Perfilman Indonesia semakin semarak. Sutradara dan Sineas muda mulai bermunculan dan mengisi ruang lain, yang bagi saya, sudah cukup diisi Garin Nugroho dan Joko Anwar. Karena itu, saya mencoba mengikuti trend film Indonesia terbaru kini, melalui ajang fesival kenamaan. Pada tahun 2022, muncul satu film, yang mengikuti Festival Berlin, lalu menang di ajang nominasi Festival Film Indonesia (FFI) 2022. Dalam rentang yang sama, sebetulnya sudah ada 2 film yang saya kira memang layak bersanding, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, Sutradara Edwin, dan satu lagi Nana: Before Now And Then. Keduanya, dalam teknik sinematografi, saya kira melakukan “ekspreimen” meski hanya sedikit.
Seperti Dendam, kendati merupakan film bergenre Roman/Drama, film ini cenderung menggambarkan visual ala-ala film laga. Katakanlah, film ini Roman/Drama, tetapi muatan visual laganya cenderung terlihat ke arah Action, seperti saat Ajo Kawir mengendarai motor di sepanjang jalan pantai.
Berbeda dengan itu, Nana: Before Now And Then dikemas dengan visual yang tidak memiliki gerak banyak dengan tempo cerita yang lambat. Kamila Andini, melalui Film Nana, lebih cenderung menggunakan ekspresi dan cahaya untuk menggambarkan aspek poin penceritaan pada film tersebut. Karenanya, dialog yang dibangun hanya sedikit.
Tetapi untuk dua film yang di atas, saya akan lebih memilih Nana. Pertama, entah motif apa, Kamila Andini memutuskan memoles film dengan Bahasa Daerah. Sebatas selera pasar? Mungkin iya, juga mungkin tidak. Kerena Kamila Andini memutuskan memakai Bahasa Daerah, saya justru mengingat argumen Eka Kurniawan dalam salah satu keluhannya terhadap sastra Indonesia. Eka pernah berpendapat bahwa dalam kesenian bercerita berbahasa Indonesia, ia seringkali sukar membuat dialog utuh dalam Bahasa Indonesia yang memiliki kekuatan besar. Apakah Kamila Andini ada di posisi itu? Saya belum tahu pasti, tetapi saya kira bukan itu tujuannya. Penekanan kehematan berbahasa Raden Sunani sebagai perempuan bangasawan Sunda itu yang kiranya memang tepat dilihat sebagai sebab sempitnya dialog yang dibangun. Hanya saja, Kamila Andini mengalihbahasakan kedalaman ini, justru melalui Nana, yang diperankan oleh Dian Sastro, sebagai ekspresi yang diam tapi memiliki derita dan rahasia yang dalam.
Selain bahasa, tone dan komposisi warna sinematik juga saya kira menjadi pilihan. Misalkan, bagaimana cara seorang film-maker Indonesia, menggambarkan masa lalu, ekspresi dan pilihan warna visual, selain menggunakan narasi, atau warna sepia. Ini barangkali yang berusaha dijawab oleh Kamila Andini, melalui plot line cerita maju-mundur tanpa narasi dan memperlihatkan transisi cerita melalui ekspresi tokoh, atau simbol.
Tetapi film ini bukan film, katakanlah Psycho-Thriller, yang memiliki dampak traumatis terhadap tokoh-tokoh yang dieksplor, lalu tokoh mengalami mimpi sebagai representasi dari represi yang dialami tokoh, Nana menggarap isu lain. Dari komposisi warna remang, dan sedikit cahaya dari fokus yang diekspos, Nana menggambarkan isu lain, yaitu isu dari mimpi dalam tradisi, anggaplah tradisi Timur. Antara Jawa-Sunda, misalnya, dalam lanskap kebudayaan, ada yang mengatakan, bahkan meyakini bahwa mimpi adalah petanda.
Nana didatangi oleh suaminya, Raden Icang. Kadang-kadang, Nana juga merasa didatangi oleh abahnya. Kedatangan keduanya, dalam mimpi kelam Nana memang memiliki sebab yang sama. Keduanya, sama-sama korban dari tragedi 65. Dalam kasus cerita Abah Nana, kisah itu ditampilkan di awal, ketika Nana melintasi hutan lalu seolah melihat gambaran Ayahnya dipenggal oleh penduduk kampung ikut melintas. Orang bisa menangkap ini sebagai peristiwa traumatik, tapi melalui sinema yang muncl, orang juga akan mengira bahwa perisiwa itu terjadi di hari iu, di hari ketika Nana bersama si mbok melintasi hutan. Selain itu, dalam kondisi-kondisi transisi semacam ini, film Nana seringkali diwarnai tegangan musik ketukan irama gendng 2/4. Tempo lambat, eksposur gestur, dan lagi gerak tubuh itu yang membantu film Nana terasa halus dalam transisinya.
Ada alasan lain. Barangkali karena kesunyian film yang dibawa oleh Nana ini berjenis Drama-Sejarah. Dalam perfilman Indonesia, seringkali film yang ada hanya sebatas dibentuk dalam narasi hero dan anti-hero. Keduanya berjalan beriringan, biasanya dianggap unsur paten ceria dalam drama sejarah. Kekerasan dan peperangan. Adapun jika kisah itu kisah cinta, kisah yang muncul biasanya pasangan yang sedih ditinggalkan karena dtinggal perang, lalu pasangannya tewas di medan perang.
Dalam film ini, sejarah tidak dihadirkan sebagai peristiwa riuh, tetapi sejarah hadir sebagai peristiwa intim paling sunyi milik Nana seorang. Selain karena plot cerita dibuat demikian, keintiman tokoh utama melewati tragedi Sejarah Indonesia juga diperlihatkan melalui simbol-simbol, seperti Sapi, gambaran Nana Kecil melintas jalan pedesaan, dan simbol traumatik lain. Demikian sekilas, ulasan mengenai Nana, pis, selamat menonton.