Nyonya dan Nyonya

Seorang Motinggo yang berawal dari mesin ketik pemberian Tomoyuki Yamashita, secara intensif telah melahirkan kurang lebih 200 karya sastra di umur yang ke 27 tahun, salah satunya yaitu, Naskah Drama “Nyonya dan Nyonya” (1964). Sekilas membaca karya-karya Motinggo serasa memasuki suasana gelap, klise, dan penuh tragis yang di selimuti persoalan-persoalan kecil rumah tangga. Terlepas dari hasil literatur terhadap beberapa karya Motinggo yang sudah saya baca diantaranya “Malam Jahanam”, dan “Nyonya dan Nyonya”. Lahirnya naskah diawali dari latar belakang Motinggo yang Matinko. Motinggo adalah pecahan dari dua kata yaitu, matinko (aneh) dan bungo (bunga). Saya berasumsi jika nama Matinko berarti aneh, bebal, dan abstrak merupakan pemberian nama panggung dari lingkungannya di Minang. Bukan berarti bahwa Motinggo orang Negatif. Pada dasarnya, penulis seperti Motinggo sangat sering dikatakan aneh dalam segi pemikiran maupun tingkah laku, sedangkan kata Bungo yang berarti bunga secara makna sangat positif dan memberikan warna-warna masa depan yang cerah. Maka jadilah nama Motinggo yang berarti seakan-akan mewakilkan sebagian besar pengarang memiliki pemikiran gila adalah orang yang jenius.

Dari latar belakang Motinggo Boesje dengan Naskah Drama “Nyonya dan Nyonya” memiliki hubungan tidak jauh melibatkan beberapa fragmen-fragmen kecil tentang keluarga. Sebagai orang kali pertama membaca karya Motinggo, saya menyimpulkan alur cerita berfokus tentang kepuasan nafsu yang merobohkan esensi dari nama keluarga tersebut. Harta menjadi nafsu yang mengerikan karena perempuan. Nyonya Tabrin menyulap Tuan Tabrin untuk memuaskan keinginannya akan harta. Melalui korupsi, menjadikan Nyonya Samirah adalah korban. Membaca tiga tokoh tersebut, saya seperti merasakan rantai yang berputar karena kepuasan pribadi. Setelah membaca sampai akhir mengenai naskah ini, ada sebuah doktrin yang dapat mengubah pikiran saya dengan berbagai macam kata kunci seperti poligami, islam, dan nilai-nilai agama yang muncul di tengah masyarakat.

Hubungan naskah, penulis, dan manusia saat ini dalam menyepakati sebagai pelaku mimesis kehidupan, saya tidak mengambil kesimpulan dalam bukti yang valid secara konteks. Dari segi filosofinya, bahwa sebuah karya tercipta dari akal dan pikiran manusia (Pengarang) sebagai makhluk yang berpikir. Produk (Naskah Drama) sebagai bentuk genetik nyata bahwa tujuan memberikan ilmu disiplin  meluas dalam pandangan dunia-manusia yang membutuhkan proses Katarsis (Penyucian Jiwa), termasuk pada naskah ini yang saya katakan adalah mengambil tema tentang “Agama”. Setelah membaca Naskah Drama “Nyonya dan Nyonya”, saya dapat mengetahui filosofi dari karya Motinggo adalah betapa pentingnya kita memahami dan menjadi manusia yang beragama. Merujuk pada nilai pancasila, khususnya di sila pertama yaitu, “Ketuhanan yang maha Esa” dalam pedoman kita bernegara sebagai manusia Indonesia.

Diksi Poligami dalam Naskah Drama “Nyonya dan Nyonya” mengingatkan saya kepada sosok tokoh seorang ibu di dunia nyata, termasuk sosok ibu dari pandangan seorang Motinggo yang kebetulan ibunya berprofesi sebagai guru agama di Minang. Secara genetik, Motinggo belajar agama dan megetahui hukum-hukum Islam dengan bukti dikuatkan oleh kutipan dialognya yang memiliki kata “islam” merujuk kepada pembahasan satu agama. Dalam naskah, Tuan Tabrin berpoligami dengan dua perempuan tanpa perizinan dari mereka berdua yang secara langsung telah melakukan korupsi (istri hak milik). Sebagai bentuk pertanggungjawaban laki-laki terhadap perempuan adalah tanggung jawab seumur hidup dalam menjalin cinta. Pesan moral yang disampaikan agar dapat membuka pikian pembaca bahwa cinta bukan nafsu, tetapi cinta adalah bentuk rasa dari manifestasi akal yang sempurna

Melihat perspektif dari mesin ketik milik Motinggo sebagai senjata menulis adalah kemauannya dalam menyampaikan rasa cinta melalui nilai-nilai agama. Moralitas manusia dalam beragama merujuk pada sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” bahwa hubungan antara cinta dan agama adalah sangat istimewa. Tentang cinta tidak mesti berupa sesuatu yang romance dalam adegan-adegan film seperti di negara-negara barat. Bedanya dengan orang-orang timur seperti di Indonesia memperkuat sesuatu hal dengan budaya bahwa cinta adalah bentuk tanggung jawab manusia seumur hidup, cinta yang vertikal, dan cinta yang memiliki hubungan kuat antara manusia dengan Tuhan. Maksudnya yaitu, laki-laki berhati-hati dalam memuaskan nafsu diri.

Dari karya-karya Motinggo, manusia Indonesia saat ini, termasuk saya sebagai pembaca telah mendapatkan nilai tambahan dalam bersikap terhadap sesuatu. Mengingat kembali adat dan budaya di Minang menekankan kepada perempuan bagaimana cara memperlakukan diri dan alam sekitar. Secara garis besar, budaya orang-orang Minang mempunyai pandangan terhadap perempuan. Perempuan di minang berada pada posisi yang terhormat dan berada pada pusat kekuasaan atau disebut dengan istilah “matriakhat” yang dijelaskan juga secara teks dan konteks dalam Naskah Drama “Nyonya dan Nyonya” tentang perempuan sebagai simbol kekuasaan. Pada intinya, laki-laki dan perempuan harus mengingat kembali budaya manusia timur yang lebih mementingkan nilai moralitas dan kecerdasan spiritual dari pada kecerdasan intelektual. Motinggo juga memperkenalkan dan mengingat kembali terhadap sejarah yang telah hilang melalui karya sastra yaitu, budi luhur pada abad ke-19.

 

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here