Nabi Semua Bangsa Terjajah (sumber foto: pinterest)
Nabi Semua Bangsa Terjajah (sumber foto: pinterest)

Pramoedya Ananta Toer adalah nabi. Dia nabi semua bangsa terjajah. Itulah kesan pertama yang mencuat usai membaca tuntas roman populernya, Anak Semua Bangsa, buku kedua dari seri tetralogi Pulau Buru.

Bahasanya mengalir lugas, namun tegas. Cara dia bertutur adalah keindahan sastra Nusantara yang tak tertandingi sepanjang zaman. Pram adalah maestro di bidangnya. Anak Semua Bangsa (1980) dan serial tetraloginya (Bumi Manusia: 1980, Jejak Langkah: 1985, Rumah Kaca: 1988) sungguh-sungguh menggambarkan betapa Pram punya wawasan yang sangat luas tentang dunia di sekelilingnya, tentang situasi bangsa Indonesia di antara bangsa terjajah di Asia Tenggara dan peta geopolitik awal abad 20.

Kendati serial tetralogi ini bertautan kisah dan peristiwa satu sama lain, masing-masing novel dapat berdiri sendiri sebagai satu bangunan cerita yang utuh dan lengkap. Artinya, pembaca tak perlu membaca karya dalam tetralogi tersebut berurutan satu per satu untuk bisa menikmati dan menyelami kedalaman refleksi penulisnya. 

Di setiap judulnya, Pram sudah mampu menunjukkan latar sejarah Hindia Belanda yang tak mungkin ditemukan di buku sejarah populer Indonesia manapun. Pram mendekati sejarah kolonialisme dan sekelumit masalahnya dari sudut pandang tokoh yang dekat sekali sehingga terasa intim dan personal. Di meja makan rumah Nyai Ontosoroh, di teras rumah pelukis Jean Marais atau di kantor redaksi S.N. v/d D. Misalnya, dialog antara seorang pemberontak Angkatan Muda Cina, Khouw Ah Soe dan Minke, tokoh sentral dalam Anak Semua Bangsa. Pemuda Cina revolusioner yang anti penjajah itu datang ke tempat tinggal Minke dan Nyai lalu memberi kuliah singkat soal Filipina.

- Poster Iklan -

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here