Penggunaan bahasa dalam masyarakat Indonesia sangat beragam. Hal ini dikarenakan bangsa Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak budaya, etnis, suku, ras, dan bahasa. Jika merujuk pada Wikipedia, Indonesia memiliki lebih dari 700-an bahasa daerah, salah satu contohnya yaitu kata jancuk.
Banyaknya bahasa ini memperlihatkan juga kemiripannya pada tiap-tiap daerah. Ada yang memiliki arti sama, dan ada juga bahasa yang mirip, namun memiliki arti yang berbeda. Hal tersebut berpotensi menghasilkan multitafsir atau memiliki banyak arti.
Dalam penggunaan bahasa pada umumnya, kita mengartikan bahwa pembicaraan seseorang ada yang bersifat sopan atau tidak sopan, sanjungan atau hujatan. Sopan jika seseorsng menggunakan bahasa yang baik dan tidak menyinggung perasaan orang lain, tidak sopan jika seseorang menggunakan bahasa yang tidak baik atau bersifat hujatan dan menyinggung perasaan orang lain.
Perkataan yang tidak sopan dan menyinggung perasaan orang lain sering kita temui pada sebagian kalangan anak remaja zaman sekarang. Fenomena tersebut terjadi karena sebagian anak zaman sekarang tidak memikirkan terlebih dahulu sebelum bicara (asal ceplas-ceplos).
Dari beberapa sumber seperti jurnal Sriyanto, S. dan Fauzie, A. dikemukakan bahwa penggunaan kata jancuk (Bahasa Jawa) diucapkan untuk mengumpat (misuh). Selain itu, kata jancuk juga identik dengan makian dan dianggap sebagai tantangan untuk berkelahi (Sulistyo, 2009). Seperti contoh “Arek iku ancen jancuk!” (anak itu memang jancuk!), kata tersebut selain terkesan kasar pada masyarakat jawa terutama di pedalaman atau desa terpencil, juga masih diartikan samar yaitu kasar atau kotor.
Seperti beberapa hari yang lalu saya bertanya kepada teman saya terhadap kesan kata jancuk/cuk di daerahnya, tepatnya di Tumpang-Malang. Kata tersebut masih terkenal “saru” dalam artian sama-samar yang memiliki makna kasar atau kotor di kalangan sebagian remaja maupun orang tua di daerah tersebut.
Contoh lain saat saya sedang menelpon dan mengatakan jancuk di depan bapak kos saya di daerah Randuagung-Malang, bapak kos saya langsung merespon dengan kata “huuussstt” sambil memandangi saya dengan tajam.
Ini berarti bahwa kata jancuk di daerah tersebut masih dianggap misuh atau kotor. Contoh terakhir saat bermain game PUBG Mobile, sering terdengar dari teman satu tim yaitu kata “jancok mati tok aku” (jancok, aku mati terus). Dari contoh terakhir tersebut menandakan bahwa kata jancuk/cuk bisa diungkapkan saat dalam kondisi marah.
Kata jancuk/cuk ada juga yang mengartikan bahwa bukan sebuah kata kasar, melainkan hanya sebuah kata yang tertulis di body tank milik kolonialis Belanda pada masa penjajahan. Berhubung masyarakat Surabaya pada masa itu takut dengan orang Belanda yang membawa tank, sampai berlari-larian sambil menyebut kata jancuk karena ketakutan. Dari situlah asal muasal kata jancuk di Surabaya yang dilontarkan ketika dalam kondisi berbahaya.
Dalam fenomena komunikasi anak remaja sekarang, penerapan kata ini sering saya alami pada saat beberapa teman akrab saya memamanggil dengan sebutan cuk/jancuk dan saya tidak tersinggung dan bahkan senang.
Hal tersebut dikarenakan kata cuk/jancuk sudah saya artikan sebagai kata keakraban antara teman. Contoh lain saat sedang bermain game PUBG Mobile dengan teman-teman akrab saya“Cuk, open dek kono” yang artinya ”Cuk, di sana tempatnya terbuka”. Kalimat tersebut saya artikan sebagai sebuah ungkapan kepedulian saat teman dalam kondisi tersudut.
Dapat disimpulkan bahwa penggunaan kata jancuk/cuk dalam fenomena komunikasi anak remaja memiliki banyak penafsiran tergantung situasi dan kondisi. Dianggap kata yang buruk jika diucapkan dalam kondisi marah, kecewa atau mengancam, serta dianggap baik saat dalam kondisi senang atau menggambarkan keakraban serta kepedulian antar teman.
Oleh karena itu, kata jancuk/cuk memang multitafsir karena bisa diucapkan dalam beberapa situasi dan kondisi yang berlawanan, serta memiliki banyak pemahaman atau multitafsir saat kata tersebut digunakan pada suatu kondisi tertentu.