Duo Maestro itu memang sudah hilang. Sebagian karya, baik milik Usmar Ismail dan atau Bachtiar Siagian telah lalu. Generasi baru mulai muncul, generasi yang bukan melulu mengacu pada takaran nilai dalam sebuah film. Generasi yang sempat mengalami perang, kendati barangkali peristiwa perang mereka simpan rapat-rapat dalam bawah sadar mereka, dan mulai membuka pandangan baru tentang hidup. Menyebut nama Misbach Yusa Biran, terasa sangat penting dalam hal mempelajari sejarah film di Indonensia. Seorang anak dari Bapak berdarah Minang yang pergi ke Rangkasbitung untuk kepentingan Gerilya, mencintai penduduk bumi Saidjah & Adinda lantas menikah di sana. Dari Bapaknya, Misbach belajar banyak hal mengenai nilai-nilai seorang Patriot yang kecewa – bapaknya dibuang ke Digul bagian Hulu, seandainya Misbach tidak terlibat dalam menyusun arsipasi film Nasional barangkali nama sang Ayah redup. Ibunya, Yumenah pun seorang keturunan tokoh pergerakan di Banten.
Jikalau ingin melihat seorang lulusan Taman Siswa Ki Hajar yang cakap dalam menulis, Misbach adalah salah satunya, Semasa SMA, ia mengikuti program Taman Madya = setingkat dengan Sekolah Menengah Atas – yang sebagian besar aktivitasnya dipenuhi dengan kreatifitas. Dengan kurikulum demikian, lulusan Taman Madya bukanlah seorang teknorat yang mengikuti arus semangat pembangunan Ekonomi Nasional. Sebagian lulusan dari sekolah ini, justru mewarnai Indonesia dengan corak kerja lain. Kerja seorang Pengarang, Seniman dan Penulis. Dari tangan Misbach inilah skenario dan film lahir dengan tema yang keluar dari kerangka perjuangan. Di dua skenario film yang scara orisinil disutradarainya pula, ia menulis tentang kisah Ayahnya, dalam karya Ayahku (1987) dan masa yang telah lalu dalam naskah Menyusuri Djedjak Berdara (1967). Adapun filmnya yang mentereng dan memperoleh Piala Citra pada tahun 1967 adalah Di Balik Tjahaja Gemerlapan (1966).
Misbach dalam estetika film memang tidak sebegitu kentara partisipasinya, dibandingkan film-film yang diangkat oleh Usmar Ismail dan Bachtiar Siagian. Akan tetapi, orang yang menganggap bahwa Sinematek (arsip film) itu merupakan gambaran sebuah sejarah ini, berperan penting dalam hal mengelola arsip-arsip perfilman Nasional. Peranan penting Misbach antara lain adalah menjelaskan secara umum dan sederhana dalam bukunya yang berjudul Sejarah Film 1900 – 1950 , yang turut serta menjadi salah satu arsip tulisan pertama yang mengulas tentang Loetoeng Kasaroeng (1926s). Mendudukkan Misbach yang seolah sudah terlepas dari nilai juang masa lalu, lepas dari perdebatan Revolusi dan Kontra-Revolusi sebagaimana yang terjadi dalam dunia sastra, seperti melihat dunia film itu sendiri. Dunia film, Bagi Misbach adalah batas tipis antara real life dan riil life.
Sebagaimana Misbach, yang lahir pada masa generasi pasca Bachtiar Siagian – sebagai tolok ukur, Piala Citra lebih dulu diperoleh oleh Bachtiar satu tahun sebelum Misbach menerimanya – ia adalah seorang yang tekun melihat film. Kehormatan piala citra, lepas dari muatan nilai dan estetika yang diusung dalam film Di Balik Tjahaja Gemerlapan (1966), Misbach agaknya layak atas dasar peran dia sebagai pengaarsip handal. Dengan cara itu pula, Piala Citra yang pada akhirnya pada tahun 1971 mandatnya diberikan pada Yayasan Film Indonesia (YFI) mudah melacak Sejarah Piala Citra itu sendiri. Umumnya, orang mengenal Piala Citra, sebagaimana lagu yang diadopsi dalam festival ini, adalah hasil adopsi daripada karya Puisi dan Film yang digarap oleh Usmar Ismail yang berjudul Tjitra.
Mulailah pelan-pelan, dunia film adalah dunia yang terpisah dari gerak harian masyarakat. Bahkan jikalau film mampu menerjemahkan gerak kehidupan masyarakat, maka naskahlah yang menangkapnya. Film menjadi medan untuk merekam gerak kehidupan Masyarakat Indonesia yang jaraknya, sebagaimana Misbach nyatakan tipis membedakan antara kehidupan film dan dunia nyata. Dari sana Piala Citra, melalui Festival Film Indonesia mulai menegaskan eksistensinya sebagai panggung dan sekaligus cermin bagi masyarakat Indonesia.
Bagaimana nasib Perfilman Indonesia, tatkala dunia film sudah menegaskan diri sebagai “dunia panggung dan cermin”, sementara aktivitas politik terus menerus hadir dalam nuansa penuh negosiasi. Maksudnya, apakah Nasionalisme sebagai Nilai, dan Negara sebagai Instrumen dengan adnaya penegasan posisi eksistensi dunia film menjadi dua aras kepentingan yang bertalian dan mampu berjalan kelindan. Sementara dalam proses suksesi transisi dari Orde Baru menuju Orde Lama saja amatlah kontroversi, dan bagi penulis sendiri, seperti contoh kasus Supersemar justru lebih Filmis ketimbang dunia film itu sendiri.
Jikalau semula proses negosiasi Negara Yang Berbudaya begitu diperhatikan oleh Soekarno, dan masing-masing nilai yang diusung oleh kelompok politik dan keseniannya bisa berdialog, agaknya pada masa ketika Orde Baru mulai tumbuh dan mulai melakukan intervensi terhadap Sutradara rasanya pemaksaan Nasionalisme itu jauh lebih ketat dibanding pada masa Orde Lama. Pasalnya terjadi pada kasus film G 30 September yang sarat dengan nuansa propaganda yang ingin menyusun kebenaran tunggal pada suatu sejarah. Arifin C Noor, sebagai Sutradara pesanan, yang kebetulan memiliki haluan poros politik yang berbeda dengan kaum kiri seperti PKI menerima tawaran Departemen Penerangan agar bisa membuat film dramatis berlatar sejarah versi rezim. Pada akhirnya, film ini seolah jauh lebih baik dibandingkan Doa dan Darah, yang saban tahun ditonton di tiap pelosok desa sebagai perayaan harian, film ini bagus, film ini akan menjelaskan mengapa anda perlu menolak PKI. Adalah penting menjelaskan ini, karena barangkali kita akan mampu membaca film-film yang mengusung Nilai Nasionalisme setelah masa pembentukan film ini, cenderung terus menerus menerjemahkan film-film cinta yang romantis antar dua individu, bukan narasi implisit yang ingin menyatakan Cinta pada Tanah Air.