dilakukan Ksatria itu pada rakyatnya dalam era 65? Apakah hal itu merupakan keniscayaan?

Dengan cara itu, Sidratata Mukhtar menulis tentang perubahan konflik dalam tubuh Militer, dan menyusun kembali pemikiran tentang batas jelas antara Militer dan Ksatria, serta perbedaannya dalam tradisi Negara-Bangsa yang demokratis? Buku ini mengurai perjalan panjang perubahan kebijakan-kebijakan dalam tubuh Militer dengan padat dan mudah diterima untuk pembaca yang belum memahami banyak tentang Politik dan Militerisme.

Buku ini juga mampu menjelaskan, aktivis politik dan kebijakan yang lahir dari Rezim hari ini. Seperti halnya 7 Jendral, Pengusaha, dan Politisi sipil yang ada. Kita akan melewati panjang konflik Intelektual yang dilakukan Sang Jenderal Reformis, yang mengubah lembaga Militer sebagai lembaga Profesional Letnan Agus Widjojo. Dan membuat kita bertanya, apakah Militer adalah Ksatria atau Pembunuh Bersenjata Bermata Dua?

Dapatkan bukunya dengan klik di sini!


Buku: Militer Dan Demokrasi
Penulis: Sidratata Mukhtar
Penerbit : Intrans Publishing
Tahun Terbit : 2017
Jumlah halaman: XVI + 158

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here