Namamira

Dia gila. Dia sungguh perempuan yang gila. Entah sudah berapa kali dia menuduhku, yang jelas-jelas merupakan kekasihnya, atas pelaku pembunuhan ibunya. Tidak mungkin aku mencelakai orang yang sudah ringkih itu dengan sebilah pisau.

Namamira namanya. Perempuan blasteran Jepang-Indonesia. Kami sudah menjalin hubungan sekitar tiga tahun sejak pertama kali bertemu di penghujung semester kelas 12. Setelah lulus sekolah, kami bahkan masih bersama dalam satu Universitas. Kami adalah pasangan ideal di kalangan kampus. Tidak sedikit yang cemburu padaku, begitu juga sebaliknya.

Sampai suatu perkara besar membuat Namamira terus-menerus menerorku. Rambut panjangnya yang sedikit kecokelatan berubah menjadi bop. Mata sipitnya yang selalu bersinar padaku, berubah menjadi tatapan neraka yang mengerikan. Sikap lembut dan manjanya sudah berubah menjadi seperti psikopat, atau bisa diistilahkan seperti zombie yang siap menerkam mangsanya.

Namamira begitu menakutkan. Kami jadi sering bertengkar, adu mulut, dan bahkan tidak sekali aku bersikap kasar padanya. Tapi ia tak pantang menyerah, bahkan dia terus mengomeliku, mencaciku, dan menangis di akhir pembicaraan kami. Aku masih sangat mencintainya, tapi kurasa ia sudah berubah.

“Lupakan perkara itu, dan kita lanjutkan pertunangan kita!” Aku membentaknya di malam hari.

Selagi makan malam, Namamira mendatangi apartemenku. Dia membicarakan pembahasan berulang. Itu sangat memuakkan. Kepalanya terus menggeleng, dan mulutnya seperti ingin mengeluarkan sesuatu tapi tertahan.

“Aku tidak ingin membahas hal itu lagi. Aku tidak melakukan kejahatan, apalagi terhadap ibumu.” Akhirnya aku mengakhiri pembicaraan kami yang tidak pernah menemukan titik selesai.

Tubuhku berjalan masuk ke kamar mandi. Air hangat mengguyur semuanya dan masalah hilang sekejap. Tetapi suara ketukan di pintu kamar mandiku mulai terdengar. Awalnya pelan, lama-kelamaan semakin kencang. Aku benar-benar tidak bisa lagi mengendalikannya lagi seperti dulu. Dia benar-benar wanita keras kepala.

Esok paginya, seorang wanita bisa masuk begitu saja ke apartemenku. Tidak heran, dia sudah melakukan ini entah sudah berapa kali. Mungkin kalau tidak salah ingat sepuluh atau sebelas kali. Wajahnya selalu sumringah seperti Namamira dulu. Tapi wajahnya tidak mirip. Kulitnya juga tidak seputih Namamira.

Wanita itu mendekat dan menyapaku, “Selamat pagi, Albi. Senang bertemu denganmu. Aku Zeraya, kamu masih mengingatku ‘kan?”

Kalimatnya begitu memuakkan. Dia seperti seorang guru yang tengah menyapa murid-muridnya di TK. Dia pikir aku pikun atau apa. Jelas aku mengingatnya setiap kali dia datang. Memasuki apartemenku begitu saja. Sudah seringkali aku melapor kepada Staff Apartemen, tetapi sepertinya semua hanyalah kosong. Mereka tidak melayani tamunya dengan benar. Bahkan aku sudah menyewa apartemen ini untuk jangka waktu dua tahun sekaligus.

“Albi, apa Namamira mendatangimu lagi semalam?” Wanita itu bertanya selagi aku fokus dengan layar hitam di depan.

Dia wanita yang menyebalkan juga seperti Namamira. Aku hanya menjawab dengan anggukkan kepala. Sejujurnya aku tidak kenal bahkan tidak ingat sejak kapan wanita itu bisa mengenal Namamira. Seingatku, dia bukan teman sewaktu sekolah ataupun di perkuliahan. Tapi dia begitu antusias jika berbicara soal Namamira denganku.

“Apa yang ia lakukan padamu semalam?” Dia bertanya lagi.

Aku sempat memiliki asumsi bahwa wanita ini menyukaiku. Dia berusaha menarik perhatianku selagi Namamira berubah total. Tapi jujur, aku tidak sedikit pun tertarik padanya.

Mulutku terkunci. Enggan menjawab pertanyaannya. Dia begitu cerewet dengan tampilan yang dibuat seolah manis.

“Aku tahu hubunganmu dengannya tidak begitu baik. Tapi … dia benar-benar mengganggumu tiga bulan belakangan ini. Aku yakin dia masih mencintaimu,” katanya tanpa melirikku.

“Dari mana kamu tahu Namamira masih mencintaiku?” Kepalaku mulai menoleh padanya. Dia membuatku mendidih.

Seulas senyuman membosankan terbentuk lagi di wajahnya. “Karena dia tidak henti-hentinya mendatangimu setiap malam,” jawabnya.

Memang benar apa yang dikatakan Zeraya itu. Namamira memang mendatangiku setiap malam dengan pembahasan berulang. “Dia tidak hanya mendatangiku tiap malam, terkadang juga pagi atau bahkan siang.”

Mata Zeraya mulai melirik ke arah sekitar. Mimik wajahnya berubah total. Aku lebih menyukai raut wajahnya yang menegang.

“Kenapa? Kamu bahkan tidak berani bertemu dengannya.”

“Apa sekarang Namamira ada di sini?” Matanya fokus lagi padaku.

“Tidak. Aku membentaknya semalam, mungkin dia marah padaku.”

“Dia pasti datang lagi,” katanya begitu yakin.

Aku menghela napas dan kembali berpusat pada layar hitam. Zeraya bangkit dari sofa menuju dapur, dan kembali lagi dengan segelas air putih.

“Minumlah, aku yakin kamu membutuhkan ini.”

Ketika Zeraya berdiri di hadapanku, ekor mataku bisa melihat Namamira yang mengumpat di balik dapur. “Apa Namamira yang menyuruhmu memberikan minuman ini padaku?” tanyaku mengalihkan perhatian pada wajah Zeraya yang terkejut.

“Apa? Tidak! Tidak ada Namamira di sini. Aku berinisiatif sendiri.”

“Pembohong!” Aku menampar gelas pemberiannya sehingga pecahannya berceceran di lantai. Langkah kakiku menuju dapur. Meski Zeraya sempat menahan tubuhku, tapi dia kalah.

“Namamira! Apa dia temanmu? Tolong bawa pergi dari sini! Dia begitu menjengkelkan! Selalu bertanya padaku, apakah kamu datang semalam?!” Aku berteriak, karena Namamira sedikit tuli sejak perkara besar itu terjadi.

Tidak ada jawaban. Yang ada hanya suara isak tangis yang terdengar dari arah belakangku. Dari Zeraya yang kini berlutut di kakiku.

“Albi, tolong sadar, Nak! Namamira sudah tidak ada. Kamu tidak perlu lagi mencarinya.” Suaranya begitu ringkih seperti orangtua.

“Tidak ada bagaimana? Dia ada di dapur, menyuruhmu mengantarkanku minuman ini.”

“Namamira sudah mati. Aku ini Ibumu! Sadarlah, Albi!”

Sekali lagi, kakiku dipeluk erat. Aku bosan dengan sandiwaranya yang terus berulang seperti Namamira. Sejak ibunya meninggal karena tertusuk pisau oleh tangannya sendiri, Namamira menjadi kesal padaku. Aku tidak bersalah, tapi Namamira selalu menuduh jika aku penyebab semuanya. Tentang kematian ibunya yang ada di tangannya sendiri.

Aku ingat betul ketika Namamira menodongku dengan sebilah pisau, karena katanya ibunya menyukaiku. Dia kesal terhadapku juga terhadap ibunya sendiri. Jadi dia berusaha membunuhku, tapi ibunya yang melihat aksi gilanya itu langsung menjadi penghalang sehingga tusukan pisau Namamira tembus di jantung ibunya sendiri.

Setelah itu, aku pingsan, dan tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya sampai sekarang.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here