Meski berada jauh dari kampung halaman, tak membuat kita lepas dari kebudayaan asal. Seperti tak ingin dilupakan, saat sedang asyik bermain gawai, seketika saya merasa sedang diingatkan dengan salah satu kebudayaan yang datang dari Kalimantan, tempat saya lahir dan dibesarkan. Video dari konten kreator Irfan Ghofur, lewat di beranda aplikasi Tiktok saya, membahas mitos kapuhunan.
Mitos ini dipercaya saat seseorang tak dapat apa yang diingininya, atau menolak pemberian orang lain, maka segera ia bakal mendapat musibah atau petaka. Layaknya nasihat orang tua, mitos ini ada untuk menjadi nasihat budaya dalam kehidupan, tetapi dilengkapi dengan unsur mistis.
Namun adakah yang masih percaya dengan mitos ini? Apa eksistensinya masih diakui? Sibuk saya bertanya-tanya sendiri.
Menjawab rasa penasaran, saya pun bertanya pada beberapa penduduk asli Tabalong, Kalimantan Selatan mengenai mitos ini. Wawancara terbatas melalui media sosial WhatsApp sebab jauhnya jarak antara penulis dan informan, dilakukan pada Minggu, 2 Oktober 2022, 09.00 WIB.
Desy (21), mengaku pernah mengalami kapuhunan. Ia bercerita, ketika hendak makan, tetapi tak jadi sebab ia terlambat pergi ke sekolah, akhirnya Desy pun mengurungkan niatnya. Lalu saat di perjalanan, ia mendapat musibah hampir jatuh dari motor karena tersandung batu.
Kala itu Desy percaya betul peristiwa itu akibat kapuhunan. Akan tetapi, lambat laun Desy berpikir peristiwa itu terjadi sebab tak fokus saat berkendara, karena sedang dalam kondisi perut lapar.
Dewasa ini, ia makin tak percaya dengan mitos kapuhunan. Serupa, Dizka (21) juga sama tak percayanya dengan mitos tersebut. Dirasanya hal tersebut hanyalah sebatas sugesti yang memengaruhi pikiran manusia.
“Keberadaannya masih ada,” tambah Dizka, “tapi paling orang-orang tua saja yang percaya, yang muda sudah tidak terlalu percaya lagi.”
Ucapan Dizka diamini oleh Mudi (50). Ia masih cukup sering mendengar istilah kapuhunan saat sedang berbincang dengan kawan sebayanya. Begitu pula dengan Aida (47), yang mengatakan tak jarang menemui masyarakat sedang membahas tentang kapuhunan.
Namun Fitriani (42), menyadari mitos itu sudah jarang atau bahkan hampir tidak dipercaya lagi oleh masyarakat saat ini akibat pengaruh zaman. Kini saat musibah datang, orang-orang sering kali tidak mengaitkannya langsung pada pamali dan hanya menganggapnya sebagai musibah biasa.
Mengenai fungsinya, bagi Desy dan Fitriani, kapuhunan memiliki fungsi pendidikan. Sebab kapuhunan mengajarkan agar tidak tergesa-gesa dan sebagai pengingat agar lebih bisa berhati-hati. Bagi Dizka sendiri, mitos ini berfungsi untuk mengajarkan perilaku sopan santun dasar pada anak-anak.
Lantas bagi Mudi, kapuhunan digunakan sebagai nasihatagar kita dapat menurunkan gengsi yang ada dalam diri. Selain itu juga mengajarkan untuk menghormati orang yang telah menyuguhkan hidangan, sebaiknya dicicipi barang sedikit.
“Daripada kaganangan, baik dicubai ha paya saikit. Meapa supan-supan (daripada kepikiran, lebih baik dimakan meski sedikit. Buat apa malu-malu).” ujar Mudi dengan bahasa Banjarnya yang fasih.