“Siap, Abang!” pekikan penuh kepatuhan dan keyakinan terlontar dari mulut Haqi.
Sambungan telepon yang baru saja berlangsung ia tutup. Kopi yang ia minum dari dalam cangkir kaca itu masih penuh. Ia memandangi sekelilingnya sebelum akhirnya sosok pria di sampingnya bertanya, “Jadi beneran mau double degree?” Firman, sosok berkulit gelap yang sedang menggenggam gelas berisi es teh itu melihat ke arah Haqi dengan penuh penasaran.
Hagi terkesan dan memberi jawaban untuk menghargai orang asing itu. “Iya, mumpung ada yang mau bantu,” katanya.
“Siapa, memang?” Si Orang asing tanya lagi.
“Orang yang aku telepon tadi. Dia minta aku segera mengisi formulir pendaftaran Partai Ungu Kedamaian biar bantuannya segera cair. Lumayan, kuliah S-1 nggak bayar sama sekali.”
“Terus, dia minta apa ke kamu?”
“Bantu-bantu bagi kaos aja. Sama datang angkat-angkat peralatan panggung waktu kampanye. Coblosan kan, sudah tahun depan.”
Mendengar jawaban Haqi, Firman mengingat-ingat awal mula keduanya bisa mengenal satu sama lain.
Organisasi Mahasiswa Islam (OMI). Wadah itulah yang membuat Firman dan Haqi mengenal satu sama lain. Salah satu organisasi mahasiswa di tingkat nasional yang memiliki berbagai cabang di daerah. Salah satu cabangnya ada di Kota Lampau. Kota tempat Firman dibesarkan dan kini ia mengenyam pendidikan tinggi di kota yang sama.
Awalnya, Firman tidak begitu tertarik bergabung dengan organisasi itu. Namun, ketertarikannya pada dunia politik membuatnya penasaran dan akhirnya ia mendaftarkan dirinya sebagai kader.
Tak terasa, sudah hampir 4 tahun dia aktif di sana dan kini ijazah sarjana sudah hampir digenggamnya.
“Kamu nggak tertarik buat ikut cari beasiswa juga, Man?” pertanyaan Haqi membuyarkan lamunan Firman.
“Masih belum, Qi. Aku fokus ke S-1 ku yang ini dulu. Aku juga mau ngembangin usaha yang sudah aku rintis. Sayang kalau aku nggak bisa maksimal,” Haqi mengangguk saat mendengar jawaban Firman.
Jauh dalam lubuk hatinya, Firman menyimpan alasan lain. Dia tak ingin terjebak pada partai politik dan akhirnya menjadi “budak senior” jika mengutip pada istilah yang dipakai teman-teman organisasinya. Suatu keadaan yang seolah sudah menjadi lumrah di banyak kawan-kawannya.
Hari menjelang sore. Haqi pamit untuk melanjutkan perjalanan. “Mau cetak banner. Besok pagi aku juga sudah harus menancapkan hasilnya di beberapa pohon yang sudah dipetakan,” ucap Haqi sambil menyalami Firman.
Beberapa menit setelah Haqi pergi, muncul seorang lelaki tua dengan pakaian lusuh. Pria itu memesan es teh dan duduk perlahan seraya mengambil dompet dari sakunya. Tampak selembar uang Rp10 ribu.
“Duh, Gusti. Mugi Pak Joyo kaliyan Pak Lahat diparingi azab, putunipun dados admin judi bola, ketagihan tembakau Gorilla terus dipidana, aaamiin” ungkap lelaki tua itu sembari berkaca-kaca. Kebetulan, dua nama orang yang ada dalam doa pria berpakaian lusuh itu adalah orang yang punya andil besar dalam masalah-masalah yang ada di negaranya.
Firman ikut mengamini doa itu meskipun dalam agamanya, manusia tidak diperkenankan mendoakan yang buruk. Firman mengamininya karena informasi yang beredar di media massa mengenai melambungnya harga bahan pokok dan meningkatnya harga Bahan bakar Minyak (BBM). Suatu kondisi yang membuat banyak orang merasa terzalimi dan sesuai dengan pemahaman Firman dalam agamanya, orang yang dizalimi doanya pasti terkabul.
Merasa terketuk hatinya, Firman lantas menyeletuk, “Nggak sekalian mendoakan Bu Lisa juga, Pak? Kemungkinan subsidi BBM yang dikurangi itu juga dialihkan ke proyek yang bisa menguntungkan dia supaya anaknya punya modal buat nyapres,” “Iyo, mas. Nanti sampai di rumah saya minta anak sama istri saya mendoakan beliau juga. Biar kapok,” Firman dan pria itu tertawa secara bersamaan.
Pikiran Firman lalu melayang pada sosok Lisa yang namanya baru saja ia sebut. Lisa Kusnaputri, begitu nama lengkapnya. Kala masih muda dan belum mengenal buruknya partai politik, ia adalah salah satu pentolan dari organisasi mahasiswa yang juga punya jangkauan secara nasional. Gerakan Mahasiswa Merdeka Nasional (GMMN) namanya. Suatu organisasi yang banyak menghasilkan cendekiawan hebat tetapi pada akhirnya dirusak oleh orang-orang seperti Lisa.
Konon, menurut penuturan beberapa tokoh GMMN, Lisa berubah menjadi seorang politisi yang gemar berbicara asal-asalan dan cenderung melakukan kolusi dan nepotisme. Karena dulu ketika aktif di GMMN, dia jarang berdiskusi dan membaca buku karena lebih suka bergibah. Firman masih mencoba merenungkan, apakah semua politisi yang jahat pada hakikatnya adalah orang yang miskin ilmu?
***
“Ini daftar pertanyaan sama daftar isiannya. Survei yang serius, jangan sampai ada data yang dimanipulasi,” tutur Marni, perempuan berhijab yang duduk di sebelah Firman. Sore itu, ia bersantai di Sekretariat OMI di kampusnya. Hampir semua perguruan tinggi di Kota Lampau memiliki sekretariat OMI sendiri. Ada 5 orang yang baru saja masuk ke dalam bangunan seluas 90 meter persegi itu.
“Kamu nggak capek nungguin anak-anak yang mau ambil berkas buat survei?” tanya Firman sembari menatap mata Marni yang sendu.
“Sebenarnya melelahkan. Apalagi kalau ada anak yang nggak paham-paham waktu dijelasin. Nguras tenaga banget itu”
“Nggak pingin berhenti dulu? Daripada Kamu lelah lahir batin”
“Aku sih, mau-mau aja. Cuma hasilnya lumayan dan aku nggak enak sama seniorku. Dia baru aja dapat kerja di lembaga survei ini dan tuntutan ke dia banyak karena sudah mendekati Pemilu,”
Firman lantas mengambil daftar pertanyaan di depan Marni dan membolak-balik lembaran berwarna putih itu. Beberapa pertanyaan dalam formulir membuat Firman mengernyitkan dahi.
“Apa keunggulan dari kepemimpinan oleh Lisa Kusnaputri?”
“Siapa presiden terbaik selama ini selain Lisa Kusnaputri? Mohon Bapak/Ibu jelaskan juga alasannya”
“Jika Pemilihan Presiden dilaksanakan besok, bersediakah Bapak/Ibu memilih calon yang masih memiliki hubungan keluarga dengan presiden-presiden sebelumnya?” begitulah bunyi beberapa pertanyaan pada kuesioner itu.
“Kamu udah ngumpulin berapa orang buat survei?” tanya Firman penasaran.
“Udah sepuluh orang ini. Amplopnya juga udah keisi semua”
“Kamu udah baca isi kuesionernya?”
“Belum”
Matahari sudah hampir tenggelam. Firman bergegas untuk melanjutkan perjalanan. Akhir-akhir ini, Firman merasa semakin sibuk. Keperluan wirausaha, persiapan ujian skripsi dan kegiatan-kegiatan lain di lembaga sosial non-pemerintahan membuat dirinya merasa seperti anggota legislatif, sibuk tapi tanpa arah.
Tiba-tiba, Haqi muncul di bangunan Sekretariat, nyamperin Firman yang tengah bersantuy ria menikmati anugerah kehidupan.
“Hari Sabtu mau ikut aku, Man?” bertanya dengan penuh semangat.
“Ikut ke mana?”
“Ini ada Musyawarah Daerah dari organisasinya senior. Aku diminta nyopirin mobilnya. Barangkali aja kamu mau ikut. Lumayan, dapat uang transport. Biasanya cukup buat dua hari makan”
“Banyak yang ikut?”
“Ada 7 orang satu mobil. Biasanya nanti diminta bantu nata kursi sama pasang spanduk di lokasi,” jelas Hagi meyakinkan. Firman terdiam sembari berpikir, mungkin sebenarnya menjadi junior di organisasi mahasiswa adalah sarana melatih kader-kadernya menjadi asisten rumah tangga professional.
***
Selepas salat isya’ Firman mengemudikan motornya menuju salah satu kedai kopi langganannya. Kebetulan, sang pemilik kedai adalah alumni OMI yang sangat dia hormati karena kisah hidup dan petuah yang amat bijak.
“Dari mana, Man?” ucap Mas Uyab, sapaan akrab Firman untuk pria berambut panjang yang kini menggunakan kemeja kotak-kotak itu.
“Biasa, Mas. Ketemu teman-teman OMI,”
“Sehat mereka?”
“Alhamdulillah baik. Cuma ya gitu, Mas,”
“Gitu gimana?”
“Susah diajak mikir mereka”
Firman mengambil kursi berbentuk tabung yang ada di sebelahnya. Ia memandangi rak buku yang terletak di hampir seluruh tembok kedai. Salah satu bagian paling atas dari rak tersebut dihiasi 4 buah tanaman yang ditaruh di dalam botol bekas minuman beralkohol. “Itu botol dapat dari mana, Mas?” tanya Firman, berusaha membuka kembali percakapan.
“Denis, anak asli Kabupaten Barat Laut yang sekarang jadi bendahara umum di OMI Cabang Kota lampau,”
“Jualan dia?”
“Aku juga kurang tahu, Man. Sepertinya iya”
“Memang boleh ya Mas, jualan minuman seperti itu jika sudah jadi pengurus OMI?”
“Kalau bicara masalah etis, harusnya nggak boleh. Cuma ya, mungkin ilmunya mereka kurang jadi ambil cara yang paling enak aja buat mencari harta. Itu juga yang sebenarnya aku mau obrolkan ke teman-teman lainnya”
“Apa orang yang miskin ilmu itu jadi malas berpikir dan dampaknya kurang bisa menyesuaikan etiket yang ada, Mas?”
“Sepertinya begitu Man,” Uyab dan Firman saling bertatapan. Keduanya sama-sama mencoba memahami masalah yang baru saja mereka kemukakan.
Uyab meneguk segelas air di depannya dan kembali bersuara, “Miskin ilmu ini memang berbahaya, Firman”
“Bahaya kenapa, Mas?”
“Biasanya menular. Apalagi kalau sudah jadi senior di organisasi dan hidupnya kelihatan mapan. Biasanya, adik-adik di organisasinya jadi mudah tertular. Jadi orang yang malas baca, berdiskusi, dan ujung-ujungnya kurang memberikan manfaat ke masyarakat,” Firman tertunduk. Amat sukar dirinya membayangkan efek dari kemiskinan intelektual yang diturunkan oleh tokoh-tokoh di banyak organisasi. Hidupnya yang sudah terasa berat menjadi semakin berat -Seberat beban lansia di iklan salep pereda rasa nyeri. Firman beranjak dari tempat duduknya. Ia berpamitan kepada Uyab sambil memandangi jalanan yang sudah sepi.
Selama perjalanan kembali ke rumah, Firman teringat kata-kata salah satu kader OMI yang berkuliah sarjana di dua kampus yang berbeda hingga usianya 30 tahun. Ketika Firman bertemu dengan pria yang sudah mulai diganggu oleh asam urat itu, Firman mengenakan jaket pemberian pamannya yang kebetulan bekerja pada salah satu stasiun televisi ternama. Kebetulan pula Firman sedang menjadi penguji untuk seleksi diklat tingkat nasional yang diadakan OMI.
Pertanyaan pria peserta diklat itu cukup sederhana, “Bang, gimana caranya kerja di stasiun TV tempat Abang kerja?”
“Emang, saya kerja di stasiun TV?”
“Iya, saya yakin banget. Itu jaketnya kan, seragam”
“Samean pingin banget kerja di stasiun TV? Sepertinya, harus punya kompetensi yang bagus dan sesuai. Kompetensi Masnya apa?”
“Saya nggak punya keahlian apa-apa kayaknya, Bang. Saya kan, punya abang yang satu organisasi sama saya. Masa’ nggak bisa bantu, Bang?” Firman ketika itu terdiam. Ia kini menggeleng-gelengkan kepalanya di atas motor dengan penuh keheranan.
***
Jam menunjukkan pukul 7 pagi. Firman bergegas membuka laptopnya. Setelah membuka peramban internet, tak lama kemudian muncul notifikasi dari situs penyedia berita berbasis video. Ada dua berita yang menarik perhatian Firman. “Dua Orang Distributor Miras Ilegal Diciduk Kepolisian, Salah Satunya Petinggi Organisasi Mahasiswa,” dan berita bertajuk “Begini Tanggapan Komisi Pemilihan Terkait Lembaga Survei Abal-Abal”.
Ponsel Firman berdering. Ia membuka pesan singkat yang baru saja masuk dari Marni, “Man, aku sepertinya butuh ketemu kamu.”