Nanatsu

Mangaka salah satu pekerja dunia hiburan favorit di Jepang. Sebagian besar Mangaka, macam penulis kisah-kisah lain. Bagi saya, dalam dunia Nakaba Suzuki seperti penulis Novel Atheis, Achdiyat K Mihardja. Memang dunia yang digeluti berbeda, satu sastra, satu dunia komik. Ada banyak dunia kedua penulis ini yang berbeda, tapi irisannya sama, menggarap tema cerita Agama. Achdiyat menggarap tema Tasawwuf, melalui perjalanan fantasi Hassan, tokoh utama yang zuhud, kemudian patah cinta lalu berubah Atheis, sementara Nakaba menggarap tokoh atas nilai-nilai ideal seorang penganut agama dalam semesta permainan, dalam Nanatsu No Taizai.

Nanatsu No Taizai, berarti 7 dosa mematikan. Nilai buruk yang harus dihindari dalam tradisi Kristen-Romawi. 7 dosa itu, adalah Kesombongan si Escanor, ketamakan si Ban, Diana si Iri Hati, Meliodas si Kemarahan, King si Kemalasan, Growther si Haw Nafsu, dan Merlyn si  Kerakusan. Ketujuhnya dikutuk raja Iblis, si pemberi perintah, untuk mengembang kutukan tujuh ini dalam dunia. Adapun dunia yang dimaksud adalah dunia ras manusia, yang berada di sekitar Kawasan Kerajaan Liones.

Dalam tradisi Kristen-Romawi, 7 dosa ini adalah dosa besar yang wajib dihindari. Meskipun tidak secara eksplisti disebutkan dalam Al-Kitab, gereja pada masa Romawi menetapkan ketujuh nilai ini sebagai nilai yang wajib dihindari. Santo Gregorius Agung, barangkali menerka, bahwa jika seseorang terjangkit dosa ini, kemungkinan besar kehidupannya akan sulit. Hanya saja, Nakaba merubah ini. Bagi Nakaba, tujuh dosa ini memang ada, tapi dia hanya dimiliki Ras Iblis. Dalam Semesta Nanatsu, ras-ras yang hadir adalah Manusia, Raksasa, Peri, Manusia, Penyihir dan Iblis. Ras Iblis yang diberi privilege oleh Tuhan melalui Sepuluh Perintah diperkenankan mengutuk ras yang hidup di dunia ini, dalam waktu tertentu, ketika mereka membangkang.

Perubahan yang dilakukan oleh Nakaba adalah memasukkan moral, sebagai dasar pembentukan karakter. Setiap karakter dosa, diwakili oleh setiap Ras yang ada di Film Nanatsu. Mereka yang ada di luar Tujuh Dosa Besar ini dibuat seperti dunia secara lazim. Ras Manusia, misalnya, dibiarkan dalam kekurangan pribadi, yang suatu waktu, karakter dan nilai moralnya bisa berubah, seperti karakter moralnya yang temporal. Dalam agama manapun, manusia adalah entitas yang diberi hak untuk memilih, ketika berlaku buruk ia dianggap Iblis, sementara ketika berlaku buruk ia menjelma Malaikat. Dalam tradisi Islam, misalnya, Hamka pernah mengatakan, tugas muslim adalah menjadi setimbang, sebab kadang sebagian dirinya iblis, kadang juga malaikat.

Tujuh Dosa Besar dianggap Pahlawan karena berhasil menyelamatkan Kerajaan saat melawan ancaman musuh Kerajaan lain. Tetapi dalam adegan lain, Manusia diperkenankan membenci Iblis, ketika propaganda dari Ksatria Suci binaan Kerajaan melihat 7 Dosa Besar adalah ancaman Kerajaan. Berbeda dengan Ban, Ban adalah ras Manusia. Ban sebagai wakil dari Ras Manusia diberikan kesempatan hidup abadi, karena telah mengambil minum dari mata air suci milik Ras Peri. Dosa keserakahan yang diemban oleh Ban, sebenarnya adalah dilema moral manusia, yang kukuh setelah dijatuhkan perintah oleh Sepuluh Perintah Tuhan.

Ban hidup di atas titah kutukan 7 dosa besar, dosa kutukan, tetapi karakter ini, kesannya patah, setelah kemudian bertemu dengan penjaga sumber lalu menjalin kasih dengannya. Sumber mata air keabadian yang berasal dari Ras Peri, Elaine, yang juga merupakan kerabat dari King si Dosa Kemalasan. Lain halnya dengan Meliodas, misalnya, ia dikutuk selama 3000 tahun hidup-mati mengalami pengulangan.

Meliodas tokoh dari Ras Iblis. Adapun kutukan itu dijatuhkan oleh Ayahnya. Sulit agaknya. menyangkal Meliodas sebagai si Kemarahan, yang saat Amarah itu tak bisa ia tampung, kekuatannya menjadi overpower, bahkan sampai mampu membunuh Ayahnya. Kutukan ini jatuh, misalkan, dalam tradisi Kristen-Romawi, hanya orang yang dikuasai Amarahlah ia takkan mampu berpikir logis. Nakaba menggambarkan ini, ketika Meliodas merasa jengah pada ayahnya karena bosan hidup abadi dengan siklus pengulangan yang sama. Kutukan ini sebetulnya serupa dengan konsep Samsara-nya Buddhis. Hanya saja, dalam konsep Samsara Buddhis, entitas yang terjebak dalam siklus ini butuh perjuangan, untuk keluar dari belenggu pengulangan. Meliodas keluar dengan cara membunuh Ayahnya, karena ialah pengguna kutukan tersebut.

Sementara itu, di sisi lain, Meliodas bersanding dengan Elizabeth. Perempuan dan Putri Mahkota Kerajaan Liones, yang merupakan keturunan dari Ras Dewi. Ras Dewi, dalam gambaran dunia Nanatsu digambarkan sebagai Puritiy dari nuansa gelap. Segala yang gelap, dengan kekuatan Ras Dewi, mampu dipurifikasi menjadi Netral. Hanya barangkali, saat Meliodas, pasangannya tidak mampu menampung amarahnya, Elizabeth yang bertugas mencarikan kedamaian hatinya, meskipun ini tidak berlaku ketika Elizabeth mati, reinkarnasi, lalu keduanya memutuskan bersama melawan Ayah Meliodas. Dengan kesepakatan, mereka bisa hidup normal sebagai sepasang kekasih.

Fantasi nilai keagamaan, tak hanya berlaku pada Ban dan Meliodas – saya memilih keduanya, karena adegan keduanya cenderung dominan dalam kisah Nanatsu – melainkan juga berlaku kepada Ras lain yang mengemban tujuh dosa besar ini. Fantasi pembentukan tokoh dalam Nanatsu No Taizai kental nuansa nilai simbolik ajaran-ajaran agama dunia. Seolah sebagai pemuka agama, Nakaba mendekonstruksikan nilai-nilai ini menjadi paradoks dalam semesta Nanatsu No Taizai. Seperti halnya Achdiat ketika membentuk karakter Hassan dalam Novel Atheisnya. Tema yang diambil memang klise, hampir setiap, tradisi kesenian punya irisan terhadap agama dan dekonstruksi. Hanya saja, sebagai “Tuhan”-nya Nanatsu, Nakaba membuat ini seolah berjalan lempeng, tanpa keseriusan. Bahkan di tubuh Meliodas, yang mengandung kutukan amarah, ia gambarkan dengan tokoh yang jahil, dengan balutan komedi yang sering bermain payudara Elizabeth, ala komedi hentai.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here