“Ayo ngopi.” Begitu ajakan seorang teman saat bertemu. Namun sesampainya di kedai kopi ternyata teman saya ini memesan susu jahe bukan kopi. Kami yang mendengarnya menjadi masgul. Lalu seorang kawan yang lainnya nyeletuklah. “Katanya mau ngopi? Kok pesannya susu jahe?” kemudian dijawab dengan senyum simpul teman yang mengajak ngopi tadi.
Kadangkala memang antara apa yang dipikirkan dan yang diucapkan serta yang dilakukan tidak berkesesuaian alias tidak nyambung antara pikiran, ucapan, dan tindakan. Keadaan ini di zaman sekarang telah menjadi suatu kelumrahan.
Hal yang kecil, sepele, dan sederhana sekali misalnya seperti saat seseorang yang berjanji pada suatu pertemuan. Ketika melewati waktu yang telah disepakati dan ditanya atau dihubungi melalui telepon genggam dan WhatsApp misalnya, sudah sampai mana kok terlambat? Tak jarang dijawab: “ini sedang OTW (on the way).” Padahal masih akan mau berangkat.
Dua peristiwa tersebut yaitu, pertama, teman yang mengajak ngopi namun pesannya bukan kopi, dan kedua, teman yang sudah mempunyai perjanjian akan hadir tepat waktu namun saat ditelepon masih dalam perjalanan, adalah contoh tidak sesuainya pikiran dengan perbuatan. Kejadian yang lainnya yang sejenis dan serupa dengan dua kejadian di atas tentu masih banyak. Jika tidak diperhatikan dengan serius dua kejadian itu akan dianggap hal lumrah karena dianggap nyaris tidak merugikan pihak lain, selain hanya kerugian perasaan saja.
Sebenarnya hal di atas sangatlah sederhana. Namun menjadi tidak sederhana manakala dua contoh kejadian tadi diresapi dengan baik.
Kejadian yang pertama, menyangkut cara pandang dan kebiasaan seseorang yang kemudian menjadi “gaya” hidup baru tentang tatacara berinteraksi satu dengan yang lainnya di tempat-tempat publik. Sementara yang kedua adalah kebiasaan seseorang yang banyak dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang kemudian menjadi habit yang dianggap normal dan biasa saja, seolah tidak ada dampak atau implikasi pada persoalan moral atau etika seseorang. Hal ini hanya dipandang sebagai sesuatu yang biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Apalagi dianggap menyalahi beragam etika sosial dalam pergaulan masyarakat. Artinya, dua contoh kejadian yang mempunyai tekanan perilaku sosial yang berbeda, tetapi dianggap sebagai sesuatu yang betul-betul biasa dan normal saja.
Memang, urusan dua istilah: ngopi dan OTW, saat ini telah menduduki peringkat teratas atau bisa disebut telah menjadi trending topic kalau-kalau dilakukan survei. Kenapa demikian? Karena hampir setiap hari kita selalu menjumpai hal-hal tersebut di atas.
Pertanyaannya saat ini yaitu; apakah ini yang disebut dengan perubahan sosial perilaku manusia? Atau dengan kata lain apakah ini yang disebut sebagai budaya baru? Dan atau ini yang disebut dengan peradaban baru? Entahlah… yang jelas perilaku manusia sangatlah dinamis dan tak ada salahnya jika perilakunya mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan zamannya. Sejatinya perilaku setiap manusia tentu mengalami dinamisasi dan perubahan yang banyak dipengaruhi oleh lingkungan sosial di mana ia berada.
Kembali ke urusan ngopi sebagaimana judul tulisan ini. Budaya ngopi saat ini telah berubah makna dan perilaku. Ngopi telah menjadi media dalam interaksi sosial antar manusia.
Pada masa lampau penyebutan istilah ngopi di beberapa daerah mempunyai konotasi yang dianggap kurang baik karena ngopi di masa lalu hanya dianggap menghabiskan waktu sambil ngobrol satu sama yang lainnya tanpa arah dan tujuan yang jelas. Saat ini, istilah ngopi telah mengalami “kenaikan nilai sosial” bahwa tidak sedikit persoalan-persoalan hidup yang dialami oleh seseorang banyak diurai dan bahkan bisa diselesaikan masalahnya dengan cara tukar pikiran, musyawarah atau pun hal lain yang sejenisnya di warung atau di kafe-kafe seraya menikmati kopi.
Kini, budaya ngopi telah bermetamorfosis menjadi alat atau media baru di ruang-ruang publik. Kini, ngopi telah menjadi gaya hidup baru masyarakat.