Malam penuh kehampaan meski dia ada di sampingku dengan sejuta tawaran. Menunggu kepastian hubungan kami, seperti menanti mekarnya bunga udumbara, bunga langka legendaris yang hanya mekar sekali dalam 3.000 tahun. Udumbara, bunga yang turun dari surga, makna indah dari bahasa Sansekerta, kerap disimbolkan sebagai tanda reinkarnasi. 

Apakah iya? Kami harus mengalami reinkarnasi dulu, lalu baru menikah? 

Don`t you cry tonight ….” 

Please, matikan Chel, kamu bukan Axl Rose!” 

Naschel tak mematikan lagu itu, hanya mengecilkannya. Sambil terus menyetir mobil dan tetap diam. Aku matikan AC mobil, dan kubuka kacanya. Kuambil rokok putihku dari dalam tas, kupantikkan korek api. Kuhisap dalam-dalam, kuembuskan kuat-kuat asap rokokku.

Kebisuan malam, senyapnya jalan, semakin memiriskan gelisahku karena pertengkaran-pertengkaran kami berujung tak pernah ada kata bagus buat menyelesaikannya. Bagiku, egosentris Naschel sebagai anak tunggal sudah sangat keterlaluan. Dan aku tak akan pernah bisa untuk terus mengalah, mengerti dan memahami semua sepak terjangnya. Pacaran model apa ini. Tak pernah ada waktu yang indah buat bersama, membuang penat pikiran, menyegarkan hati dan rehatkan jiwa, karena katanya ada cinta di antara kami. 

Kalau sudah tegang syarafku, selalu begini jawaban dia. ”Ya, kalau kamu belum bisa menerimaku seperti ini, mau gimana lagi? Terserah kamu darling .…”

Sebuah kalimat penyerahan, yang sangat dangkal! Sungguh menyebalkan!

”Aku masih ingin mewujudkan semua obsesi-obsesi bisnisku. Batubara, hotel, dan kelapa sawit. Tolong, bantu aku.”

”Sampai kapan kamu bercinta dengan alam? Berburu ke hutan, motret, off road! Bisnis dan hobi sebagai alasan kuat untuk menghilangkan senggangnya waktu buat merawat cinta yang telah bertunas dan tumbuh!” balasku, sambil membuka pintu mobil yang telah berhenti di depan pintu menara apartemenku. Namun tiba-tiba, tangan kananku ditariknya.

Darling, maaf .…”

Segera kulepaskan pegangan tangan kirinya. Kutatap tajam matanya. Kutepis tangan kanannya yang ingin memegang pipi kiriku. Aku segera turun dari mobil, buru-buru masuk ke pintu menara. 

Tak tahan, aku menangis di depan lift sambil mematikan rokok, lalu membuangnya di tempat sampah.

Duh! Lama banget sih ini lift. Tak terasa air mataku menetes, lalu terus mengalir. Memalukan. Buru-buru aku usap dengan tangan kananku, karena ada sepasang mata, terasa tajam menatapku. Aku tak meliriknya sedikit pun, aku merasa jengah. Segera kulangkahkan kakiku menuju lift yang telah terbuka. Diikuti lelaki yang sangat kurasa, begitu memperhatikanku malam itu. Dia menekan tombol 19. Berarti satu lantai denganku. 

Terdengar November Rain dari Guns`n Roses, kuambil HP-ku dari dalam saku tas. Namun, apa karena lamunanku atau kecerobohanku, HP itu jatuh berantakan di lantai lift. Aku jadi panik. Tiba-tiba lelaki di sampingku, membantuku memunguti HP-ku yang tercerai berai, isi, baterai, dan casing-nya. Tanpa berkata apa pun dia berikan semua yang telah dipungut. Ketika pintu lift terbuka, dia pergi begitu saja. Aku masih terpana menatap wajahnya yang begitu dingin, tertutup sebagian rambut shaggy sebahunya.  Cuek, tanpa menatapku lagi. Lalu aku ikuti langkahnya. Mau mengucapkan terima kasih. Namun dia terburu-buru menutup pintu kamarnya, yang ternyata persis di sebelah kanan kamarku. 

Jadi dia orang baru? Atau aku yang nggak gaul ya? Ah masa bodoh. Kenapa aku mesti mikirin dia? 

Hmm, tapi, dia … keren banget! Jaket kulit hitam, sepatu boots, tingginya 180-an cm.  Atletis pula. Siapa dia ya? Rasanya sudah tiga kali kami bertemu dalam satu lift. Namun, aku tak pernah sedikit pun memperhatikannya. Kupikir samalah, dengan tetanggaku yang lain. Cuek habis. Tapi, malam itu, kok kayaknya lain ya? Perhatiannya, tiba-tiba menarik-narik benang hatiku, yang mulai kusut karena pertengkaranku dengan Naschel malam itu.

Sapa pagi yang berpenghuni.

Krang kring! 

Siapa sih pagi-pagi sudah sok nyapa. Kuangkat telepon kamarku dengan malas

  ”Ya … sapa nih?”

Darling … HP-mu kok nggak aktif? Jalan yuk, sejam lagi ya aku jemput.” 

Belum sempat aku menjawab, dia sudah mematikan telepon. Itulah kebiasaan dia yang tak kusuka. Begitu mudah memutuskan sesuatu menurut keinginannnya sendiri, tanpa menunggu opiniku. Sebaliknya, di saat aku ingin sharing sesuatu tentang masalah-masalah pekerjaan dan masa depan hubungan kami, dia terlalu sering bilang,”Ntar ya aku telepon balik. Masih meeting, masih di jalan, masih di hutan, atau masih di tambang, bla, bla, bla ….”

Sungguh menjengkelkan. Namun aku masih sangat berat memutuskan hubungan cinta kami. Karena aku masih punya cinta buatnya. Sesederhana itu alasanku.

Dengan malas, aku bangun. Kulihat jam weker di meja kerjaku, di samping kanan tempat tidur, menunjukkan angka 9. Kuseret dengan berat kakiku menuju kamar mandi, setelah sebelumnya kuhidupkan HP yang baru saja kuperbaiki, kurangkai lagi. Alhamdulillah, dia mau kembali hidup normal.

Setelah tampak rapi dengan celana blue jeans ketat dan t-shirt junkies polos, warna kunyit busuk, kuambil tas kain putih, kusilangkan ke dada. Kupakai sepatu kets yang warnanya senada dengan t-shirt

Dan … 10 menit, 40 menit, 90 menit, 120 menit berlalu, tak juga dia hubungi aku. I hate waiting! Always!

Tiba-tiba bel kamarku berbunyi. Pasti dia, ya sudahlah nggak papa, apa salahnya aku maafkan. Segera kubuka pintu kamar. Namun alangkah terkejutnya aku, karena sosok yang berdiri di depanku lelaki tampan, bermata pisau, tetangga baruku itu. 

Wajahnya begitu dingin, sorot matanya menghujam, begitu saja menelusuri kegugupanku pagi itu. Suara beratnya, terdengar datar sekali.

“Buat kamu ….” 

Dia berikan rangkaian tujuh bunga mawar merah. Kemudian dia pergi begitu saja. Dan diriku mematung, tak bisa berucap apa pun. Hanya bisa memandang punggungnya yang berjalan menuju lift, lalu menghilang, masuk ke dalam kotak pengangkut naik turun orang itu.

Darling, kenapa kamu? Dari siapa bunga ini?”

Suara Naschel membuyarkan ketertegunanku, tiba-tiba dia sudah berdiri di depanku. Aku tergagap, kembali tak bisa berucap apa pun. Aku hanya menatapnya sejenak, lalu masuk ke dalam kamar apartemen, diikutinya.

”Maaf, tadi macet.”

Tak kuacuhkan kalimat-kalimatnya, aku terus pandangi rangkaian mawar merah segar  itu, kutimang-timang. Mendadak aku tersenyum. Romantis sekali dia, batinku. Tanpa kurasa, Naschel mulai gusar karena aku mengabaikannya.

Darling, ada apa sih dengan bunga ini? Dari siapa?”

”Dari seseorang, tetangga baru. Romantis ya?” 

Tiba-tiba mengalir begitu saja jawabanku, tanpa peduli kalimat itu sangat tak mengenakkan Naschel. 

”Cowok?” 

Aku tetap menatap bahagia rangkaian bunga yang baru pertama kali kuterima sepanjang usiaku, dari seorang cowok.

“Cowok!”

Nada tanyanya makin tinggi, jadi nada seru. Aku menganggukkan kepala, sambil masih terus memandangi lekat mawar-mawar itu. 

”Jangan Naschel! Kenapa kasar? Apa salah bunga ini?” 

Naschel dengan kasar merebut dan membuang rangkaian bunga perlambang cinta itu ke tempat sampah. Aku segera memungut bunga itu. Naschel menahan kedua tanganku.

”Lepas! Lepaskan Chel!” 

Nggak tahu kenapa, hatiku begitu sakit, melihat bunga itu dibuangnya. Tanpa aku pedulikan siapa Naschel. Pegangan Naschel tambah kuat, aku meronta. Lalu dipeluknya aku erat-erat, hingga dadaku sesak, tak bisa bernapas lega.

Darling please. Ada apa denganmu? Kamu lebih berat bunga itu daripada aku?”

Hatiku kosong, tak bisa merasakan apa yang menimpaku pagi itu. Ada apa denganku? Hampa saja yang kurasa pelukan Naschel, lelaki yang dulu begitu kupuja karena macho-nya, pejuang tangguh buat semua obsesi-obsesinya. Namun kekaguman itu jadi kian terkikis, karena nyatanya aku tak pernah bisa mengerti atas waktu-waktunya yang makin hilang buat kebersamaan kami. Merawat cinta kami.

”Jawab darling please.”

Aku tetap bungkam, sulit sekali mengeluarkan abjad demi abjad dari bibirku, yang sepertinya telah kelu, terkatup bayang-bayang lelaki misterius itu. Lalu Naschel melepaskan pelukannya. Dia pegang kedua pundakku, ditatapnya mataku, namun segera kubuang pandang ke lantai ruang tamu. Dia melepaskan pegangannya perlahan-lahan, diciumnya tangan kananku.

Okey, aku ternyata bukan lelaki romantismu.” 

Kemudian dia melangkah menuju pintu, keluar, dan menutupnya dengan pelan. Aku mulai merasakan kesakitannya. Namun satu sisi hatiku bilang, biarin saja. Rasain. Dia baru merasakan memiliki setelah kehilangan.

Siang itu, aku tak begitu peduli lagi dengan Naschel, yang telah memacariku selama tiga tahun, karena rasanya aku tak pernah bisa memiliknya. 

Pikiranku terus ke lelaki misterius, yang ternyata bernama Rimba. Kuketahui namanya, dari satpam apartemen. Sebuah nama yang sangar, kuat, dan bagus. Semoga sebagus orangnya. Tiba-tiba aku membanding-bandingkannya dengan Naschel. Padahal, sungguh, baru beberapa saat tahu sosoknya, bahkan kenal saja belum. Gila! Biarin ah. Gambling. Tetangga pula. Pasti lebih bisa sering ketemu. Sudah gede rumangsa banget aku. Karena rangkaian bunga mawar merah itu. Merah, lambang rasa. Semoga.

Angin malam mengatakan.

Lelaki misterius, sebulan sudah aku menunggu sapamu, menantimu tanpa kepastian untuk apa. Ke mana dan di mana kamu?

Kupandangi, gemerlap lampu-lampu yang menerangi jalan di jagad Jakarta bagian barat, sambil berdiri di balkon kamarku. Seperti malam-malam yang lalu, pandanganku selalu terarah ke balkon kamar Rimba. Tak seperti biasanya, malam itu, angin bertiup begitu kencang. Sekencang rinduku pada sosoknya.

Dan siapa sangka, tatapku di remang-remang malam itu, tiba-tiba tertangkap mata Rimba, yang sepertinya telah lama memperhatikanku. Terima kasih Tuhan, akhirnya Kau pertemukan juga aku dengan lelaki yang jadi ‘hantu’ di setiap waktuku.

Aku terus menatapnya, ingin kusapa, kulempar senyum, namun begitu dingin wajahnya, beku. Aku jadi mengurungkan niatku. Ingin sekali berkenalan dekat lagi, karena terus terang, aku begitu terpesona dengan lelaki berlesung di dagu itu. 

Aku ingin tahu lebih jauh, siapa dan apa pekerjaannya. Belum sempat aku berpikir mencari cara buat menyapanya, tiba-tiba dia telah menghilang, masuk ke dalam kamar apartemen.

Aku terpaku diam, misterius amat sih nih orang? Ingin rasanya aku bertamu ke kamarnya. Tapi, apa alasanku? Pantaskah? Namun, jangan sebut Agni, kalau tak punya nyali untuk mewujudkan keinginannya, Taurus, selalu begitu kalau punya keinginan.    

 Aku segera keluar dari kamar dengan hati penuh bunga mewangi. Drama lebay ala drakor pun dimulai. Dan detak jantung tiba-tiba sulit sekali terkendali. Kutekan bel kamar Rimba tanpa ragu sama sekali. Berkali-kali kutekan, tiada jawaban. Aku mulai frustrasi. Tak terasa sudah satu jam aku berdiri di depan pintu kamar nomor 3 itu. 

Aku makin penasaran. Kuketuk keras-keras pintunya. Tak ada jawaban apa pun. Hingga aku dikagetkan Pak Najib, satpam apartemen yang sedang berjaga keliling.

”Mbak Agni? Sudah jam dua belas malam belum tidur? Sedang apa di situ?”

Aku gugup banget, tak bisa bergerak, sampai Pak Najib menghampiriku.

”Cari siapa Mbak? Kamar ini kosong, sudah  sebulan yang lalu.”

Wajahku menciut, dahiku mengernyit. Jika aku bercermin saat itu, mungkin wajahku tampak tanpa mata, alis, hidung, dan bibir. Rata putih, pucat pasi. 

”Mas Rimba kan sudah nggak ada.”

Mataku terbelalak. Gemuruh ribuan tanya ingin segera keluar dari bibirku dan kutatap lekat-lekat wajah berjerawat Pak Najib.

”Apa? Di mana dia sekarang Pak? Pergi ke mana dia?”

”Mbak, dia kan sudah meninggal satu bulan yang lalu. Kecelakaan di arena balap mobil.”

”Hah?” sahutku bodoh.

”Mbak sih, sibuk shooting ke luar kota terus. Jadi nggak tahu berita tetangga sendiri. Dia baru saja menempati kamar ini seminggu, sebelum kecelakaan itu.”

”Jadi … dia tadi? Oh, God!”

Brak!

Puding stroberi romantis berbentuk hati yang kubawa jatuh berantakan di lantai, sebagian mengenai kaki sepatu boots Pak Najib.

Tiba-tiba bulu kudukku berdiri. Merinding semua kulitku, terlihat kuyu, terasa layu. Aku segera masuk ke dalam kamar. Dengan wajah penuh dosa, aku meninggalkan Pak Najib sendiri, yang tampak begitu heran melihatku kelakuan minusku. 

Segera kuambil HP dari saku celana blue jeans selututku. Aku tiba-tiba teringat Naschel, kutelepon dia. Hanya terdengar Always-nya Bon Jovi. Lama nggak diangkat-angkat. Aku makin gelisah. Angkat Chel, angkat! batinku menjerit. Sampai lagu hampir habis, dia baru angkat telepon.

Darling …”

”Chel, jemput aku malam ini di apartemen.”

Darling, syukur kamu masih mau menghubungi aku. I`m sorry. Malam ini aku masih di Kutai, di hutan, berburu ….”

Langsung kumatikan HP. Aku terduduk lemas di sofa ruang tamu. Aku pandangi rangkaian bunga mawar, di atas meja ruang tamu yang telah berwarna cream, begitu kering. 

Apa artimu bagiku? Aku sangat menyesal. Namun menyesal untuk apa dan siapa? 

Cinta tak akan pernah selesai, begitu abstrak, membuat tanya yang terus melingkari hati. Maka, cinta tak perlu diujar, apalagi dikejar, dia akan sendiri berpijar, kalau kita telah pahami, bahwa cinta itu ternyata memiliki akar … Dia!

***

Cerpen ringan di Rumah Putih, Surabaya, 7 April 2007

 

*Sengaja diunggah lagi karena telah diambil beberapa blog tanpa permisi. Tertulis kembali di Rumah Biru, Sidoarjo, 7 September 2022.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini